Sudah hampir dua puluh menit aku berdiri di sini, di bawah jembatan fly-over Klender. Aku berdiri sambil menatap hiruk pikuk di pagi ini. Di hadapanku, motor dan mobil melaju dengan kecepatan sedang, mengepulkan asap knalpot yang membuat udara terasa sesak. Suara klakson kendaraan dan makian para pengguna jalan yang tak sabar berbagi keramaian dengan deru kereta dan suara pengumuman dari corong pengeras di Stasiun Klender. Semuanya berlari. Semuanya ribut. Layaknya orang-orang yang diminta segera mengungsi karena tsunami akan datang.
Matahari belum lagi tinggi, tapi pakaianku sudah basah bersimbah peluh. Kemeja yang baru aku setrika subuh tadi, kini sudah kusut di beberapa bagian. Sebuah tas berwarna hitam tersandang di bahuku. Biasanya aku tidak suka bepergian dengan membawa tas. Namun kali ini aku terpaksa membawanya.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Mataku masih terus menatap jalan. Tapi perhatianku sebenarnya hanya tertuju pada satu hal. Metro Mini 47 jurusan Pondok Kopi – Senen.
Metro Mini keempat yang menuju ke Senen baru saja lewat dengan lambung yang sarat penumpang. Kondekturnya yang serakah terus saja menaikkan penumpang, padahal kendaraan itu sudah miring karena kelebihan muatan.
Mudah-mudahan Metro Mini kelima juga akan sarat penumpang, kataku dalam hati. Sedari tadi sebenarnya aku sudah siap bertindak. Namun entah kenapa aku merasa perlu menunggu. Bukan menunggu kesempatan, tapi aku menunggu sesuatu terbit di dalam hatiku.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Aku ingat percakapanku dengan Udin waktu kami duduk-duduk di warung kopi Pak Mamat, tiga hari lalu.
“Dicoba saja, bang. Aku yakin Tuhan pasti mengerti,” kata Udin di sela-sela isapan rokoknya.
Aku menghela nafas panjang.
“Bukan Tuhan yang aku khawatirkan. Aku sendiri yakin, Ia pasti akan mengerti,” jawabku.
“Lalu apa masalahnya, bang?” kejar Udin.
Sekali lagi aku menghela nafas panjang.
“Yah… aku takut kalau aku sampai ketahuan. Bisa-bisa keadaanku semakin runyam. Padahal anak-istriku sekarang ini sangat membutuhkan kehadiranku,” jawabku putus asa.
“Kalau soal itu, abang enggak usah khawatir. Yang penting abang hati-hati, semuanya pasti akan lancar,” kata Udin berusaha meyakinkanku.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Pikiranku terus-menerus mengulang kata-kata yang sama itu. Ya, kalau bukan sekarang, apa aku punya kesempatan lain yang lebih baik? Lagipula ini hanya masalah keberanian memulai sesuatu yang tidak pernah dilakukan. Nanti setelah aku berhasil melakukannya, aku yakin bahwa aku akan semakin berani dan terbiasa. Mau bagaimana lagi, sepertinya keadaan memang memaksaku.
Pikiranku kembali melayang. Kali ini aku teringat dengan keluargaku di rumah. Tinggal berdempetan dalam rumah petak berukuran 3 meter kali 3 meter, aku melihat di situ ada aku, istriku dan kedua anakku. Sudah hampir sebulan istriku terbaring lemah di atas kasur tipis di sudut kamar. Kata dokter, ia terkena penyakit lupus. Penyakit yang bahkan baru kali ini aku dengar namanya.
Masih dalam bayanganku, aku melihat kedua anakku bertengkar berebut biskuit. Si sulung, berusia 8 tahun, mungkin sebentar lagi akan berhenti sekolah. Sudah 3 bulan ia menunggak SPP dan kepala sekolah sudah mengancam akan mengeluarkannya jika tetap tidak membayar. Si bungsu, baru berusia 4 tahun. Setiap hari ia merengek ingin minum susu. Tapi mau bagaimana lagi? Di dalam rumahku ini, bahkan seperempat kilogram gula pun kami tidak memilikinya.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Sebagai kepala keluarga, aku sebenarnya tidak sanggup melihat istri dan anakku begini. Semenjak di-PHK sebulan lalu dari pabrik tempat aku bekerja di wilayah Tanjung Priok, aku merasa bahwa semua pintu tertutup bagiku. Tak terhitung berapa kali aku mencoba melamar kerja, tapi selalu ditolak. Tak terhitung berapa hutangku kepada para tetangga, entah kapan bisa melunasinya. Tak terhitung berapa kali anak bungsuku menangis minta dibelikan susu; aku hanya bisa menghiburnya dengan janji kosong bahwa besok ayah pulang dengan membawa sekaleng susu. Dan akhirnya, tak terhitung berapa kali aku telah menimbang-nimbang, namun aku masih belum menemukan keberanian untuk menjalankan rencanaku.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Tanpa sadar, sebuah Metro Mini 47 melaju terseok-seok ke arahku. Lambungnya sarat penumpang. Ada yang duduk, lebih banyak lagi yang berdiri.
