Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian II) - Catatan Lepas Sang Murid

Senin, 25 November 2013

Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian II)

Martin Heidegger
Heidegger II
Pada fase ini, pemikiran Heidegger semakin menjauh dari teologi Kristen. Bahkan dia juga sangat menentang Kristianitas, menjadi ateistik secara personal dan menjadi pendukung dari Sosialisme Nasional (Nazi). Minatnya pun kini beralih kepada studi tentang Nietzche.
Perkembangan paling mencolok dalam pemikiran Heidegger selama masa ini, yaitu tentang eksistensi Yunani kuno dan Kristen. Jika pada fase sebelumnya ia berpikir bahwa eksistensi Yunani kuno dan Kristen, jika dilepaskan dari kekonkretan historis mereka, akan menunjukkan struktur-struktur dari eksistensi faktis, maka pada fase ini ia berpandangan bahwa Kristianitas adalah suatu kemandekan akibat menjauhkan diri dari primordialitas pengalaman Yunani kuno (diwakili oleh Plato dan Aristoteles) khususnya menyangkut pelupaan metafisis akan being. Oleh karenanya, Heidegger lebih mengunggulkan kemampuan bernalar (questionability) dibandingkan iman Kristen. Menurutnya, orang perlu senantiasa memelihara kemampuan bernalar dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan radikal, ketika berhadapan dengan klaim iman. Dalam hal ini penalaran filosofis memang tidak bisa menjadi iman, namun bernalar atau berfilsafat dapat membuat orang beriman tetap terbuka dan bebas dari ideologi religius dan fantasi. Bertolak dari posisi filsafat yang radikal ini ketika berhadapan dengan iman, maka Heidegger menekankan bahwa filsafat harus berada dalam prinsip yang a-theistik.
Akhirnya, Heidegger juga menyadari bahwa banyak orang beriman tidak lagi bernalar karena tidak mau dan tidak mampu untuk bernalar. Mereka tidak lagi memiliki hasrat—atau kejujuran—untuk masuk ke dalam jurang penalaran filosofis. Akibatnya mereka hanya mampu bertindak “seolah-olah” (as if) dalam artian bahwa mereka hanya seolah-olah beriman, tapi sebenarnya iman mereka adalah iman yang tidak otentik karena masih berada dalam kungkungan ideologi religius.

