November 2013 - Catatan Lepas Sang Murid

Senin, 25 November 2013

Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian II)

Martin Heidegger
Heidegger II
Pada fase ini, pemikiran Heidegger semakin menjauh dari teologi Kristen. Bahkan dia juga sangat menentang Kristianitas, menjadi ateistik secara personal dan menjadi pendukung dari Sosialisme Nasional (Nazi). Minatnya pun kini beralih kepada studi tentang Nietzche.
Perkembangan paling mencolok dalam pemikiran Heidegger selama masa ini, yaitu tentang eksistensi Yunani kuno dan Kristen. Jika pada fase sebelumnya ia berpikir bahwa eksistensi Yunani kuno dan Kristen, jika dilepaskan dari kekonkretan historis mereka, akan menunjukkan struktur-struktur dari eksistensi faktis, maka pada fase ini ia berpandangan bahwa Kristianitas adalah suatu kemandekan akibat menjauhkan diri dari primordialitas pengalaman Yunani kuno (diwakili oleh Plato dan Aristoteles) khususnya menyangkut pelupaan metafisis akan being. Oleh karenanya, Heidegger lebih mengunggulkan kemampuan bernalar (questionability) dibandingkan iman Kristen. Menurutnya, orang perlu senantiasa memelihara kemampuan bernalar dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan radikal, ketika berhadapan dengan klaim iman. Dalam hal ini penalaran filosofis memang tidak bisa menjadi iman, namun bernalar atau berfilsafat dapat membuat orang beriman tetap terbuka dan bebas dari ideologi religius dan fantasi. Bertolak dari posisi filsafat yang radikal ini ketika berhadapan dengan iman, maka Heidegger menekankan bahwa filsafat harus berada dalam prinsip yang a-theistik.
Akhirnya, Heidegger juga menyadari bahwa banyak orang beriman tidak lagi bernalar karena tidak mau dan tidak mampu untuk bernalar. Mereka tidak lagi memiliki hasrat—atau kejujuran—untuk masuk ke dalam jurang penalaran filosofis. Akibatnya mereka hanya mampu bertindak “seolah-olah” (as if) dalam artian bahwa mereka hanya seolah-olah beriman, tapi sebenarnya iman mereka adalah iman yang tidak otentik karena masih berada dalam kungkungan ideologi religius.

Heidegger III
Pada fase ini, pemikiran Heidegger menjadi bertolak belakang dengan pemikirannya selama fase sebelumnya (Heidegger II). Bahkan dalam arti tertentu, pemikiran Heidegger pada masa ini dianggap kembali kepada pemikirannya pada fase awal (Heidegger I), meskipun dengan pemahaman yang baru.
Perkembangan pemikiran Heidegger pada fase ini terutama nampak dalam upayanya untuk menguraikan “metafisika” Barat klasik dari Platon sampai Nietzche sebagai “pelupaan” akan being dan “pengambilan kembali (withdrawal)” being. Ia pun menguraikan “metafisika” tentang “kehendak untuk berkuasa” yang terungkap secara ekstrem dalam teknologisasi dunia dan manusia masa kini. Oleh karenanya Heidegger sekarang menekankan bahwa tugas dari “berpikir” (thinking) itu secara tepat diidentifikasikan sebagai tidak menghendaki: pertama-tama dengan menghendaki tidak berkehendak (willing to not will), dan selanjutnya dengan tidak menghendaki sama sekali (not wiling at all). Yang dimaksud “menghendaki” di sini bukan hanya menyangkut tidak memilih dan menghendaki dalam pengertian yang sudah tentu atau pasti, tapi juga menyangkut semua pemikiran konseptual atau “representasional” yang menjadi esensi dari tradisi filsafat dan sains Barat.
Bertolak dari pandangannya tentang “menghendaki” tadi, Heidegger kini malah berbicara tentang “membiarkan” (letting be). Dalam hal ini, gagasannya tersebut sangat dipengaruhi oleh mistisisme religius dari Meister Eckhart. Menurut Heidegger, being bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan atau “digenggam” oleh pikiran manusia. Mengenai being, pikiran hanya bisa “memandangnya”. Idea-idealah yang datang kepada kita, bukan kita yang memikirkan mereka. Berpikir adalah suatu anugerah, suatu peristiwa yang menghampiri kita. Ini tidak berarti bahwa manusia hanya pasif sama sekali, namun manusia perlu bertahan tetap “terbuka” dalam penantian akan being. Upaya yang bisa dibuat manusia bukanlah untuk menghendaki tapi meniadakan kehendak, untuk mempersiapkan kemungkinan datangnya being dengan keterbukaan dan kejernihan. Ini bukanlah quietisme tapi asketisme, kerja keras dari semacam kemiskinan roh. Menurut Heidegger sendiri, pemikirannya dalam fase ini kembali kepada permulaan teologisnya. Filsafatnya kini nampak jelas bernada religius dan bahkan bercorak mistik. Ini tidak berarti bahwa ia kembali lagi kepada iman masa mudanya. Yang dimaksudkan dimensi mistik dalam pemikirannya saat ini semata-mata adalah urusan struktural: bahwa relasi “berpikir” dengan “being” secara struktural sama dengan relasi jiwa dengan Allah dalam mistisisme religius. Berpikir diarahkan kepada being, bukan kepada Allah. Being itu bukan Allah namun peristiwa keberwujudan, kejadian dari being yang benar. Being memberi makna pada apa yang kita sebut sejarah, namun dengan dua perbedaan penting: Pertama, sejarah dipahami sebagai sejarah kebenaran atau keberwujudan berbagai pandangan yang dibawa being selama berabad-abad—yang dipertentangkan dengan suatu sejarah tertentu, misalnya sejarah politik, ekonomi, sosial atau militer. Kedua, sejarah bukanlah sejarah manusia melainkan sejarah being, yang membentang di bawah “inisiatif” being yang memberikan kepada pikiran atau yang mengambil dari pikiran.
Pada fase ini Heidegger juga berbicara tentang Allah sebagai salah satu pemikiran pentingnya menyangkut teologi. Ia berbicara tentang Allah (dan dewa-dewa) namun dalam artian bahwa ini adalah Allah yang telah kehilangan kekuasaannya atas sejarah dan hanya menjadi suatu fungsi dalam sejarah being. Allah yang dimaksud Heidegger ini sesungguhnya adalah dewa puitis, suatu pengalaman akan dunia yang dialami sebagai sesuatu yang suci dan layak mendapat penghormatan. Allah ini lebih bercorak pagan-puitis dan bahkan lebih bernuansa Buddhisme, semacam meditasi atau penghormatan kepada dunia dalam keheningan, jika dibandingkan dengan Yudaisme dan Kristianitas.

Sebagai penutup, perlu disebutkan pula di sini bahwa pandangan Heidegger tentang Allah metafisis tidak dapat dikatakan inkonsisten dengan relasi nonmetafisis manusia dengan Allah. Menurutnya, “berpikir” sebenarnya berkesesuaian dengan iman Kristen. Hasil dari “berpikir” bagi teologi adalah untuk berhenti memikirkan Allah sebagai causa sui—sebagai daya penyebab yang menciptakan dan menopang kosmos—dan malahan berpaling kepada “Allah ilahi” (Allah metafisis yang digagas oleh Heidegger pada fase ini), di mana di hadapannya seseorang bisa menari atau bersujud menyembah. Dengan demikian, seluruh pandangan Heidegger tentang sejarah being sesungguhnya mengisahkan cerita tentang kegelapan teknologis di dunia ini yang diwarnai oleh ilusi bahwa kehebatan manusia dapat menggelapkan atau menutupi kenampakan Allah. Zaman “Allah ilahi” inilah yang dianggap Heidegger sebagai tanda munculnya suatu “permulaan lain”, sebuah zaman baru dari yang Suci, suatu masa di mana Allah memang bisa menjadi Tuhan.     


