Sumbangan pemikiran Sjahrir pada dasarnya dapat dipetakan sebagai berikut. Pertama, ia mendasarkan atau mengakarkan semua pemikirannya pada paham universalisme humanis, sebagai suatu landasan moral dan orientasi etis. Kedua, dengan melihat situasi dan kondisi aktual di Indonesia, ia pun kemudian mengusung sosialisme kerakyatan sebagai pandangan politisnya. Ketiga, sebagai konkretisasi sekaligus sarana untuk meraih kondisi ideal dalam kedua point tadi, maka Sjahrir pun menggagas pendidikan kemanusiaan. Dengan kata lain, pokok-pokok pemikiran Sjahrir tersusun secara piramida terbalik dengan universalisme humanis sebagai bangunan atas, sosialisme kerakyatan sebagai bangunan tengah dan akhirnya mengerucut pada pendidikan kemanusiaan sebagai bangunan bawah.
2.1 Pandangan Sjahrir tentang Universalisme Humanis.
Universalime humanis merupakan salah satu pokok pikiran Sjahrir yang mencolok dan cukup mewarnai buah-buah pemikirannya. Pemikiran ini terutama mengemuka dalam karyanya yang berjudul “Perjungan Kita”. Menurut Sjahrir, manusia tidak dapat dibedakan dan dikotak-kotakkan berdasarkan ras, agama, seks ataupun bangsa. Dengan itu, universalisme humanis Sjahrir dapat dilihat sebagai usaha untuk memahami manusia dalam kompleksitas cara beradanya.[1]
Dapat dikatakan, universalisme humanis Sjahrir merupakan upaya untuk merespon fenomena kehidupan manusia yang semakin kompleks dan berkembang cepat. Dalam pengamatannya terhadap kejadian di perbagai pelosok dunia,[2]ia menemukan gejala bahwa manusia sebagai individu kini berada di tempat-tempat massa manusia, khususnya di dalam kompleksitas kehidupan perkotaan. Dalam hal ini, manusia sebagai individu harus menjalani hiruk-pikuk kehidupan dengan segala pergolakannya. Fenomena ini memunculkan kecenderungan baru di mana manusia sebagai individu harus mencari tumpuan hidup, yakni kelompok atau kolektivitas.
Menurut Sjahrir, kecenderungan untuk mengutamakan kolektivitas semakin lama semakin meningkat. Berbagai tindakan dilakukan atas nama kolektivitas. Bahkan dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, manusia sebagai individu dipaksa tunduk pada (kepentingan) kolektivitas.[3]Di sini Sjahrir menemukan semacam inkonsistensi, yakni kepentingan kolektivitas telah menjadi landasan bertindak yang mengarah kepada absolutisme. Absolutisme mengejawantah dalam prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa negara (kolektivitas) harus menguasai individu-individu.[4]Dengan demikian, inkonsistensi yang dimaksudkan Sjahrir tepatnya adalah suatu keadaan di mana individu semata-mata digunakan sebagai sarana demi tumbuh dan berkembangnya kolektivitas. Individu yang sebelumnya sadar dan memiliki kebebasan kini telah teralienasi. Di sini individu tidak lagi menyadari dirinya sebagai manusia yang bermartabat kemanusiaan.[5]
Pada dasarnya, universalisme humanis Sjahrir mengacu kepada kesederajatan umat manusia. Menurutnya, pengakuan kesederajatan umat manusia merupakan prinsip yang mendasar, karena mengacu langsung pada martabat luhur manusia.[6]Kesederajatan umat manusia di sini tidak diartikan yang statis, yakni bahwa manusia mesti memiliki peran dan fungsi yang sama, tetapi lebih dimaksudkan agar manusia untuk tumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Denganitu, universalisme humanis Sjahrir menghendaki agar orang bisa menerima cara hidup manusia yang kompleks dan berbeda-beda.
Konsekuensi logis dari pandangan universalisme humanisnya, Sjahrir kemudian menolak pembedaan umat manusia yang berujung pada munculnya dominasi dari yang kuat/dianggap baik atas yang lemah/dianggap kurang baik. Pembedaan yang dimaksudkan Sjahrir di sini adalah fasisme.[7]Menurutnya, fasisme sebagai suatu ajaran dan paham yang membedakan dan mengkotak-kotakkan manusia sangat bertentangan dengan pandangan universalisme humanisnya yang menekankan kesederajatan manusia secara menyeluruh.