Begitu Metro Mini mendekat, aku langsung melompat masuk lewat pintu belakang.
Sekarang atau tidak sama sekali…
* * *
Di dalam Metro Mini, aku berhasil menjejalkan tubuhku ke deretan belakang dekat jendela samping kanan. Posisi berdiri yang demikian memang sangat strategis. Tangan kananku bisa menggenggam erat besi pegangan yang menempel di jendela, sedangkan tangan kiriku mengatur sedemikian rupa tasku agar dapat menutupi perutku.
Sekarang posisiku sudah pas, kataku dalam hati. Kini tinggal menentukan targetnya.
Menempel tepat di depanku, seorang wanita dengan pakaian rapi berdiri membelakangiku. Di punggungnya tersandang tas kecil berwarna krem. Menurut perkataan Udin 3 hari yang lalu, wanita yang membawa tas punggung kecil biasanya menyimpan dompet dan ponselnya.
Mataku kembali menjelajah. Di samping kiri wanita tadi berdiri seorang pria berusia sekitar 40 tahun mengenakan jaket berbahan kulit. Untunglah ia juga dalam posisi membelakangiku. Sedangkan dua orang penumpang yang duduk di belakangku rupanya tengah lelap tertidur.
Dalam hati aku bersorak kegirangan. Sepertinya Tuhan sedang berpihak kepadaku. Ia maklum dengan perbuatan yang akan aku lakukan, mengingat keluargaku saat ini sangat membutuhkan uang.
Aku menarik nafas panjang sambil mengumpulkan keberanian.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Kemudian tangan kiriku terulur ke arah tas yang dikenakan wanita di hadapanku…
* * *
Peristiwa berikutnya berlangsung cepat dan sepertinya terjadi di luar kesadaranku. Bahkan bisa dikatakan bahwa hanya naluriku yang mengendalikan diriku seluruhnya.
Ketika tanganku belum lagi sampai ke tas wanita itu, sebuah tangan lain tiba-tiba menepukku. Aku sangat terkejut dan mengira aku sudah ketahuan. Ketika aku angkat wajahku, aku melihat bahwa pemilik tangan itu mendelik dengan tatapan mengancam kepadaku. Ia adalah laki-laki berjaket kulit yang berdiri di samping wanita tadi. Aku segera menarik tanganku dan bergeming. Tidak tahu harus berbuat apa.
Ternyata laki-laki tadi bukan bermaksud menangkapku, karena kini aku lihat tangannya bekerja dengan lihai membuka tas itu dan mulai merogoh ke dalamnya dengan hati-hati. Sejauh ini, aku melihat bahwa pemilik tas tidak menyadari bahwa ada orang yang telah membuka tasnya.
Ah, ternyata dia pun pencopet, sama sepertiku. Perbedaannya hanyalah bahwa ia lebih berpengalaman daripada aku yang baru akan melakukan untuk pertama kalinya ini.
Aku tidak tahu keberanian apa yang mendorongku bertindak lain kemudian. Satu kali Metro Mini mengerem mendadak karena taksi yang melaju di depannya memotong jalan. Tubuh semua penumpang terdorong ke arah depan seiring dengan injakan pedal rem. Meskipun telah berpegangan erat, tak urung tubuhku pun terdorong ke depan, hingga sesaat bersebelahan dengan wanita tadi.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Ketika wajahku berdekatan dengan wajah wanita itu, aku pun berbisik cepat, “Mbak, ada pencopet yang sedang membuka tasmu.”
Wanita itu mengernyitkan dahi sejenak, lalu berpaling dan segera memeriksa tasnya. Dalam hati aku tertawa, melihat laki-laki berjaket kulit itu terburu-buru menarik tangannya. Ia mendelik marah kepadaku, tapi kemudian segera membuang muka ketika melihat wanita tadi balik menatap marah kepadanya.
Dengan sikap yang salah tingkah, laki-laki itu segera menuju pintu belakang dan turun dari Metro Mini. Sedangkan wanita itu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepadaku, karena telah menggagalkan aksi pencopetan tadi.
Ah, seandainya dia tahu bahwa aku pun tidak lebih baik dari pria tadi, kataku dalam hati.
Seandainya wanita itu tahu bahwa ini hanya persoalan sekarang atau tidak sama sekali.
Duren Sawit, 5 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar
Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)