Kemudian Tobia bangkit dari tempat tidur dan berkata kepada Sara: "Bangunlah, adinda, mari kita berdoa dan mohon kepada Tuhan kita, semoga dianugerahkan-Nya belas kasihan serta perlindungan." Maka bangunlah Sara dan mereka berdua mulai berdoa dan mohon, supaya mereka mendapat perlindungan. Mereka angkat doa sebagai berikut: "Terpujilah Engkau, ya Allah nenek moyang kami, dan terpujilah nama-Mu sepanjang sekalian abad. Hendaknya sekalian langit memuji Engkau dan juga segenap ciptaan-Mu untuk selama-lamanya. Engkaulah yang telah menjadikan Adam dan baginya telah Kaubuat Hawa isterinya sebagai pembantu serta penopang; dari mereka berdua lahirlah umat manusia seluruhnya. Engkaupun bersabda pula: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja, mari Kita menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Bukan karena nafsu berahi sekarang kuambil saudariku ini, melainkan dengan hati benar. Sudilah kiranya mengasihani aku ini dan dia dan membuat kami menjadi tua bersama." Serentak berkatalah mereka: "Amin! Amin!" Kemudian mereka tidur semalam-malaman.
Bacaan Injil: Yohanes 15:9-13
Yesus berkata: ”Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Ku-katakan kepadamu, supaya sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Sebelum
saya menyampaikan renungan kali ini, saya ingin sharing sedikit.
Sebagai seorang frater yang sedang menjalani masa TOP atau Tahun Orientasi
Pastoral di paroki Kare, secara jujur perlu saya katakan bahwa ada 2 jenis ibadat yang
sering membuat saya tidak percaya diri, khususnya dalam hal memberi renungan.
Kedua jenis ibadat itu, yang pertama adalah ibadat arwah dan yang kedua adalah
ibadat pre-wedding atau ibadat midodareni seperti ini. Dan menurut saya, alasan
saya pribadi sangat masuk akal, yaitu karena saya belum pernah merasakan
bagaimana menjadi orang mati atau menjadi orang yang akan menikah. Jadi bisa
dikatakan, saya tidak punya dasar pengalaman mengenai hal itu. Apalagi, kembali
lagi ke asal budaya Jawa saya, dalam hal ibadat midodareni, biasanya orang tua
dan orang-orang yang dituakan akan memberikan nasehat, wejangan atau petuah
kepada kedua calon mempelai. Dan lagi-lagi, bisa saudara-saudari lihat, saya
juga bukan orang tua. Tapi, syukur kepada Allah, inilah enaknya menjadi orang
Katolik, karena dalam setiap ibadat pasti ada bacaan Kitab Suci, dan di sinilah
posisi saya hendak mengajak bapak, ibu, saudara-saudari, khususnya
kedua calon mempelai untuk bersama menimba nasehat dan inspirasi dari Kitab
Suci, Sabda Tuhan yang baru saja kita dengarkan. Saya yakin dan percaya bahwa pesan
dari Sabda Tuhan tidak kalah bermaknanya dibandingkan nasehat-nasehat dari
orang-orang terdekat kita. Ok, itu tadi sekedar sharing saya.
Saya
ingin mengawali renungan ini dengan menceritakan sebuah cerita yang mungkin
sudah pernah anda dengar sebelumnya.
Pada suatu hari, ada suami istri pejabat senior yang mengadakan perayaan syukuran pesta emas perkawinan di sebuah hotel mewah. Banyak pejabat, artis, serta tokoh-tokoh masyarakat yang hadir, dan mereka semua terkagum-kagum melihat kemesraan di antara pasangan suami istri yang sudah lanjut usia itu. Akhirnya jamuan makan malam yang ditunggu-tunggu tiba. Koki dan para pelayan masuk membawa hidangan utama, yaitu sup ikan emas. Melihat hal itu, si suami segera bangkit berdiri dan memberikan sambutan, “Para hadirin sekalian, ikan emas bukanlah ikan mahal. Namun inilah kesukaan kami selama 50 tahun menikah, sejak kami masih miskin sampai dengan saat ini. Ikan emas adalah symbol kedekatan, kemesraan dan cinta di antara kami.” Semua tamu pun bertepuk tangan. Lalu si suami segera memotong ikan emas itu, dan memberikan bagian kepala dan ekor kepada istrinya dengan mesra. Semua tamu terdiam dalam kekaguman. Tiba-tiba terdengar suara isak tangis yang semakin lama semakin keras. Ternyata sang istri yang menangis, sehingga si suami menjadi bingung. “Mengapa kau menangis, istriku?” tanyanya. Sang istri pun berdiri dan angkat bicara, “Suamiku, sudah 50 tahun kita menikah. Aku pun telah melayanimu dalam suka dan duka tanpa pernah mengeluh. Demi cintaku padamu, aku telah rela makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, dalam perayaan pesta emas ini, kau masih memintaku menyantap kepala dan ekor ikan emas lagi. Ketahuilah, suamiku, kedua bagian itu adalah yang paling tidak kusukai.” Pejabat senior itu terdiam sejenak, lalu ia berkata, “Istriku yang kucinta, 50 tahun lalu ketika kau bersedia menikah denganku, aku sungguh sangat bahagia. Aku sungguh sangat mencintaimu. Oleh sebab itu, aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras demi membahagiakanmu. Dan demi Tuhan, setiap kali makan ikan emas, bagian yang paling kusukai sebenarnya adalah kepala dan ekor. Namun sejak kita menikah, aku tidak pernah lagi makan kedua bagian itu, karena aku ingin memenuhi sumpahku untuk memberikan yang paling baik dan berharga bagimu. Walaupun kita telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan aku, karena hingga detik ini aku belum tahu bagaimana caranya membuatmu bahagia.” Judul cerita tersebut adalah “50 Tahun Salah Paham”.
Pada suatu hari, ada suami istri pejabat senior yang mengadakan perayaan syukuran pesta emas perkawinan di sebuah hotel mewah. Banyak pejabat, artis, serta tokoh-tokoh masyarakat yang hadir, dan mereka semua terkagum-kagum melihat kemesraan di antara pasangan suami istri yang sudah lanjut usia itu. Akhirnya jamuan makan malam yang ditunggu-tunggu tiba. Koki dan para pelayan masuk membawa hidangan utama, yaitu sup ikan emas. Melihat hal itu, si suami segera bangkit berdiri dan memberikan sambutan, “Para hadirin sekalian, ikan emas bukanlah ikan mahal. Namun inilah kesukaan kami selama 50 tahun menikah, sejak kami masih miskin sampai dengan saat ini. Ikan emas adalah symbol kedekatan, kemesraan dan cinta di antara kami.” Semua tamu pun bertepuk tangan. Lalu si suami segera memotong ikan emas itu, dan memberikan bagian kepala dan ekor kepada istrinya dengan mesra. Semua tamu terdiam dalam kekaguman. Tiba-tiba terdengar suara isak tangis yang semakin lama semakin keras. Ternyata sang istri yang menangis, sehingga si suami menjadi bingung. “Mengapa kau menangis, istriku?” tanyanya. Sang istri pun berdiri dan angkat bicara, “Suamiku, sudah 50 tahun kita menikah. Aku pun telah melayanimu dalam suka dan duka tanpa pernah mengeluh. Demi cintaku padamu, aku telah rela makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, dalam perayaan pesta emas ini, kau masih memintaku menyantap kepala dan ekor ikan emas lagi. Ketahuilah, suamiku, kedua bagian itu adalah yang paling tidak kusukai.” Pejabat senior itu terdiam sejenak, lalu ia berkata, “Istriku yang kucinta, 50 tahun lalu ketika kau bersedia menikah denganku, aku sungguh sangat bahagia. Aku sungguh sangat mencintaimu. Oleh sebab itu, aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras demi membahagiakanmu. Dan demi Tuhan, setiap kali makan ikan emas, bagian yang paling kusukai sebenarnya adalah kepala dan ekor. Namun sejak kita menikah, aku tidak pernah lagi makan kedua bagian itu, karena aku ingin memenuhi sumpahku untuk memberikan yang paling baik dan berharga bagimu. Walaupun kita telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan aku, karena hingga detik ini aku belum tahu bagaimana caranya membuatmu bahagia.” Judul cerita tersebut adalah “50 Tahun Salah Paham”.
