Setelah
memetakan pokok-pokok pemikiran Sjahrir, kini akan diperlihatkan sejauh mana pokok-pokok
pemikiran Sjahrir tersebut dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar yakni,
India, Islam dan Cina. Adapun peradaban Barat sengaja tidak dipaparkan lagi
pada bagian ini karena dianggap telah ditampilkan melalui pembahasan tentang
pokok-pokok pemikiran Sjahrir.
Dalam
pemaparannya, Lombard menyebut proses indianisasi kebudayaan nusantara sebagai
“mutasi pertama” kebudayaan nusantara. Proses indianisasi dominan terjadi di Pulau
Jawa dan Bali. Menurut Lombard yang menarik adalah bahwa meskipun proses
modernisasi telah berlangsung, mutasi ini berbekas dalam lingkungan dan
mentalitas orang sampai hari ini, di mana konsep-konsep kuno tentang kekuasaan
(yang hierarkis) itu bertahan sampai sekarang. Hal ini dimungkinkan oleh suatu
pendidikan yang telah menyebarluaskan norma keseimbangan dan kesepakatan, serta
menjaga agar semua orang meresapinya.
Pendidikan
pada titik ini berusaha menanamkan sifat-sifat kebajikan seperti rendah hati
dan sabar, yang memungkinkan orang menemukan tempatnya di dalam hirarki, lalu
bertahan dalam posisi itu dengan memainkan perannya sebaik mungkin. Di sini,
Sjahrir menangkap arti penting dari suatu pendidikan yang mampu membangun dan
mempengaruhi mentalitas orang. Hal inilah yang kemudian sedikit banyak
menjelaskan mengapa Sjahrir begitu getol menekankan pendidikan. Bahkan, Sjahrir
tak tanggung-tanggung memberi prioritas pada pendidikan kemanusian bagi rakyat
sehingga mereka dapat menyadari masalah-masalah yang mereka hadapi. Bagi
Sjahrir, pendidikan adalah alat penyadaran yang sangat efektif.
Lombard
menegaskan bahwa stimulus Islam dan Cina yang kurang diakui perannya oleh orang
Barat, sebenarnya telah menimbulkan konsep kunci tentang individu dan persamaan
antar manusia sebelum kedatangan Barat. Penerapan konsep-konsep kunci tersebut
ditengarai Lombard sebagai awal munculnya peradaban modern di nusantara.
Penerapan gagasan-gagasan tersebut berperan besar dalam munculnya masyarakat
perkotaan baru, di mana terjadi pemerataan dalam hubungan antarmanusia dengan
bentuk-bentuk independensi yang baru, yang menggantikan hubungan hirarkis yang
tradisional.
Pemikiran
Sjahrir tentang universalisme humanis menempatkan persamaan derajat antar individu
sebagai suatu prinsip yang sangat mendasar. Pemikiran itu sejalan dengan konsep
individu dalam Islam yang menekankan keadilan dan (akal) budi. Konsep keadilan
menekankan kesederajatan antar individu dan pembagian kekayaan yang tidak terlalu
timpang. Untuk sampai pada hal ini, setiap individu mesti memiliki budi yang
arif, yakni kebijaksanaan. Pendidikan kemanusian yang diusung oleh Sjahrir
adalah suatu upaya untuk menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap individu
memiliki derajat yang sama. Kesadaran ini penting untuk membebaskan individu
dari setiap penindasan dan perlakuan tidak adil yang dialaminya.
Penutup
a. Relevansi di Masa Sekarang: Pendidikan Politik
a. Relevansi di Masa Sekarang: Pendidikan Politik
Salah
satu pokok keprihatinan Sjahrir adalah kurangnya pendidikan politik bagi kaum
muda pada zamannya. Keprihatinan inilah yang mendorong ia untuk kemudian
bersama Hatta mengemudikan PNI-Pendidikan sebagai organisasi pencetak para
kader pergerakan demi kepentingan bangsa. Mereka aktif menulis tentang
pentingnya pendidikan, bahkan menerbitkan jurnal “Daulat Ra’jat” yang memiliki misi pendidikan rakyat. Inilah yang
selanjutnya membawa pengaruh besar bagi pergerakan kaum muda.
