Pada fase ini, pemikiran Heidegger
semakin menjauh dari teologi Kristen. Bahkan dia juga sangat menentang
Kristianitas, menjadi ateistik secara personal dan menjadi pendukung dari
Sosialisme Nasional (Nazi). Minatnya pun kini beralih kepada studi tentang
Nietzche.
Perkembangan paling
mencolok dalam pemikiran Heidegger selama masa ini, yaitu tentang eksistensi
Yunani kuno dan Kristen. Jika pada fase sebelumnya ia berpikir bahwa eksistensi
Yunani kuno dan Kristen, jika dilepaskan dari kekonkretan historis mereka, akan
menunjukkan struktur-struktur dari eksistensi faktis, maka pada fase ini ia
berpandangan bahwa Kristianitas adalah suatu kemandekan akibat menjauhkan diri
dari primordialitas pengalaman Yunani kuno (diwakili oleh Plato dan Aristoteles)
khususnya menyangkut pelupaan metafisis akan being. Oleh karenanya, Heidegger lebih mengunggulkan kemampuan
bernalar (questionability)
dibandingkan iman Kristen. Menurutnya, orang perlu senantiasa memelihara
kemampuan bernalar dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan radikal, ketika berhadapan
dengan klaim iman. Dalam hal ini penalaran filosofis memang tidak bisa menjadi
iman, namun bernalar atau berfilsafat dapat membuat orang beriman tetap terbuka
dan bebas dari ideologi religius dan fantasi. Bertolak dari posisi filsafat
yang radikal ini ketika berhadapan dengan iman, maka Heidegger menekankan bahwa
filsafat harus berada dalam prinsip yang a-theistik.
Akhirnya, Heidegger juga
menyadari bahwa banyak orang beriman tidak lagi bernalar karena tidak mau dan
tidak mampu untuk bernalar. Mereka tidak lagi memiliki hasrat—atau
kejujuran—untuk masuk ke dalam jurang penalaran filosofis. Akibatnya mereka
hanya mampu bertindak “seolah-olah” (as
if) dalam artian bahwa mereka hanya seolah-olah beriman, tapi sebenarnya
iman mereka adalah iman yang tidak otentik karena masih berada dalam kungkungan
ideologi religius.
Heidegger
III
Pada fase ini, pemikiran Heidegger
menjadi bertolak belakang dengan pemikirannya selama fase sebelumnya (Heidegger
II). Bahkan dalam arti tertentu, pemikiran Heidegger pada masa ini dianggap kembali
kepada pemikirannya pada fase awal (Heidegger I), meskipun dengan pemahaman
yang baru.
Perkembangan pemikiran
Heidegger pada fase ini terutama nampak dalam upayanya untuk menguraikan
“metafisika” Barat klasik dari Platon sampai Nietzche sebagai “pelupaan” akan being dan “pengambilan kembali (withdrawal)” being. Ia pun menguraikan “metafisika” tentang “kehendak untuk
berkuasa” yang terungkap secara ekstrem dalam teknologisasi dunia dan manusia
masa kini. Oleh karenanya Heidegger sekarang menekankan bahwa tugas dari
“berpikir” (thinking) itu secara tepat diidentifikasikan
sebagai tidak menghendaki:
pertama-tama dengan menghendaki tidak berkehendak
(willing to not will), dan selanjutnya dengan tidak menghendaki sama sekali (not wiling at all). Yang dimaksud
“menghendaki” di sini bukan hanya menyangkut tidak memilih dan menghendaki
dalam pengertian yang sudah tentu atau pasti, tapi juga menyangkut semua
pemikiran konseptual atau “representasional” yang menjadi esensi dari tradisi
filsafat dan sains Barat.
Bertolak dari
pandangannya tentang “menghendaki” tadi, Heidegger kini malah berbicara tentang
“membiarkan” (letting be). Dalam hal
ini, gagasannya tersebut sangat dipengaruhi oleh mistisisme religius dari Meister
Eckhart. Menurut Heidegger, being
bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan atau “digenggam” oleh pikiran manusia.