Pandangan kita mengenai
cerita tadi mungkin bermacam-macam: ada yang tersentuh, ada yang tertawa, ada
juga yang menganggap tidak masuk akal. Namun yang ingin saya garis bawahi di
sini adalah tentang kesalahpahaman, yang mungkin terjadi ketika menjalani hidup
perkawinan dan berumah tangga. Bahkan kebersamaan hidup pun tidak menjamin
bahwa kesalahpahaman tidak akan terjadi. Dalam hal inilah, kita bisa
merefleksikan bacaan I pertama dari kitab Tobit tadi. Kalau kita hanya membaca
atau mendengar perikop tadi, kita akan memperoleh kesan biasa-biasa saja, sekedar
perbuatan saleh bahwa suami istri Tobia dan Sara berdoa menjelang hari
pernikahannya. Namun kalau kita baca seluruh kitab Tobit sungguh-sungguh, kita
akan temukan sebuah kisah yang mendebarkan dan mencengangkan. Sara dikuasai oleh iblis yang menghancurkan hidupnya.
Sudah tujuh kali ia menikah, tetapi setiap kali suaminya meninggal, sebelum
pagi hari tiba. Semua prihatin dengan keadaan ini namun tak bisa berbuat
apa-apa. Sara yang cantik itu ternyata gagal melaksanakan tugasnya sebagai
isteri dengan baik, malahan ia membawa sengsara bagi suaminya.
Apa yang
menyebabkan Sara selalu gagal membangun hidup bahagia bersama suaminya? Sebab
Sara memelihara iblis dan tidak pernah berdoa kepada Tuhan. Dan setiapkali
menikah, iblis mengambil nyawa suaminya. Tujuh kali hal ini berlangsung.
Sarapun menjadi sedih. Barulah dalam perkawinannya yang ke delapan, perkawinan
dengan Tobia, cengkeraman setan dapat diatasi. Sebabnya, Sara dan Tobia
mengikuti bisikan malaekat Rafael untuk berdoa pada hari perkawinan mereka dan
menghancurkan insang ikan untuk mengusir si iblis tadi. Dan memang, setannya
lalu meninggalkan Sara. Sara bahagia, suaminya bahagia, keluarganya juga
bahagia, maka terbangunlah keluarga yang sejahtera.
Bacaan I tadi
menjadi semacam gambaran bahwa hidup perkawinan itu seringkali mengandung tantangan
yang berat. Lebih dari itu, setiap calon mempelai membawa egoisme,
perbedaan-perbedaan serta kekurangan-kekurangan yang bila tidak dibuka,
dibicarakan dan diatasi bersama, maka hal-hal tersebut bisa menjadi iblis yang
merusak kebahagiaan hidup rumah tangga. Perlu diperhatikan bahwa masa
perkawinan yang panjang yang sudah dilalui tidak bisa menjamin bahwa
kesalahpahaman tidak akan terjadi dan bahwa iblis perusak tadi sudah
benar-benar diusir pergi. Maka dari bacaan I tadi kita bisa belajar tentang 2
hal: Pertama, Tobia dan Sara menghadapi persoalannya secara bersama dalam
keterbukaan. Hal itu bisa kita lihat dari inisiatif Tobia untuk mengajak Sara
berdoa bersama. Dan hal yang kedua adalah, mereka berdua memohon campur tangan
Tuhan untuk menolong mereka mengatasi segala tantangan dalam perkawinan. Sebab
Allah sungguh menjawab doa mereka dan menolong mereka.
Maka kalau boleh
saya rangkum menjadi 1 kata, pesan dari renungan malam ini hanyalah 1 kata:
komunikasi. Ini berlaku baik komunikasi dengan Allah maupun dengan pasangan.
Dan komunikasi ini bisa jadi akan menyangkut berbagai hal. Mulai dari soal
mengurus anak, siapa mencari nafkah, pembagian tugas mengurus rumah, bahkan
termasuk juga rekening bank, pin kartu kredit, slip gaji dan pesan-pesan yang tersimpan dalam
handphone. Ini bukan berarti kebebasan atau privasi anda pribadi hilang, tapi
ini merupakan konsekuensi dari hidup berkeluarga yang telah kalian pilih. Dan
perlu kalian tanamkan juga, bahwa jika suami atau istri anda bertanya mengenai
hal-hal itu, bukan karena ia curiga, melainkan karena ia mencintai anda. Sebab
sebagaimana cinta tumbuh lewat komunikasi; keluarga pun hanya bisa bertahan
dengan komunikasi. Jadi, selamat berkomunikasi dengan Tuhan, pasangan, dan
anak-anak kita masing-masing.
Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.
Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.
Artikel artikel Pastor sangat bagus dan inspiratif
BalasHapusbaik homilinya dengan cerita yg menarik jadi mudah dicerna dan enak dibaca,matur nuwun Pastor
BalasHapus