Keprihatinan
Sjahrir tentang pengkaderisasian kaum muda yang minim selama masa penjajahan
kiranya masih relevan dewasa ini. Dalam kenyataan, ada begitu banyak partai
politik di negara ini. Namun dari sekian banyak partai itu, berapakah partai
yang menyebut diri sebagai partai kader dan serta-merta menyatakan kesediaan
pada komitmen pengkaderan. Jawaban yang kita dapatkan mungkin tidak akan
memuaskan karena partai politik yang yang mengusung misi pengkaderan memang
sangat minim.
Kita
akan menjadi semakin prihatin jika kita lanjut pada pertanyaan, “Dari sedikit
partai yang berkomitmen pada pengkaderan, berapa dari mereka yang
sungguh-sungguh mengusahakan agar kader mereka menempatkan loyalitas kepada
kepentingan negara di atas kepentingan partai dan kelompok?” Pertanyaan ini
penting mengingat peranan partai politik dalam usaha menjaga integrasi
nasional. Pada satu sisi, partai politik bisa meningkatkan integrasi nasional,
jika loyalitas yang ditanamkan dalam partai tertuju kepada negara. Sedangkan
pada sisi yang lain, partai politik dapat menjadi penyebab munculnya disintegrasi
bangsa apabila terlalu menekankan loyalitas kepada partai.
Dapat
dikatakan, kelalaian dalam usaha pengkaderan kaum muda yang terjadi sejak zaman
penjajahan dalam cara tertentu masih dilanjutkan dewasa ini. Alhasil, jiwa dan
mentalitas para pemuda tidak dibentuk dengan baik sehingga rentan terhadap
hasutan-hasutan yang tidak bertanggung jawab. Mereka gampang dimobilisasi oleh jargon
politik yang kelihatan indah dari luar, namun sebenarnya tidak memiliki visi
dan misi yang jelas. Mereka gampang mendewa-dewakan pemimpin yang karismatis
dan mudah tunduk kepada mereka.
Jika
kita mau menimba inspirasi dari Sjahrir yang lebih suka “turun ke jalan” dan
mengkader orang-orang muda bangsa, maka sudah layaklah kegiatan pengkaderan
mendapat porsi lebih dalam kebijakan partai di Indonesia. Lebih jauh, pengkaderan
yang diusahakan mestinya pengkaderan yang menempatkan loyalitas kepada negara
di atas kepentingan partai dan kelompok. Dengan cara itu, rakyat diikutsertakan
dalam proses pengambilan keputusan baik atas nasib dan masa depan bagi mereka
sendiri, maupun bagi bangsa secara keseluruhan.
Singkat
kata, pada zaman modern ini, pengkaderan segenap masyarakat terutama kaum muda
untuk berpartisipasi dalam usaha membebaskan diri dari kemelaratan, tekanan dan
penghisapan, serta ketidakadilan semakin mendesak. Tanggapan akan kemendesakan
ini merupakan jawaban dan tidak lanjut dari tujuan pendidikan (politik) yang
dicita-citakan oleh Sjahrir ketika memperjuangkan kebebasan rakyat Indonesia
dari segala bentuk tindakan feodalis, imperialis, dan fasis.
b.
Tanggapan
Kritis
Pengkajian
atas sejarah dan pemikiran Soetan Sjarir, memberikan kesan mendalam bahwa
Soetan Sjahrir adalah pahlawan dan politisi Indonesia yang patut diteladani.
Seluruh proses perjuangan yang dilakukan oleh Sjahrir bagi kemerdekaan
Indonesia bisa dikatakan keluar dari pribadi yang tenang, logis, kritis serta berpikiran
dingin. Demikian juga usahanya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, terutama
kaum muda, memperlihatkan bahwa ia memiliki kepedulian lebih besar kepada
bangsa Indonesia daripada usaha untuk mensejahterakan dirinya sendiri.
Sjahrir
mewariskan kepada kita makna penting dan positif dalam kehidupan berbangsa,
yakni dalam hal kemanusian, kebebasan dan keadilan yang termuat di dalam
Pancasila. Ketiga hal ini juga turut berkontribusi besar bagi pembangunan
bangsa dan negara Indonesia.
Akhirnya, Sjahrir pun patut dicontoh bukan hanya
terkait dengan kepribadiannya yang dikatakan memiliki daya kemampuan tinggi, tetapi
terutama pada bagaimana ia—dengan tingkat intelektual dan moralnya—mampu
mengesampingkan keinginan menjadi pemimpin, dan lebih memberikan banyak waktu
dan tenaga untuk membela saudara-saudarinya yang mencita-citakan suatu perikehidupan
yang baik dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat.
0 komentar:
Posting Komentar
Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)