Mengenai being, pikiran hanya bisa
“memandangnya”. Idea-idealah yang datang kepada kita, bukan kita yang
memikirkan mereka. Berpikir adalah suatu anugerah, suatu peristiwa yang
menghampiri kita. Ini tidak berarti bahwa manusia hanya pasif sama sekali,
namun manusia perlu bertahan tetap “terbuka” dalam penantian akan being. Upaya yang bisa dibuat manusia
bukanlah untuk menghendaki tapi meniadakan kehendak, untuk mempersiapkan
kemungkinan datangnya being dengan
keterbukaan dan kejernihan. Ini bukanlah quietisme tapi asketisme, kerja keras
dari semacam kemiskinan roh. Menurut Heidegger sendiri, pemikirannya dalam fase
ini kembali kepada permulaan teologisnya. Filsafatnya kini nampak jelas bernada
religius dan bahkan bercorak mistik. Ini tidak berarti bahwa ia kembali lagi kepada
iman masa mudanya. Yang dimaksudkan dimensi mistik dalam pemikirannya saat ini
semata-mata adalah urusan struktural: bahwa relasi “berpikir” dengan “being” secara struktural sama dengan
relasi jiwa dengan Allah dalam mistisisme religius. Berpikir diarahkan kepada being, bukan kepada Allah. Being itu bukan Allah namun peristiwa keberwujudan,
kejadian dari being yang benar. Being memberi makna pada apa yang kita
sebut sejarah, namun dengan dua perbedaan penting: Pertama, sejarah dipahami sebagai sejarah kebenaran atau
keberwujudan berbagai pandangan yang dibawa
being selama berabad-abad—yang dipertentangkan dengan suatu sejarah tertentu,
misalnya sejarah politik, ekonomi, sosial atau militer. Kedua, sejarah bukanlah sejarah manusia melainkan sejarah being, yang membentang di bawah
“inisiatif” being yang memberikan
kepada pikiran atau yang mengambil dari pikiran.
Pada fase ini Heidegger
juga berbicara tentang Allah sebagai salah satu pemikiran pentingnya menyangkut
teologi. Ia berbicara tentang Allah (dan dewa-dewa) namun dalam artian bahwa
ini adalah Allah yang telah kehilangan kekuasaannya atas sejarah dan hanya menjadi
suatu fungsi dalam sejarah being.
Allah yang dimaksud Heidegger ini sesungguhnya adalah dewa puitis, suatu
pengalaman akan dunia yang dialami sebagai sesuatu yang suci dan layak mendapat
penghormatan. Allah ini lebih bercorak pagan-puitis dan bahkan lebih bernuansa
Buddhisme, semacam meditasi atau penghormatan kepada dunia dalam keheningan, jika
dibandingkan dengan Yudaisme dan Kristianitas.
Sebagai penutup, perlu
disebutkan pula di sini bahwa pandangan Heidegger tentang Allah metafisis tidak
dapat dikatakan inkonsisten dengan relasi nonmetafisis manusia dengan Allah. Menurutnya,
“berpikir” sebenarnya berkesesuaian dengan iman Kristen. Hasil dari “berpikir”
bagi teologi adalah untuk berhenti memikirkan Allah sebagai causa sui—sebagai daya penyebab yang menciptakan
dan menopang kosmos—dan malahan berpaling kepada “Allah ilahi” (Allah metafisis
yang digagas oleh Heidegger pada fase ini), di mana di hadapannya seseorang
bisa menari atau bersujud menyembah. Dengan demikian, seluruh pandangan
Heidegger tentang sejarah being
sesungguhnya mengisahkan cerita tentang kegelapan teknologis di dunia ini yang
diwarnai oleh ilusi bahwa kehebatan manusia dapat menggelapkan atau menutupi
kenampakan Allah. Zaman “Allah ilahi” inilah yang dianggap Heidegger sebagai
tanda munculnya suatu “permulaan lain”, sebuah zaman baru dari yang Suci, suatu
masa di mana Allah memang bisa menjadi Tuhan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus