Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian I) - Catatan Lepas Sang Murid

Jumat, 22 November 2013

Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian I)

Martin Heidegger
Heidegger mengkritik filsafat dan teologi Barat abad pertengahan yang terlalu menekankan sisi logis dan logosentris. Filsafat dan teologi Barat masa itu berpretensi memberikan ungkapan konseptual bagi “relasi jiwa dengan Allah” dalam bentuk teori-teori yang abstrak dan sulit. Padahal “relasi jiwa dengan Allah” termasuk ke dalam sisi “kehidupan”—yang berlawanan dengan sisi logis dan logosentris tadi—yang dapat ditemukan dalam kehidupan rohani atau iman yang dijiwai oleh pengalaman hidup konkret. Lebih jauh lagi Heidegger pun melihat bahwa secara perlahan-lahan sisi logis dan logosentris (teori-teori) ternyata semakin mendominasi dan dipandang lebih unggul, sehingga sisi “kehidupan” menjadi terabaikan dan tersembunyi. Hal itu terutama nampak dalam teologi Gereja Katolik abad pertengahan yang terlalu mengagung-agungkan dogma atau ideologi religius. Bertolak dari pandangan itu, Heidegger kemudian berupaya untuk mende[kon]struksi tradisi abad pertengahan khususnya metafisika tradisional yang bersifat konseptual guna memulihkan atau mendapatkan kembali akarnya, yaitu pengalaman life-giving yang dialami dalam kehidupan konkret. Selanjutnya dengan mengambil gagasan dari mistisisme abad pertengahan, Heidegger melihat adanya kesesuaian hubungan antara jiwa dengan Allah dan hubungan antara “berpikir” (thinking) dengan being. Dalam hal ini, mistisisme berpandangan bahwa jiwa itu sepenuhnya milik Allah dan dibentuk oleh semacam transendensi terhadap Allah. Hal itu kiranya berkesesuian dengan gagasan metafisis bahwa intelek memiliki harmoni batin dengan being, serta rasa memiliki (belongingness) akan being.

Dalam upayanya untuk mendapatkan kembali pengalaman-pengalaman life-giving, Heidegger mengalami perkembangan pemikiran sepanjang hidupnya, yang secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 fase berbeda. Adapun penjelasan yang lebih terperinci untuk masing-masing fase tersebut akan dipaparkan di bawah ini.

Heidegger I
Pada fase ini, Heidegger mengalami perkembangan pemikiran yang ditandai dengan penolakannya terhadap sistem Katolisisme[1]—meski ia tidak menolak Kristianitas dan metafisika—sehingga ia berpaling kepada Protestantisme. Selain itu, ketertarikannya pun berubah dari studi logika, teologi dogmatik dan fenomenologi Husserlian, menjadi studi sejarah, teologi Perjanjian Baru dan studi tentang apa yang disebutnya “hermeneutika faktisitas” atau “analisis eksistensial”. Adapun proyek yang digagas Heidegger lewat perubahan minatnya ini, yaitu ia bermaksud mengkaji pengalaman hidup faktis[2] dari komunitas-komunitas Perjanjian Baru (terutama menyangkut pengalaman mereka akan waktu) guna memulihkan pengalaman Kristiani yang otentik. Adapun dalam proyek ini Heidegger pada dasarnya juga menimba inspirasi dari kritik Luther terhadap teologi metafisis abad pertengahan, serta kritik Kierkegaard terhadap Kristianitas spekulatif Hegelian.
Guna memulihkan pengalaman Kristiani yang otentik, Heidegger pertama-tama berusaha menghancurkan metafisika abad pertengahan yang bercorak Aristotelian, dengan cara menafsirkan filsafat Aristoteles untuk menemukan kembali struktur-struktur faktis Yunani kuno dan eksistensi[3] Aristotelian. Pada saat yang sama, ia juga mengkaji kehidupan komunitas-komunitas Perjanjian Baru. Sebab menurut Heidegger, upaya pemulihan yang bersifat dekonstruktif menyangkut kategori-kategori hidup faktis ini akan membawa hasil yang sama baik dengan menelaah tentang Aristoteles dan eksistensi Yunani kuno, maupun dengan mengkaji eksistensi Kristiani awal. Atau menurut rumusan lain, orang akan menemukan struktur faktis yang sama baik dengan membaca Nichomacean Ethics karya Aristoteles, maupun dengan membaca Perjanjian Baru. Adapun struktur faktis yang dimaksud di atas adalah kategori-kategori hidup faktis—misalnya, kategori tentang perhatian (care) dan eksistensi, kategori tentang keprihatinan (concern) dan perantaraan, serta kategori tentang temporalitas dan historisitas—yang senantiasa ada sebagaimana adanya, di mana pun mereka ditemukan.
Untuk menemukan kategori-kategori hidup faktis, Heidegger membedakan antara “eksistensial” dengan “eksistensiil”, atau “ontologis” dengan “ontis”, dari kedua eksistensi tadi (Yunani dan Kristiani awal).[4] Melalui pembedaan ini, ia bermaksud menetapkan struktur a priori universal dari kehidupan eksistensial tanpa perlu memperhatikan apakah struktur itu berada dalam fakta aktual Yunani kuno atau Kristen. Selain itu, Heidegger juga hendak menjaga supaya analisis eksistensial senantiasa bebas dari “ideal eksistensiil” atau kekonkretan apapun, misalnya eksistensi Yunani kuno dan Kristen. Di sini tidak ada indikasi bahwa ia menggangap eksistensi Yunani kuno lebih atau kurang “primordial” daripada eksistensi Kristiani. Namun yang jelas, menurut Heidegger. analisis eksistensial dapat dibelokkan oleh “ideal-ideal eksistensiil” yang merupakan representasi dari kedua eksistensi tadi.
Selanjutnya, Heidegger juga mengemukakan pandangannya tentang filsafat dan teologi. Menurutnya, filsafat sebagai ilmu tentang being sendiri pada dasarnya berbeda “secara mutlak” dari teologi, di mana teologi termasuk ilmu “ontis” tentang suatu wilayah partikular dari being, bukan tentang being universal. Teologi adalah suatu ilmu “positif” sebab membahas entitas yang positif (a positum), yaitu Kekristenan—yang dipahami Heidegger sebagai cara berada faktual sebagai orang beriman Kristen. Bagi Heidegger, teologi adalah usaha untuk membawa yang eksistensial lahir kembali, yang datang oleh iman dan menuju ke bentuk konseptual. Lebih jauh lagi, teologi sebenarnya bukan membuat iman lebih mudah, sebaliknya bahkan menjadi lebih sulit, karena teologi bukannya memberikan dasar rasional bagi iman tapi malah menunjukkan apa yang secara tepat tidak dapat dilakukan oleh teologi. Sebab menurut Heidegger, teologi didirikan di atas iman, sedangkan iman tidak membutuhkan filsafat karena iman adalah penghayatan. Namun teologi sebagai ilmu positif tetap membutuhkan filsafat untuk mengkonseptualisasikan aspek-aspek seperti “dosa” serta “salib”. Sebab iman adalah kelahiran kembali dari dosa, tapi dosa adalah kepastian ontikoeksistensial dari struktur ontologis rasa bersalah (gulit). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa iman adalah musuh eksistensiil filsafat, namun filsafat harus “berteman” dengan musuhnya ini jika filsafat ingin mengasumsikan bentuk teologis konseptual.