Singkat kata, fasisme sebagai suatu pemikiran politik tidak akan ditolerir oleh Sjahrir. Pemikiran fasis tidak hanya melanggar prinsip kebebasan tetapi sekaligus penghinaan bagi keluhuran martabat manusia. Dengan itu, fasisme rentan pada pelanggaran kemanusiaan.[8] Dalam kerangka ini, Sjahrir melihat bahwa musuh Indonesia jangka panjang adalah fasisme dalam berbagai macam ragamnya. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia harus bersih dari unsur-unsur fasis. Pemerintahan Republik Indonesia harus bebas dari kecenderungan mengkotak-kotakkan manusia, menempatkan manusia yang satu di bawah yang lain.[9]
2.2 Pandangan Sjahrir tentang Sosialisme Kerakyatan
Sosialisme kerakyatan merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Sjahrir tentang universalisme humanis. Di sini Sjahrir memilih sosialisme kerakyatan sebagai cara perjuangan, dengan berlandaskan pada kenyataan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran akan martabat kemanusiaan di Indonesia masih sangat rendah. Dengan bertolak dari penghargaan atas martabat manusia tadi, Sjahrir juga tidak setuju dengan diterapkannya kekerasan dan paksaan dalam usaha untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat.
Pemikiran Sjahrir tentang sosialisme kerakyatandapat ditelusuri dari akar sosialismeyang muncul dari ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels. Paham sosialisme yang dirintis oleh kedua pemikir ini memberi penekanan pada persamaan derajat. Penekanan inilah yang kemudian menginspirasi perjuangan kaum proletar melawan kaum borjuis yang berujung pada gagasan masyarakat tanpa kelas.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangan selanjutnya, paham sosialisme secara menonjol mendapat dua penafsiran yang berbeda-beda. Sebut saja, Vladimir Illich Leninmenafsirkan bahwa bahwa inti dari ajaran Marx dan Engels adalah segi-segi intensionalitasnya serta ajaran, perbuatan dan pelaksanaan-pelaksanaan yang biasa disebut ajaran diktator proletariat. Selain penafsiran Lenin, muncul penafsiran kedua yang lebih memberi penekanan pada pentingnya segi-segi pendidikan, latihan dan penyusunan kaum buruh serta kaum proletar untuk dapat mempengaruhi dan akhirnya mengendalikan kondisi hidupnya melalui pengaruh serta kekuasaan atas negara. Penafsiran kedua inilah yang menjadi posisi dari pemikiran Sjahrir.[10]Penafsiran yang kedua ternyata juga banyak dianut oleh kaum sosialis parlementeryang berpandangan bahwa perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis semestinya dicapai lewat kemenangan kaum sosialis di dalam pemilihan-pemilihan untuk parlemen. Pada titik ini, sosialisme sebenarnya telah dicapai dengan menyelenggarakan demokrasi politik. Dalam kerangka ini, pemikiran semacam tadi di Eropa Barat disebut dengan istilah Sosialisme Demokratis.[11]
Berbeda dengan kaum sosialis Eropa yang menekankan perwujudan demokrasi parlementer, kaum sosialis Asia cenderung berfokus pada upaya memerangi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Adapun yang menjadi dasarnya adalah taraf kehidupan di Asia, termasuk pula di Indonesia, masih sangat rendah. Hal itu tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat Eropa yang memiliki tingkat pendidikan dan kesadaran akan martabat manusia tinggi, sehingga rakyat siap mengemban kekuasaan dalam parlemen. Oleh karena itu, sosialisme di Asia pada umumnya disebut sosialisme kerakyatan. Meski demikian, sosialisme kerakyatan juga tetap perlu dicapai lewat jalan demokrasi.
Sebagai salah seorang sosialis yang hidup dalam konteks Asia dan mengalami bahwa rakyat Indonesia kurang menghargai kemanusiaan, Sjahrir meyakini bahwa sosialisme kerakyatan merupakan cara perjuangan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan Sjahrir di sini adalah sosialisme yang menjunjung tinggi martabat manusia dan mengakui persamaan derajat setiap umat manusia. Pengakuan atas persamaan derajat diyakini Sjahrir akan membentuk kesadaran sosial dalam diri setiap orang untuk kemudian memperjuangkan kemerdekaan dan mengembangkan kehidupannya. Dalam kerangka ini, sosialisme kerakyatan tidak hanya membawa orang pada kesadaran akan harkat-martabat manusia, tetapi juga penghormatan terhadap individu atau bangsa lain.
Konsekuensi logis dari paham sosialisme kerakyatan yang diusung Sjahriradalah penolakan terhadap segala bentuk ketidaksederajatan, praktek kekerasan dan pemaksaansebagaimana terungkap dalam fasisme, imperialisme, feodalisme dan komunisme. Bahkan menurut Sjahrir, paham nasionalisme pun perlu dicurigai karena dapat membuka kemungkinan pada pemakaian rakyat sebagai sarana bagi para penguasa untuk menjaga eksistensi dan pengembangan negara.[12]Prioritas utama adalah rakyat, bukan negara.
Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini, yaitu bahwa rakyat perlu dibersihkan dari pengaruh paham-paham yang telah menciderai dan merendahkan martabat manusia.[13] Pembersihan ini perlu dipahami sebagai pembersihan menyeluruh, yakni meliputi ranah mentalitas dan susunan aparatur pemerintahan mulai dari tingkat desa yang telah terpengaruh paham-paham tadi. Bagaimanapun, paham-paham itu telah turut mempengaruhi dan membentuk mentalitas rakyat menjadi rendah diri dan tunduk laiknya budak, sekaligus menjadikan mereka bermental fasis dalam artian bahwa individu boleh membenci seluruh dunia asalkan jangan membenci kelompoknya sendiri.
Bertolak dari paham sosialisme kerakyatan—yang selaras dengan universalisme humanis, Sjahrir kemudian tiba pada kesimpulan bahwa cara efektif untuk meningkatkan taraf kesadaran rakyat akan martabat kemanusiaan, yaitu dengan jalan memberikan pendidikan kemanusiaan yang memadai. Jika rakyat telah sadar akan martabat mereka, maka proses demokrasi dapat mulai berjalan, hingga sosialisme pun menjadi mungkin dicapai.
2.3 Pandangan Sjahrir tentang Pendidikan Kemanusiaan
Sekarang kita tiba pada bagian ketiga dari pokok pemikiran Sjahrir, yaitu mengenai pendidikan kemanusiaan. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian-bagian sebelumnya, bahwa Sjahrir menggunakan sistem tertentu untuk menyusun kerangka pemikirannya. Dengan berlandaskan pada universalisme humanis sebagai filsafat moralnya, Sjahrir kemudian mengusung sosialisme kerakyatan sebagai filsafat politiknya. Sosialisme kerakyatan ini pada akhirnya akan diwujudkan dalam bentuk memberikan pendidikan kemanusiaan kepada rakyat, sebagai praksis pedagogis yang akan memampukan mereka untuk menyadari harkat-martabatnya sebagai manusia. Dalam hal ini, pendidikan kemanusiaan secara singkat dapat dipahami sebagai pendidikan yang berlandaskan pada pandangan bahwa individu merupakan nilai paling tinggi serta sebagai sumber nilai terakhir, sehingga pendidikan perlu diberikan sebagai penyadaran akan nilai tersebut dalam diri individu sekaligus memberikan bekal bagi mereka untuk mengembangkan diri secara kreatif.
Menyangkut pendidikan kemanusiaan untuk rakyat itu, Sjahrir menggarisbawahi bahwa pendidikan tersebut harus mencakup ketiga bidang pendidikan, yaitu: ilmu pengetahuan, pendidikan politik dan pendidikan moral/kesusilaan. Pandangan itu tidak berarti bahwa pendidikan harus selalu diberikan dalam konteks sekolah, melainkan bisa juga melalui organisasi, kaderisasi, kelompok diskusi dan publikasi tulisan-tulisan kepada khalayak umum. Yang lebih penting, yaitu bahwa nilai-nilai kemanusiaan perlu meresapi seluruh aspek pendidikan, sehingga terhindar dari suatu keadaan di mana pendidikan tidak bebas nilai atau diarahkan kepada ideologi tertentu. Jika ada nilai atau ideologi dalam pendidikan tadi, hal itu pun tidak lain daripada kemanusiaan. Sebagai contoh, sikap fasisme Jepang yang diwujudkan melalui propaganda dan manipulasi berita menyebabkan para pemuda kerapkali mencontoh-contoh Jepang.[14]Adapun maksud diberikannya ketiga bidang pendidikan tadi, yakni supaya mereka mampu menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi baik secara personal maupun kolektif, sekaligus membuat individu menjadi kritis dan dengan demikian kontrol diri untuk menghadapi nafsu-nafsu rendah semakin kuat.[15]
Jika meninjau sejarah kehidupan Sjahrir, kita akan melihat bahwa ia berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemikirannya tentang pendidikan kemanusiaan secara konkret. Dalam hal ini, ada dua cara yang ditempuh oleh Sjahrir. Pertama, melalui tulisan-tulisannya, antara lain dalam jurnal “Daulat Ra’jat”, kumpulan surat “Renungan Indonesia” dan risalah politik “Perjuangan Kita.” Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kaderisasi bagi para pengikutnya, yang diberikannya baik lewat PNI-Pendidikan, jaringan-jaringan yang dia bentuk pascapengasingan, maupun melalui partai kerakyatan atau demokratis yang revolusioner (Partai Sosialis Indonesia) yang dia dirikan pascakemerdekaan Indonesia. Adapun wujud konkret dari kegiatan kaderisasi itu adalah melalui tulisan-tulisan yang perlu dipelajari oleh para pengikutnya; diskusi-diskusi dengan mereka; serta lewat upaya untuk mendengarkan siaran radio luar negeri secara klandestein untuk mengetahui situasi terkini.[16]
Tahap lebih lanjut yang dicita-citakan Sjahrir dari pemikiran tentang pendidikan kemanusiaan, yaitu terbentuknya suatu golongan demokratis revolusioner yang akan menjadi penggerak perjuangan rakyat sekaligus yang akan mempercepat proses penyadaran akan martabat kemanusiaan di dalam diri rakyat, sehingga demokratisasi menjadi lekas terwujud dalam berbagai sisi kehidupan politik, ekonomi maupun sosial. Inilah kiranya yang menjadi dasar mengapa Sjahrir memilih metode kaderisasi melalui partai atau jaringan kerja.
Jika demokrasi telah terwujud dalam berbagai segi kehidupan, maka yang perlu dilakukan tinggal merawat dan memelihara demokrasi itu supaya tetap dapat mendukung cita-cita sosialisme. Oleh sebab itu, Sjahrir—selaras dengan pemikiran para sosialis Eropa—sangat mendukung sistem multipartai dengan bentuk pemerintahan parlementer.[17]
[2] Pada sekitar tahun 1934, Sjahrir membaca banyak buku dan surat kabar yang memberikan informasi-infomasi mengenai kompleksitas kehidupan perkotaan khususnya yang terjadi di Eropa. Ibid., hlm. 62.
[4] Dalam pandangan Sjahrir, negara adalah alat atau sebagai ekspresi dari kedaulatan rakyat, bukan sebagai tujuan. Dengan itu, dalam perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan, negara (Republik Indonesia) seharusnya dipakai sebagai alat,bukan sebagai tujuan akhir. Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 83.
[8]Menurut Sjahrir, “Gerakan 3A” yang dilaksanakan Jepang pada tahun 1942 merupakan usaha untuk mengagungkan Jepang sebagai pemimpin, pelindung dan cahaya Asia. Sjahrir menengarai bahwa kehendak untuk membangun Nippon Raya merupakan tindakan untuk meletakkan bangsa lain di bawah kekuasaan Jepang. Pengaruh fasisme ini bagi bangsa Indonesia pada titik ini adalah semakin melanggengkan budaya feodal yang sudah ada.
[10] Indro, Op. Cit., hlm. 88. Lebih jauh, penafsiran Lenin—yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin dan kaum komunis—membawa pada situasi di mana sistem kapitalis beralih ke sistem sosialis melalui perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan dan pembentukan pemerintahan diktator (satu partai politik kaum sosialis). Hal itutentu tidak dikehendaki Sjahrir, sehingga diakonsisten pada penafsiran kedua.
[11] Ibid., hlm. 92.
[12] Ibid., hlm. 82.
[13] Sjahrir, “Perjuangan Kita” dalam Ibid., hlm. 181, 183-184.
[14] Ibid., hlm. 171.
[15] Ibid., hlm. 76.
[16] Lih. H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 39, 47-49.
[17] Adapun sistem multipartai merupakan upaya untuk mengakomodasi segenap aspirasi rakyat. Berdasarkan alasan itulah, partai perlu dijaga supaya selalu loyal kepada rakyat, bukan kepada kepentingan partai sendiri. Sedangkan bentuk pemerintahan parlementer dipilih karena dianggap memberi ruang lebih luas bagi kedaulatan rakyat dalam mengatur jalannya pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar
Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)