Bacaan I: Kol 3:12-21, 23
Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah
yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan,
kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan
ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap
yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah
demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih,
sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah
dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan
bersyukurlah. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala
kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan
menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian
dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan
perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus,
sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.
Bacaan Injil: Mat 7:21-27
Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan,
Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan
kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir
setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada
mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu
sekalian pembuat kejahatan!"
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan
rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir,
lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di
atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan
rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir,
lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah
kerusakannya."
Renungan
Saya ingin memulai
renungan kali ini dengan menceritakan sebuah kisah anekdot.
Ketika bangsa Israel
keluar dari perbudakan Mesir, mereka tinggal di padang gurun selama kurang
lebih 40 tahun. Pada masa itu, Musa dan Harun bertindak sebagai pemimpin umat
sekaligus perantara umat dengan Allah Yahwe. Pada suatu hari, ketika Musa dan
Harun sedang berkeliling mengunjungi umat, datanglah seorang laki-laki ke Kemah
Pertemuan bermaksud untuk bertemu dengan Musa. Namun karena Musa tidak ada di situ,
maka laki-laki itu meninggalkan pesan untuknya dalam bentuk sepucuk surat.
Ketika Musa tiba beberapa hari kemudian, ia menerima surat itu dan membacanya.
Isinya kurang lebih begini: Kepada yang terhormat Musa, hamba Allah dan
pemimpin bangsa Israel. Aku menulis surat ini kepadamu karena hendak meminta
pertolonganmu. Dapatkah engkau datang ke rumahku dan memberkati rumahku lagi,
karena aku yakin rumahku telah dimasuki oleh roh jahat. Sebab situasi rumahku
benar-benar kacau seperti di neraka. Dulu rumahku memang pernah diberkati oleh
Harun, rekanmu itu. Tapi aku tidak tahu, meskipun rumahku sudah diberkati,
kenapa masih ada roh jahat yang bisa memasukinya? Setelah membaca surat itu,
Musa menilai perkara ini adalah perkara besar, mengingat Harun sebelumnya sudah
pernah memberkati rumah tersebut, tapi ternyata masih ada roh jahat yang berhasil
memasukinya lagi. Oleh sebab itu, ia segera pergi ke Kemah Pertemuan untuk
berbicara dengan Allah guna meminta petunjuk dan pertolongan-Nya. Setelah Musa
menceritakan perkara itu, Allah pun menjawab dari dalam awan, “Musa… Musa…
seharusnya kamu lebih teliti dalam memeriksa perkara ini. Sesungguhnya setelah
rumah itu diberkati Harun, tidak akan ada lagi roh jahat yang bisa masuk dan
tinggal di dalamnya. Lalu pertanyaannya sekarang mengapa situasi rumah itu
kacau seperti di neraka? Alasannya sederhana, karena semua penghuninya bersikap
seperti roh jahat satu dengan yang lain. Suami bertengkar dengan istri, dan
istri bertengkar melawan suami. Orang tua melawan anak, dan begitu pula
sebaliknya. Di tengah umat, mereka selalu bertengkar dengan tetangga sekitarnya.
Mereka juga tidak pernah mengingat Aku dan beribadah kepada-Ku, karena
perhatian mereka selalu terpusat pada apa yang menjadi kesenangan mereka. Oleh
karenanya Musa, Aku berkata kepadamu, meski di rumah mereka tidak ada lagi roh
jahat, tapi selama mereka tidak bertobat dan mengubah sikap hidupnya, maka
hidup mereka akan senantiasa seperti di dalam neraka.