Jumat, 22 November 2013

Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian I)

Martin Heidegger
Heidegger mengkritik filsafat dan teologi Barat abad pertengahan yang terlalu menekankan sisi logis dan logosentris. Filsafat dan teologi Barat masa itu berpretensi memberikan ungkapan konseptual bagi “relasi jiwa dengan Allah” dalam bentuk teori-teori yang abstrak dan sulit. Padahal “relasi jiwa dengan Allah” termasuk ke dalam sisi “kehidupan”—yang berlawanan dengan sisi logis dan logosentris tadi—yang dapat ditemukan dalam kehidupan rohani atau iman yang dijiwai oleh pengalaman hidup konkret. Lebih jauh lagi Heidegger pun melihat bahwa secara perlahan-lahan sisi logis dan logosentris (teori-teori) ternyata semakin mendominasi dan dipandang lebih unggul, sehingga sisi “kehidupan” menjadi terabaikan dan tersembunyi. Hal itu terutama nampak dalam teologi Gereja Katolik abad pertengahan yang terlalu mengagung-agungkan dogma atau ideologi religius. Bertolak dari pandangan itu, Heidegger kemudian berupaya untuk mende[kon]struksi tradisi abad pertengahan khususnya metafisika tradisional yang bersifat konseptual guna memulihkan atau mendapatkan kembali akarnya, yaitu pengalaman life-giving yang dialami dalam kehidupan konkret. Selanjutnya dengan mengambil gagasan dari mistisisme abad pertengahan, Heidegger melihat adanya kesesuaian hubungan antara jiwa dengan Allah dan hubungan antara “berpikir” (thinking) dengan being. Dalam hal ini, mistisisme berpandangan bahwa jiwa itu sepenuhnya milik Allah dan dibentuk oleh semacam transendensi terhadap Allah. Hal itu kiranya berkesesuian dengan gagasan metafisis bahwa intelek memiliki harmoni batin dengan being, serta rasa memiliki (belongingness) akan being.

Dalam upayanya untuk mendapatkan kembali pengalaman-pengalaman life-giving, Heidegger mengalami perkembangan pemikiran sepanjang hidupnya, yang secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 fase berbeda. Adapun penjelasan yang lebih terperinci untuk masing-masing fase tersebut akan dipaparkan di bawah ini.

Heidegger I
Pada fase ini, Heidegger mengalami perkembangan pemikiran yang ditandai dengan penolakannya terhadap sistem Katolisisme[1]—meski ia tidak menolak Kristianitas dan metafisika—sehingga ia berpaling kepada Protestantisme. Selain itu, ketertarikannya pun berubah dari studi logika, teologi dogmatik dan fenomenologi Husserlian, menjadi studi sejarah, teologi Perjanjian Baru dan studi tentang apa yang disebutnya “hermeneutika faktisitas” atau “analisis eksistensial”. Adapun proyek yang digagas Heidegger lewat perubahan minatnya ini, yaitu ia bermaksud mengkaji pengalaman hidup faktis[2] dari komunitas-komunitas Perjanjian Baru (terutama menyangkut pengalaman mereka akan waktu) guna memulihkan pengalaman Kristiani yang otentik. Adapun dalam proyek ini Heidegger pada dasarnya juga menimba inspirasi dari kritik Luther terhadap teologi metafisis abad pertengahan, serta kritik Kierkegaard terhadap Kristianitas spekulatif Hegelian.
Guna memulihkan pengalaman Kristiani yang otentik, Heidegger pertama-tama berusaha menghancurkan metafisika abad pertengahan yang bercorak Aristotelian, dengan cara menafsirkan filsafat Aristoteles untuk menemukan kembali struktur-struktur faktis Yunani kuno dan eksistensi[3] Aristotelian. Pada saat yang sama, ia juga mengkaji kehidupan komunitas-komunitas Perjanjian Baru. Sebab menurut Heidegger, upaya pemulihan yang bersifat dekonstruktif menyangkut kategori-kategori hidup faktis ini akan membawa hasil yang sama baik dengan menelaah tentang Aristoteles dan eksistensi Yunani kuno, maupun dengan mengkaji eksistensi Kristiani awal. Atau menurut rumusan lain, orang akan menemukan struktur faktis yang sama baik dengan membaca Nichomacean Ethics karya Aristoteles, maupun dengan membaca Perjanjian Baru. Adapun struktur faktis yang dimaksud di atas adalah kategori-kategori hidup faktis—misalnya, kategori tentang perhatian (care) dan eksistensi, kategori tentang keprihatinan (concern) dan perantaraan, serta kategori tentang temporalitas dan historisitas—yang senantiasa ada sebagaimana adanya, di mana pun mereka ditemukan.
Untuk menemukan kategori-kategori hidup faktis, Heidegger membedakan antara “eksistensial” dengan “eksistensiil”, atau “ontologis” dengan “ontis”, dari kedua eksistensi tadi (Yunani dan Kristiani awal).[4] Melalui pembedaan ini, ia bermaksud menetapkan struktur a priori universal dari kehidupan eksistensial tanpa perlu memperhatikan apakah struktur itu berada dalam fakta aktual Yunani kuno atau Kristen. Selain itu, Heidegger juga hendak menjaga supaya analisis eksistensial senantiasa bebas dari “ideal eksistensiil” atau kekonkretan apapun, misalnya eksistensi Yunani kuno dan Kristen. Di sini tidak ada indikasi bahwa ia menggangap eksistensi Yunani kuno lebih atau kurang “primordial” daripada eksistensi Kristiani. Namun yang jelas, menurut Heidegger. analisis eksistensial dapat dibelokkan oleh “ideal-ideal eksistensiil” yang merupakan representasi dari kedua eksistensi tadi.
Selanjutnya, Heidegger juga mengemukakan pandangannya tentang filsafat dan teologi. Menurutnya, filsafat sebagai ilmu tentang being sendiri pada dasarnya berbeda “secara mutlak” dari teologi, di mana teologi termasuk ilmu “ontis” tentang suatu wilayah partikular dari being, bukan tentang being universal. Teologi adalah suatu ilmu “positif” sebab membahas entitas yang positif (a positum), yaitu Kekristenan—yang dipahami Heidegger sebagai cara berada faktual sebagai orang beriman Kristen. Bagi Heidegger, teologi adalah usaha untuk membawa yang eksistensial lahir kembali, yang datang oleh iman dan menuju ke bentuk konseptual. Lebih jauh lagi, teologi sebenarnya bukan membuat iman lebih mudah, sebaliknya bahkan menjadi lebih sulit, karena teologi bukannya memberikan dasar rasional bagi iman tapi malah menunjukkan apa yang secara tepat tidak dapat dilakukan oleh teologi. Sebab menurut Heidegger, teologi didirikan di atas iman, sedangkan iman tidak membutuhkan filsafat karena iman adalah penghayatan. Namun teologi sebagai ilmu positif tetap membutuhkan filsafat untuk mengkonseptualisasikan aspek-aspek seperti “dosa” serta “salib”. Sebab iman adalah kelahiran kembali dari dosa, tapi dosa adalah kepastian ontikoeksistensial dari struktur ontologis rasa bersalah (gulit). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa iman adalah musuh eksistensiil filsafat, namun filsafat harus “berteman” dengan musuhnya ini jika filsafat ingin mengasumsikan bentuk teologis konseptual.