[1] Pada kenyataannya sistem Katolisisme yang ditolak Heidegger hanyalah menyangkut aspek dogmatik semata, terutama menyangkut cara Gereja Katolik dalam mengatur kebebasan para anggotanya untuk mengkaji dan mengajar apa yang mereka pandang sebagai hal yang tepat atau sesuai. Hal ini penting dijelaskan, sebab sistem Katolisisme bukan hanya menyangkut aspek dogmatik, melainkan masih ada aspek-aspek lainnya, misalnya iman, liturgi, praksis, dsb. Bdk. Thomas Sheehan, “Reading a Life: Heidegger and Hard Times”, dalam Ibid. hlm. 72.
[2] Yang dimaksud faktis di sini adalah apa yang memang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri, yaitu being-in-the-world. Dalam hal ini dipahami bahwa Dasein sudah selalu berada dalam situasi di mana being ada di dunia.  Bdk. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju Sein und Zeit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm. 88.
[3] Eksistensi adalah fakta bahwa Dasein ada-di-sana, mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya, sehingga Dasein selalu melampaui dirinya. Lih. Ibid., hlm. 50.
[4] “Eksistensial” adalah relasi Dasein dengan Ada, bersifat “ontologis”, dan dianggap sebagai sikap otentik. Sedangkan “eksistensiil” adalah relasi Dasein dengan adaan-adaan, bersifat “ontis”, dan dianggap sebagai sikap yang tidak otentik. Lih. Ibid.

Silahkan gunakan tombol jejaring sosial di atas untuk berbagi artikel dalam blog Sang Murid ini


author

Profil Penulis

Halo, saya adalah Pastor Dhaniel Whisnu, CICM dari Tangerang, provinsi Banten. Terima kasih karena Anda telah berkunjung ke blog ini. Oya, jangan lupa daftarkan email Anda di kotak Berlangganan pada menu samping untuk mendapatkan info tentang artikel-artikel terbaru dari saya. Sampai jumpa lagi :)

1 komentar:

Peraturan Berkomentar:
- Berkomentarlah secara relevan sesuai artikel di atas
- Untuk berkomentar, gunakanlah OpenID/Name URL/Google+
- Sampaikan komentar dengan bahasa yang jelas dan sopan
- Tidak diizinkan untuk menulis komentar link hidup/aktif, promosi (iklan), SPAM, porno dan OOT (Out Of Topic)