Cerita anekdot tadi
memang bisa diperdebatkan kebenarannya—apalagi jika ditinjau dari segi biblis
atau menurut perspektif Kitab Suci. Tapi saya kira pesan dari cerita itu cukup jelas,
bahwa situasi hidup yang kita alami seringkali lebih ditentukan oleh cara hidup
kita sehari-hari, ketimbang oleh apa yang telah kita terima dari Allah—dan saya
kira pendapat tersebut benar. Atau jika kita ingin lebih konkret, pemberkatan
rumah tidak serta merta menjamin bahwa di masa depan penghuninya akan selalu hidup
rukun dan damai. Demikian pula dengan Sakramen Baptis. Meskipun sakramen baptis
menjadikan kita sebagai anak Allah dan anggota Gereja, namun hal itu tidak langsung
menjamin bahwa semasa hidup di dunia, kita tidak akan terjerumus menjadi
koruptor sehingga ditangkap oleh KPK. Tapi saya yakin dan percaya bahwa Anda sekalian tidak ada yang sampai mengalami hal seperti itu!
Jika demikian
kenyataannya, bahwa Sakramen Baptis dan pemberkatan rumah ternyata tidak bisa secara
langsung menjamin hidup kita di dunia, mungkin kita jadi tergoda untuk bertanya
lebih jauh: Lalu kenapa Gereja masih menganggap kedua hal itu penting? Apa
gunanya kita menerima itu, jika ternyata tidak bisa menjamin hidup kita di
dunia? Nah di sinilah kita perlu memahami bahwa dalam banyak hal, Allah lebih
suka memberi kita benih ketimbang buah—entah itu, rahmat atau sakramen atau
talenta, semuanya itu adalah benih yang perlu dikembangkan supaya menghasilkan
buah melimpah. Benih menjadi sangat penting di sini, karena tanpa benih yang berasal
dari Allah maka tidak akan pernah ada buah. Benih itu meskipun kecil,
mengandung kekuatan dan daya hidup di dalamnya, yang bisa membawa kita sampai kepada
Allah. Makanya kita tetap membutuhkan Sakramen baptis dan juga pemberkatan rumah.
Tapi pada saat yang sama, sikap memelihara dan mengembangkan apa yang sudah
diterima juga sama pentingnya, sebab tanpa itu maka benih juga akan layu dan
mati.
Dalam liturgi
pembabtisan, calon baptis pada bagian awal upacara ditanyai apa yang dia
inginkan, dan ia akan menjawab “iman”. Tapi setelah memperolehnya, iman itu senantiasa
perlu dihayati, dipelihara dan dikembangkan melalui perbuatan nyata setiap
hari, sehingga iman itu bisa menjadi sekokoh batu dan bukannya serapuh pasir,
sebagaimana kita dengarkan dalam Injil tadi. Demikian pula dalam upacara
pemberkatan rumah, yang menjadi fokus pertama-tama bukanlah bangunan fisik yang
disebut rumah, melainkan orang-orang atau keluarga yang menjadi penghuninya.
Melalui tindakan fisik imam yang memerciki air suci ke kamar-kamar,
pintu-pintu, salib, dan sebagainya, kita memohon kepada Allah supaya
mencurahkan rahmatnya bagi keluarga penghuninya. Maka jika kita menginginkan
rumah ini menjadi rumah yang damai dan tenteram, maka yang pertama perlu
didoakan dan dimohonkan rahmat bukanlah bangunan fisiknya, melainkan keluarga
di rumah ini, supaya mereka mampu menunjukkan belas kasihan, kemurahan,
kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, pengampunan, sikap bersyukur, dan
segala kebajikan lainnya. Atau kalau mau lebih konkret, kita berdoa bagi
keluarga di sini guna memohon supaya semua anggota keluarga saling terbuka, bisa
berkomunikasi dengan baik, saling mengasihi, rukun dengan tetangga, tekun
berdoa, aktif di Gereja dan masyarakat, dan sebagainya. Tapi kembali pada hal
tadi, rahmat apapun yang akan diberikan Tuhan bukanlah buah atau produk jadi.
Rahmat itu adalah benih yang perlu dikembangkan melalui praktek hidup setiap
hari. Tanpa praktek hidup itu, maka benih itu jelas akan mati atau minimal
menjadi kerdil.
Di sini saya menemukan kesamaan antara kita semua umat beriman dengan pemain sepak bola professional. Kita tahu bahwa pemain sepak bola professional adalah pemain yang punya bakat besar. Tapi mereka ternyata tetap perlu menjalani latihan teori dan praktek di lapangan. Tanpa teori dan praktek, bakat mereka tidak akan berkembang. Tapi kalau cuma ada salah satunya saja, berarti kemampuan mereka tidak akan seimbang. Kalau hanya tahu teori, mereka cuma cocok jadi komentator. Kalau hanya tahu praktek, dapat dipastikan team mereka akan selalu kalah karena tidak tahu strategi menyerang lawan. Demikian pula kita sebagai umat beriman. Kita sudah punya bakat, yaitu iman. Tapi kita tetap memerlukan latihan teori—contohnya berupa doa lingkungan atau doa rukun serta ibadat sabda—sekaligus kita butuh latihan praktek, yaitu penghayatan hidup setiap hari di tengah keluarga dan masyarakat. Tanpa menjalankan keduanya, dapat dipastikan bahwa iman kita tidak akan berkembang. Tapi kalau hanya menjalankan salah satunya, kemungkinan besar perkembangannya tidak akan seimbang.
Di sini saya menemukan kesamaan antara kita semua umat beriman dengan pemain sepak bola professional. Kita tahu bahwa pemain sepak bola professional adalah pemain yang punya bakat besar. Tapi mereka ternyata tetap perlu menjalani latihan teori dan praktek di lapangan. Tanpa teori dan praktek, bakat mereka tidak akan berkembang. Tapi kalau cuma ada salah satunya saja, berarti kemampuan mereka tidak akan seimbang. Kalau hanya tahu teori, mereka cuma cocok jadi komentator. Kalau hanya tahu praktek, dapat dipastikan team mereka akan selalu kalah karena tidak tahu strategi menyerang lawan. Demikian pula kita sebagai umat beriman. Kita sudah punya bakat, yaitu iman. Tapi kita tetap memerlukan latihan teori—contohnya berupa doa lingkungan atau doa rukun serta ibadat sabda—sekaligus kita butuh latihan praktek, yaitu penghayatan hidup setiap hari di tengah keluarga dan masyarakat. Tanpa menjalankan keduanya, dapat dipastikan bahwa iman kita tidak akan berkembang. Tapi kalau hanya menjalankan salah satunya, kemungkinan besar perkembangannya tidak akan seimbang.
Sebagai umat Katolik
yang telah menerima benih iman melalui Sakramen Baptis, rahmat Allah dicurahkan
24 jam nonstop kepada kita setiap hari tanpa henti. Namun hidup adalah deretan
pilihan. Dan kini pilihan itu ada pada kita, apakah kita mau mengembangkan
benih iman itu hingga menghasilkan buah berlimpah atau tidak? Apakah kita mau
mengubah rahmat yang tidak kelihatan menjadi sesuatu yang lebih konkret dan
membagikannya kepada saudara-saudari kita, dalam bentuk sikap lemah lembut,
sabar, rendah hati, dan segala kebajikan lainnya? Semuanya terserah pada masing-masing
pribadi. Tapi saya tetap yakin dan percaya bahwa kita semua mampu memilih yang
sesuai dengan kehendak Tuhan.
Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.
Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.
terimakasih romo atas postingan renungannya yang membantu banyak umat untuk refleksi iman Tuhan memberkati
BalasHapusterimakasih romo atas postingan renungannya yang membantu banyak umat untuk refleksi iman Tuhan memberkati
BalasHapusTerima kasih romo,atas postingan renungannya,sangat membantu umat untuk refleksi, serta pemahaman makna ibadat2 yg kita lakukan,juga menambah wawasan perkembanganiman umat.Semoga Tuhan selalu memberkati romo.
BalasHapus