PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian I) - Catatan Lepas Sang Murid

Kamis, 13 Juni 2013

PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian I)

Soetan Sjahrir
Pendahuluan
Peninjauan terhadap sejarah berdirinya negara Indonesia akan menimbulkan kesan bahwa perjuangan rakyat menentang kolonialisme dan imperialisme mulai menguat sejak dekade pertama dan kedua abad ke-20. Pada masa itu perjuangan muncul dimotori oleh kaum-kaum pergerakan, antara lain keempat serangkai yang menjadi Founding Fathers of Indonesia: Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka dan Soetan Sjahrir.[1]Mereka berjuang dengan suatu visi keindonesiaan yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Visi tersebut muncul sebagai respon atas konteks yang mereka hadapi saat itu, yakni terpecahnya Indonesia dalam berbagai lingkungan etnis, bahasa setempat dan ikatan-ikatan primordial, sebagai akibat dari politik penjajahan “divide et impera”. Berhadapan dengan konteks demikian, timbul keprihatinan dalam diri mereka dengan berlandaskan pada suatu logika berpikir: Mengapa bangsa ini terus berada dalam penjajahan? Mereka sendiri menjawabnya demikian: Karena mereka tidak bersatu dan tidak dididik, sehingga mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka miskin dan dibuat miskin oleh kolonialisme dan imperialisme. Mereka pun tidak menyadari harga diri sebagai bangsa dan memang sengaja dibuat demikian oleh penjajah, supaya mereka tetap rendah diri sebagaimana para budak.[2]
Bertolak dari logika berpikir di atas, masing-masing Founding Fathers mengemukakan gagasannya tentang bentuk perjuangan yang mesti diupayakan oleh segenap rakyat. Pada titik inilah muncul perbedaan mencolok di antara keempat tokoh pendiri bangsa tadi. Sebagai contoh, Soekarno menekankan tentang sosio-nasionalisme; Hatta menonjolkan sistem ekonomi kerakyatan berbasis koperasi; Tan Malaka mengupayakan revolusi total (revolusi sosial-politis dan revolusi mentalitas kultural) sedangkan Sjahrir mengkonsepkan tentang pendidikan kemanusiaan.
Tulisan ini mencoba mendedah pemikiran Sjahrir terutama dalam konsepnya mengenai pentingnya kesadaran akan kemanusiaan semesta; bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama. Menurut Sjahrir, kesadaran inilah yang seharusnya menjadi dasar perjuangan rakyat untuk merebut dan mengisi kemerdekaan. Namun fakta menunjukkan bahwa rakyat lama hidup dalam fasisme dan feodalisme, bahkan sedikit-banyak ikut melestarikannya. Hal ini merupakan suatu yang ironis, mengingat rakyat sendiri memiliki potensi dan daya kemampuan untuk keluar dari cengkeraman fasisme, imperialisme dan feodalisme. Berhadapan dengan kondisi semacam ini, Sjahrir mencoba memberikan suatu jalan keluar dengan menekankan pada pendidikan kemanusiaan. Dengan memberikan pendidikan kemanusian kepada rakyat, Sjahrir mencita-citakan lahirnya suatu kebebasan dan kemerdekaan demi kesejahteraan rakyat. Konsekuensi logis dari cita-cita ini, yaitu bahwa tujuan perjuangan Sjahrir bukan semata-mata terbentuknya negarayang merdeka, melainkan bahwa setiap orang dapat mengalami kesederajatan harkat dan martabatnya secara menyeluruh. Dengan kata lain, ia mencita-citakan rakyat yang merdeka dari segala penindasan, kemiskinan, kebodohan dan kesewenangan yang menghimpit mereka.
Untuk mempertajam pembahasan, maka tulisan singkat ini akan membatasi permasalahan pada perjuangan dan pemikiran Sjahrir sebagaimana yang termuat dalam dua karya yang ditulisnya: kumpulan surat “Renungan Indonesia” dan risalah politik “Perjuangan Rakyat”—kedua karya itulah yang menjadi sumber utama dari tulisan ini.  Dengan demikian, konteks waktu juga dibatasi yakni hanya di sekitar penerbitan kedua karya tadi, serta tidak sampai membahas tentang Partai Sosialis Indonesia dan riwayat hidup Sjahrir selanjutnya sampai ia wafat.

1. Konteks Situasi
Sebelum masuk ke dalam pokok-pokok pemikiran Sjahrir, baiklah jika pertama-tama kita meninjau sekilas konteks situasi aktual di zamannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kerangka guna menempatkan pemikiran-pemikiran Sjahrir, sekaligus untuk memperlihatkan pengaruh mana saja yang ikut membentuk pemikiran-pemikiran tersebut.