Heidegger III
Pada fase ini, pemikiran Heidegger menjadi bertolak belakang dengan pemikirannya selama fase sebelumnya (Heidegger II). Bahkan dalam arti tertentu, pemikiran Heidegger pada masa ini dianggap kembali kepada pemikirannya pada fase awal (Heidegger I), meskipun dengan pemahaman yang baru.
Perkembangan pemikiran Heidegger pada fase ini terutama nampak dalam upayanya untuk menguraikan “metafisika” Barat klasik dari Platon sampai Nietzche sebagai “pelupaan” akan being dan “pengambilan kembali (withdrawal)” being. Ia pun menguraikan “metafisika” tentang “kehendak untuk berkuasa” yang terungkap secara ekstrem dalam teknologisasi dunia dan manusia masa kini. Oleh karenanya Heidegger sekarang menekankan bahwa tugas dari “berpikir” (thinking) itu secara tepat diidentifikasikan sebagai tidak menghendaki: pertama-tama dengan menghendaki tidak berkehendak (willing to not will), dan selanjutnya dengan tidak menghendaki sama sekali (not wiling at all). Yang dimaksud “menghendaki” di sini bukan hanya menyangkut tidak memilih dan menghendaki dalam pengertian yang sudah tentu atau pasti, tapi juga menyangkut semua pemikiran konseptual atau “representasional” yang menjadi esensi dari tradisi filsafat dan sains Barat.
Bertolak dari pandangannya tentang “menghendaki” tadi, Heidegger kini malah berbicara tentang “membiarkan” (letting be). Dalam hal ini, gagasannya tersebut sangat dipengaruhi oleh mistisisme religius dari Meister Eckhart. Menurut Heidegger, being bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan atau “digenggam” oleh pikiran manusia. Mengenai being, pikiran hanya bisa “memandangnya”. Idea-idealah yang datang kepada kita, bukan kita yang memikirkan mereka. Berpikir adalah suatu anugerah, suatu peristiwa yang menghampiri kita. Ini tidak berarti bahwa manusia hanya pasif sama sekali, namun manusia perlu bertahan tetap “terbuka” dalam penantian akan being. Upaya yang bisa dibuat manusia bukanlah untuk menghendaki tapi meniadakan kehendak, untuk mempersiapkan kemungkinan datangnya being dengan keterbukaan dan kejernihan. Ini bukanlah quietisme tapi asketisme, kerja keras dari semacam kemiskinan roh. Menurut Heidegger sendiri, pemikirannya dalam fase ini kembali kepada permulaan teologisnya. Filsafatnya kini nampak jelas bernada religius dan bahkan bercorak mistik. Ini tidak berarti bahwa ia kembali lagi kepada iman masa mudanya. Yang dimaksudkan dimensi mistik dalam pemikirannya saat ini semata-mata adalah urusan struktural: bahwa relasi “berpikir” dengan “being” secara struktural sama dengan relasi jiwa dengan Allah dalam mistisisme religius. Berpikir diarahkan kepada being, bukan kepada Allah. Being itu bukan Allah namun peristiwa keberwujudan, kejadian dari being yang benar. Being memberi makna pada apa yang kita sebut sejarah, namun dengan dua perbedaan penting: Pertama, sejarah dipahami sebagai sejarah kebenaran atau keberwujudan berbagai pandangan yang dibawa being selama berabad-abad—yang dipertentangkan dengan suatu sejarah tertentu, misalnya sejarah politik, ekonomi, sosial atau militer. Kedua, sejarah bukanlah sejarah manusia melainkan sejarah being, yang membentang di bawah “inisiatif” being yang memberikan kepada pikiran atau yang mengambil dari pikiran.
Pada fase ini Heidegger juga berbicara tentang Allah sebagai salah satu pemikiran pentingnya menyangkut teologi. Ia berbicara tentang Allah (dan dewa-dewa) namun dalam artian bahwa ini adalah Allah yang telah kehilangan kekuasaannya atas sejarah dan hanya menjadi suatu fungsi dalam sejarah being. Allah yang dimaksud Heidegger ini sesungguhnya adalah dewa puitis, suatu pengalaman akan dunia yang dialami sebagai sesuatu yang suci dan layak mendapat penghormatan. Allah ini lebih bercorak pagan-puitis dan bahkan lebih bernuansa Buddhisme, semacam meditasi atau penghormatan kepada dunia dalam keheningan, jika dibandingkan dengan Yudaisme dan Kristianitas.

Sebagai penutup, perlu disebutkan pula di sini bahwa pandangan Heidegger tentang Allah metafisis tidak dapat dikatakan inkonsisten dengan relasi nonmetafisis manusia dengan Allah. Menurutnya, “berpikir” sebenarnya berkesesuaian dengan iman Kristen. Hasil dari “berpikir” bagi teologi adalah untuk berhenti memikirkan Allah sebagai causa sui—sebagai daya penyebab yang menciptakan dan menopang kosmos—dan malahan berpaling kepada “Allah ilahi” (Allah metafisis yang digagas oleh Heidegger pada fase ini), di mana di hadapannya seseorang bisa menari atau bersujud menyembah. Dengan demikian, seluruh pandangan Heidegger tentang sejarah being sesungguhnya mengisahkan cerita tentang kegelapan teknologis di dunia ini yang diwarnai oleh ilusi bahwa kehebatan manusia dapat menggelapkan atau menutupi kenampakan Allah. Zaman “Allah ilahi” inilah yang dianggap Heidegger sebagai tanda munculnya suatu “permulaan lain”, sebuah zaman baru dari yang Suci, suatu masa di mana Allah memang bisa menjadi Tuhan.     

Silahkan gunakan tombol jejaring sosial di atas untuk berbagi artikel dalam blog Sang Murid ini


author

Profil Penulis

Halo, saya adalah Pastor Dhaniel Whisnu, CICM dari Tangerang, provinsi Banten. Terima kasih karena Anda telah berkunjung ke blog ini. Oya, jangan lupa daftarkan email Anda di kotak Berlangganan pada menu samping untuk mendapatkan info tentang artikel-artikel terbaru dari saya. Sampai jumpa lagi :)

1 komentar:

Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)