I. Pengantar
Aetatis Novae dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Terbitnya suatu Era Baru. Era baru ini ditandai tidak hanya dengan mendekatnya suatu millennium baru, tetapi juga oleh perubahan peta politik, ekonomi, serta perubahan-perubahan agama yang tak terduga sebelumnya, baik di Eropa Tengah maupun di Eropa Timur. Dan meskipun tidak terjadi secara terlalu dramatis, namun toh tetap merupakan perubahan-perubahan yang cukup berarti dalam kebijakan mengenai komunikasi, praktek komunikasi dan teknologi komunikasi di seluruh dunia.[1]Ciri yang paling menonjol dalam instruksi pastoral ini adalah adanya bagian Appendix, yang disertai dengan petunjuk-petunjuk untuk membuat rencana pastoral di bidang komunikasi sosial. Kiranya hal ini berarti bahwa Gereja berusaha menetapkan rencana pastoral di bidang komunikasi sosial dalam setiap tingkatannya.
II. Latar Belakang Penulisan Aetatis Novae
Dokumen Aetatis Novae diterbitkan pada tanggal 17 Maret 1992. Dalam hal ini, lahirnya Aetatis Novae sebagai sebuah instruksi pastoral baru tidaklah menggantikan “Communio et Progressio” yang sudah berumur 20 tahun. Mengingat bahwa selama kurun waktu tersebut telah terjadi begitu banyak perkembangan dalam ranah media komunikasi, maka Gereja pun menyadari bahwa diperlukan sebuah petunjuk baru dalam menghadapi perkembangan media komunikasi tersebut. Oleh karena itu kehadiran instruksi pastoral Aetatis Novae ini hanya dimaksudkan sebagai suplemen atau pelengkap bagi kebutuhan-kebutuhan yang telah lama dirasakan.Perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam kurun waktu tersebut, antara lain: terjadinya revolusi di bidang telekomunikasi (komunikasi jarak jauh) dengan munculnya satelit, televisi kabel, serat optik, compact disk; pembuatan gambar dengan menggunakan komputer, dan teknologi komputer lainnya serta teknologi digital; FAXsimile dan pengiriman data; komputer mini; percetakan jarak jauh; serta membanjirnya video kaset. Rangkaian inovasi itu—di mana pada tahun 1971 (terbitnya Communio et Progressio) hanyalah merupakan angan-angan semata—sekarang telah benar-benar menjadi nyata.
Oleh karena itu, terbuka kemungkinan-kemungkinan lebih luas dalam menjalankan tugas perutusan Gereja, yang sekaligus juga menimbulkan persoalan-persoalan pastoral baru—sebagai akibat dari munculnya “bahasa-bahasa baru”—yang dihasilkan oleh penggunaan media-media tersebut. Persoalan yang muncul adalah adanya dampak negatif sebagai akibat dari pemakaian alat-alat komunikasi tersebut bagi perkembangan psikologis, moral dan sosial dari pribadi-pribadi; perkembangan struktur dan fungsi masyarakat; perkembangan komunikasi dan persepsi antar budaya, serta penyampaian nilai-nilai, ideologi-ideologi dan keyakinan keagamaan terhadap masyarakat dunia. Semua itu mempengaruhi manusia di dalam memahami makna hidupnya.
Sebagai suplemen dari Communio et Progressio, dokumen ini ditulis dengan semangat yang terungkap dalam kata-kata penutup Communio et Progessio: “Umat Allah berjalan dalam sejarah. Pada saat mereka…berjalan maju bersama dengan berjalannya waktu, mereka menatap ke muka dengan penuh kepercayaan, dan bahkan dengan penuh gairah terhadap perkembangan dalam bidang komunikasi, yang mungkin dapat diberikan di dalam zaman ruang angkasa ini.”[2] Dokumen ini bukanlah kata akhir dari Gereja dalam menanggapi perkembangan bidang komunikasi, melainkan untuk memberikan suatu alat kerja serta dorongan bagi mereka yang menghadapi implikasi pastoral berkaitan dengan perkembangan sarana komunikasi tersebut..
Sebagaimana Roh membantu para nabi Perjanjian Lama untuk melihat Yang Ilahi dalam tanda-tanda zaman, demikian pula Roh membantu Gereja menafsirkan tanda-tanda zaman sekarang ini, serta dalam menjalankan tugas kenabiannya untuk menggunakan dengan tepat komunikasi dan media komunikasi sosial yang sangat diperlukan dalam kondisi saat ini.[3] Oleh karena itu Aetatis Novae muncul bukan hanya karena adanya perkembangan dari teknologi komunikasi dan juga dampak-dampak yang ditimbulkannya, tetapi juga karena campur tangan Roh Kudus yang selalu menaungi dan menyertai Gereja.
III. Keprihatinan
Walaupun hanya lahir sebagai sebuah suplemen yang melengkapi kekurangan-kekurangan di dalam Communio et Progressio, namun tetap saja dokumen ini lahir karena adanya keprihatinan dan persoalan-persoalan yang ingin dijawab. Keprihatinan ini juga muncul sebagai akibat dari berkembangnya teknologi komunikasi.Kendati semua kebaikan yang dilakukan dan mampu dilakukannya, namun media massa “dapat juga kadang-kadang menjadi alat dari suatu pandangan yang tidak tepat mengenai kehidupan, keluarga, agama dan kesusilaan; suatu pandangan yang tidak menghormati martabat yang sejati dan tujuan dari pribadi manusia”[4] (Bab II art 7, hlm 27). Media dapat dipakai ‘untuk mewartakan Injil maupun untuk menghapusnya dari hati orang’ (Hal 14).
Penggunaan media komunikasi meningkat, sehingga pengguna terlalu melekat kepada sikap fiktif dari media tersebut, serta media komunikasi menggantikan interaksi antar manusia yang mengakibatkan persoalan-persoalan pribadi tertentu dan persoalan-persoalan sosial. Padahal tujuannya bukan untuk menggantikan (Bab II art 7, hlm 27). Persoalan-persoalan tersebut juga menjadi penghambat solidaritas manusiawi, serta perkembangan manusia seutuhnya. Hambatan-hambatan tersebut, antara lain: sekularisme, konsumerisme, materialisme, dehumanisasi, dan kurangnya perhatian terhadap kaum miskin dan terlantar (hal 32). Selain itu terjadi pula ketidakadilan struktural dalam penggunaan sarana komunikasi dan informasi, di mana beberapa kelompok atau individu dipotong haknya untuk mendapatkan akses atas sarana komunikasi dan informasi—sedangkan hal itu dapat dinikmati secara berlimpah oleh kaum elit (hal 33).
0 komentar:
Posting Komentar
Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)