1.1 Konteks Situasi Indonesia Zaman Sjahrir
Sjahrir muncul ke panggung sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada kurun waktu sekitar tahun 1920-an, yakni ketika Sjahrir bersekolah di AMS dan selanjutnya terlibat dalam Jong Indonesie. Pada dekade ini, bangsa Indonesia secara berkesinambungan berada dalam penjajahan bangsa asing, yakni pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Dapat digambarkan bahwa pada saat itu rakyat benar-benar terpuruk karena terus menerus berada dalam situasi penindasan, kemiskinan dan kebodohan. Kekayaan bangsa dicaplok dan dinikmati oleh bangsa asing. Mereka menguasai wilayah negeri ini beserta penduduknya dengan cara-cara yang fasis dan imperialis.[3]Bahkan, mereka tak segan memenjarakan dan mengasingkan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap mempengaruhi rakyat untuk merebut kemerdekaan.
Menurut Sjahrir, masuknya tindakan-tindakan fasis yang dilakukan oleh penjajah Belanda dan Jepang sedikit-banyak telah ikut membentuk mentalitas budak di dalam diri rakyat. Kesadaran inilah yang menginspirasi pandangannya tentang kemendesakan pendidikan kemanusiaan bagi rakyat Indonesia. 
Awal tahun 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang atas Sekutu mulai tampak. Seiring dengan itu, muncul banyak pergerakan di Indonesia dengan tujuan utama meraih Indonesia merdeka. Namun pergerakan-pergerakan yang sporadis seperti ini hanya bisa efektif jika disertai dengan pengertian terhadap perjuangan kemerdekaan. Tanpa adanya pengertian mengenai dasar dan tujuan perjuangan, akan muncul kebimbangan yang berujung pada mentalitas mudah terpengaruh pada hasutan-hasutan yang tidak bertanggung jawab.
Pengertian mengenai dasar dan tujuan perjuangan menjadi semakin mendesak ketika Jepang secara resmi menyatakan menyerah kalah pada pihak Sekutu, pada 14 Agustus 1945. Kondisi ini mesti segera mendapat tanggapan dari rakyat Indonesia mengingat rakyat Indonesia sedang berada dalam kekosongan kekuasaan. Apakah Indonesia akan merdeka atau tidak, tentu itu merupakan pertanyaan yang mendesak untuk dijawab.[4]Namun menurut Sjahrir, pertanyaan ini harus segera disusul dengan pertanyaan tentang cara rakyat Indonesia mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Sukaro-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pertanyaan susulan ini relevan mengingat adanya kemungkinan pemerintah penjajah merongrong dan merebut kembali negara yang baru dibentuk ini sangat besar.[5]
Demikianlah kira-kira konteks situasi, ketika Soetan Sjahrir muncul dan menampilkan kecerdasan serta kelihaiannya dalam berpolitik dan berdiplomasi yang telah membawa banyak faedah bagi keberlangsungan negara republik Indonesia yang saat itu masih sangat muda.

1.2 Sjahrir dan Latar Pendidikannya
Soetan Sjahrir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909. Pada tahun 1915, dia masuk Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah rendah Eropa di Medan. Setelah lulus pada 1920, dia melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota yang sama.[6]Selanjutnya, dia kemudian hijrah ke Jawa dan melanjutkan pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung pada tahun 1926. Di sekolah ini dia mengambil jurusan Barat klasik­—jurusan yang mengarahkannya menjadi jaksa, mengikuti jejak sang ayah.[7]
Setelah lulus dari AMS, Sjahrir melanjutkan pendidikannnya di negeri Belanda. Ia belajar di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam dan mengikuti mata kuliah Hukum Hindia Belanda di Fakultas Indologi, Universitas Leiden. Selain mempelajari filsafat, pemikiran politik dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan Eropa di kampus, dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi yang diadakan di luar kampus, terutama tentang politik dan pemikiran para filsuf sosialis.[8]Bahkan, Sjahrir bergabung dalam “akhir pekan sosialis” yang diselenggarakan oleh jurnal de socialist sekaligus tetap bergaul dengan kelompok anarkis kiri.[9]Dapat dikatakan, selama pendidikan formal yang di dapatkan di Medan, Bandung dan Belanda, Sjahrir memang banyak mendapatkan pengaruh Barat. Bahkan ia mengakui dirinya sering dituding kebarat-baratan.[10]Namun selain pendidikan formal itu, dia juga mendapatkan pendidikan Islam dari orang tuanya.
Penghujung 1931 Sjahrir pulang ke Indonesia dan selanjutnya bersama Hatta mengemudikan PNI-Pendidikan sebagai organisasi pencetak para kader pergerakan. Mereka aktif menulis tentang pentingnya pendidikan, bahkan menerbitkan jurnal “Daulat Ra’jat” yang memiliki misi pendidikan rakyat.[11]Inilah yang selanjutnya membawa pengaruh besar bagi pergerakan kaum muda. Maka berbeda dengan Soekarno yang mengandalkan mobilisasi massa, Sjahrir dan Hatta sendiri lebih suka “turun ke jalan” dan mengkader para pemuda.
Namun karena pergerakannya tadi, ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mula-mula dia dipenjarakan di Cipinang. Setelah itu dia diasingkan ke Boven Digul. Lalu ia dipindahkan lagi ke Banda Neira. Selama pengasingan itulah dia banyak mengalami pergulatan dan refleksi yang kemudian dituangkannya dalam surat-surat yang kemudian diterbitkan dalam judul “Renungan Indonesia”.[12]
Pascapengasingan (1942-1945), Sjahrir banyak terlibat dalam gerakan-gerakan bawah tanah dengan membangun jaringan kerja dan memantau perkembangan politik dunia lewat stasiun radio Sekutu. Perjuangan bawah tanah ini, ia namakan sebagai suatu revolusi.[13]Sjahrir juga mengumpulkan kader-kader PNI-Pendidikan dahulu dan para mahasiswa progresif, untuk dipersiapkan merebut kekuasaan pada saat yang tepat. Berbeda dengan kaum pergerakan lainnya, Sjahrir sama sekali menolak bekerja sama dengan Jepang.[14]Akibat pergerakan ini, Sjahrir sering kali “dimata-matai” oleh Jepang.
Sesudah Jepang menyerah, kelompok bawah tanah pimpinan Sjahrir bergabung dengan kelompok pergerakan Soekarno dan Hatta untuk mengusahakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi pun, kondisi kehidupan rakyat sangat diwarnai dengan atmosfer amarah dan ketakutan. Hanya sedikit sekali tokoh yang memiliki konsep dan langkah strategis guna mengendalikan kecamuk revolusi. Di masa genting itulah Sjahrir menulis “Perjuangan Kita,” sebuah risalah politik yang berisi peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Dengan demikian, karya itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.  
Sjahrir yang didukung oleh pemuda, akhirnya ditunjuk Soekarno dan Hatta menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Selanjutnya pada 13 November 1945, ia ditunjuk menjadi Perdana Menteri. Pada usia ke-36 itu, mulailah lakon Sjahrir dalam memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. 
Jika kita meninjau riwayat Sjahrir sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kiranya kita dapat melihat adanya suatu hubungan antara peranan Sjahrir dengan tesis tentang terbentuknya nasionalisme Indonesia menurut Herry Priyono. Dalam hal ini, secara singkat tesis Herry Priyono dapat dibagi menjadi dua aspek. Pertama, hadirnya kekuasaan kolonial di Indonesia yang berpusat di Batavia memberikan suatu definisi politik baru, yakni untuk merebut pusat politik di Batavia untuk dijadikan milik pribumi. Pada saat itulah, nasionalisme muncul. Kedua, pendidikan (Barat) yang diberikan kepada orang-orang pribumi atas dasar politik etis pemerintah kolonial, ternyata telah melahirkan golongan cendekiawan dan profesi yang kemudian malah menyerang balik pemerintah kolonial tadi. Dalam kedua aspek itulah hubungan antara peran Sjahrir dan tesis Herry Priyono menjadi tampak, yakni bahwa Sjahrir—meskipun tidak setuju dengan paham maupun istilah nasionalisme—tetap mengupayakan perebutan kekuasaan dari Jepang dan Belanda. Patut diperhatikan bahwa yang terpenting dalam pemahaman ini bukanlah berfokus pada Batavia, melainkan berfokus pada upaya perebutan kekuasaan. Selain itu, sebagai salah satu putra bangsa yang dididik dalam kultur Barat, Sjahrir menjadi kaum cendekiawan yang dalam bahasa Herry Priyono disebut sebagai para calon pengisi birokrasi Belanda di Indonesia. Namun dengan mendapat pendidikan Barat, Sjahrir menjadi kritis dan kemudian menolak menjadi bawahan Belanda dan Jepang.


Bersambung ke Bagian II



[1] Lih. P. Y. Nur Indro, Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia: Tentang Sosialisme Demokratis, Bandung: Inisiatif Warga, UKM Media Parahyangan dan Pusik Parahyangan, 2009, hlm. 42-43.
[2] Lih. Mudji Sutrisno, dkk, Sejarah Filsafat Nusantara, Alam Pikiran Indonesia, Yogyakarta: Galangpress, 2005, hlm. 15.
[3] Pemerintah kolonial Belanda menjalankan roda pemerintahan di Indonesia dengan suatu sistem tertentu layaknya mengatur sebuah negara. Sebagai contoh, pemerintah kolonial bekerja sama dengan orang-orang pribumi dengan memberikan jabatan atau tanggung jawab tertentu kepada mereka, misalnya sebagai Lurah, Bupati, dll; membentuk suatu tentara militer yang beranggotakan orang-orang pribumi (KNIL atau Tentara Hindia Belanda). Pemerintahan fasis Jepang juga melakukan strategi penjajahan yang hampir sama dengan penjajahan Belanda. Dengan mendaku sebagai Saudara Tua, Jepang masuk ke Indonesia dengan berupaya menarik simpati rakyat. Namun satu hal yang jelas, pemerintah penjajah tidak pernah berniat untuk memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada rakyat Indonesia. Mereka ingin mempertahankan status quo dan tetap menguasai negeri ini.
[4] Ketika mendengar lewat radio bahwa Jepang hampir kalah, Sjahrir ingin agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Ia meminta Tan Malaka, namun Tan sendiri menolak permintaan Sjahrir tersebut. Setelah itu Sjahrir pun mendesak Soekarno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI. Namun Soekarno belum mempercayai berita kemenangan Sekutu. Sjahrir pun menjadi sangat kecewa bahkan sempat mengumpat Soekarno sebagai man wiif, pengecut dan banci. Oleh sebab itu, Sjahrir mendesak dokter Soedarsono memproklamirkan kemerdekaan RI di alun-alun kejaksaan Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945. Lih. TEMPO, Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa Sjahrir, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002, hlm. 59.
[5]Kemungkinan ini semakin nyata ketika Sjahrir menengarai bahwa di dalam pemerintahan perdana Indonesia terdapat orang-orang yang dalam perjuangan kemerdekaan bekerja sama dengan pemerintahan fasis Jepang. Kedua hal tadi menyebabkan Sjahrir khawatir bahwa fasisme dan feodalisme akan tetap bertahan dan terpelihara di dalam diri rakyat. Bdk. Soetan Sjahrir, “Perjuangan Kita” dalam Indro, Op. Cit., hlm. 181.
[6] Indro, Op. Cit., hlm. 66-67
[7] Bdk. Ibid. Dia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda bangsa, bahkan ikut membentuk perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya, pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi. Dia dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque yang menjadi ajang diskusi politik, di mana ia mengasah kemampuannya dalam berdebat dan berdiplomasi.
[8] Ibid., hlm 68-69.
[9] TEMPO, Op. Cit., hlm. 21.
[10] Sjahrazad, Renungan Indonesia, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1947, hlm. 28, 61.
[11] Menarik untuk melihat bahwa terbitnya jurnal “Daulat Ra’jat” selama kurun waktu tertentu sebelum Sjahrir diasingkan sesungguhnya menunjukkan bahwa pers pada masa itu telah cukup berkembang sebagai bagian dari pembaratan, terutama menyangkut teknik pembinaan masyarakat. Hal itu menurut Lombard bisa terjadi karena pada awal abad ke-20, percetakan tidak lagi merupakan milik khusus masyarakat Eropa. Bdk. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian I: Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 152-153.
[12] Dalam “Renungan Indonesia”, Sjahrir—dalam buku tersebut menggunakan nama pena Sjahrazad—sempat membandingkan orang Barat dan orang Timur. Orang Barat tercermin dalam pemikiran bahwa hidup adalah tujuan, soal utama, dan mati ialah taruhan yang paling berat. Oleh karenanya, orang Barat berjuang untuk hidup. Sedangkan orang Timur hidup untuk menderita, karena mereka menganut religi ketimuran yang menyebabkan hidup mereka menjadi statis dan hanya menerima penderitaan saja. Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 68-70.
[13] Bdk. Lombard, Op. Cit., hlm. 172. Menurut Lombard, istilah revolusi ini muncul dalam bahasa Melayu pada masa Perang Dunia I, untuk mengacu kepada “revolusi-revolusi” di Perancis, Rusia dan Cina. Namun istilah ini baru bisa masuk dan diterapkan dalam realitas Indonesia pada sekitar 1940-an, akibat sensor Belanda dan Jepang.
[14] Lih. Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Jakarta: Djambatan dan Dian Rakyat, 1990, hlm. 250, 257. 

Silahkan gunakan tombol jejaring sosial di atas untuk berbagi artikel dalam blog Sang Murid ini


author

Profil Penulis

Halo, saya adalah Pastor Dhaniel Whisnu, CICM dari Tangerang, provinsi Banten. Terima kasih karena Anda telah berkunjung ke blog ini. Oya, jangan lupa daftarkan email Anda di kotak Berlangganan pada menu samping untuk mendapatkan info tentang artikel-artikel terbaru dari saya. Sampai jumpa lagi :)

0 komentar:

Posting Komentar

Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)