[1] Pada kenyataannya sistem Katolisisme yang ditolak Heidegger hanyalah menyangkut aspek dogmatik semata, terutama menyangkut cara Gereja Katolik dalam mengatur kebebasan para anggotanya untuk mengkaji dan mengajar apa yang mereka pandang sebagai hal yang tepat atau sesuai. Hal ini penting dijelaskan, sebab sistem Katolisisme bukan hanya menyangkut aspek dogmatik, melainkan masih ada aspek-aspek lainnya, misalnya iman, liturgi, praksis, dsb. Bdk. Thomas Sheehan, “Reading a Life: Heidegger and Hard Times”, dalam Ibid. hlm. 72.
[2] Yang dimaksud faktis di sini adalah apa yang memang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri, yaitu being-in-the-world. Dalam hal ini dipahami bahwa Dasein sudah selalu berada dalam situasi di mana being ada di dunia.  Bdk. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju Sein und Zeit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm. 88.
[3] Eksistensi adalah fakta bahwa Dasein ada-di-sana, mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya, sehingga Dasein selalu melampaui dirinya. Lih. Ibid., hlm. 50.
[4] “Eksistensial” adalah relasi Dasein dengan Ada, bersifat “ontologis”, dan dianggap sebagai sikap otentik. Sedangkan “eksistensiil” adalah relasi Dasein dengan adaan-adaan, bersifat “ontis”, dan dianggap sebagai sikap yang tidak otentik. Lih. Ibid.


Rabu, 20 November 2013

PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian III)

Soetan Sjahrir
3. Pengaruh Peradaban-peradaban Besar
Setelah memetakan pokok-pokok pemikiran Sjahrir, kini akan diperlihatkan sejauh mana pokok-pokok pemikiran Sjahrir tersebut dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar yakni, India, Islam dan Cina. Adapun peradaban Barat sengaja tidak dipaparkan lagi pada bagian ini karena dianggap telah ditampilkan melalui pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Sjahrir.
Dalam pemaparannya, Lombard menyebut proses indianisasi kebudayaan nusantara sebagai “mutasi pertama” kebudayaan nusantara. Proses indianisasi dominan terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Menurut Lombard yang menarik adalah bahwa meskipun proses modernisasi telah berlangsung, mutasi ini berbekas dalam lingkungan dan mentalitas orang sampai hari ini, di mana konsep-konsep kuno tentang kekuasaan (yang hierarkis) itu bertahan sampai sekarang. Hal ini dimungkinkan oleh suatu pendidikan yang telah menyebarluaskan norma keseimbangan dan kesepakatan, serta menjaga agar semua orang meresapinya.
Pendidikan pada titik ini berusaha menanamkan sifat-sifat kebajikan seperti rendah hati dan sabar, yang memungkinkan orang menemukan tempatnya di dalam hirarki, lalu bertahan dalam posisi itu dengan memainkan perannya sebaik mungkin. Di sini, Sjahrir menangkap arti penting dari suatu pendidikan yang mampu membangun dan mempengaruhi mentalitas orang. Hal inilah yang kemudian sedikit banyak menjelaskan mengapa Sjahrir begitu getol menekankan pendidikan. Bahkan, Sjahrir tak tanggung-tanggung memberi prioritas pada pendidikan kemanusian bagi rakyat sehingga mereka dapat menyadari masalah-masalah yang mereka hadapi. Bagi Sjahrir, pendidikan adalah alat penyadaran yang sangat efektif.
Lombard menegaskan bahwa stimulus Islam dan Cina yang kurang diakui perannya oleh orang Barat, sebenarnya telah menimbulkan konsep kunci tentang individu dan persamaan antar manusia sebelum kedatangan Barat. Penerapan konsep-konsep kunci tersebut ditengarai Lombard sebagai awal munculnya peradaban modern di nusantara. Penerapan gagasan-gagasan tersebut berperan besar dalam munculnya masyarakat perkotaan baru, di mana terjadi pemerataan dalam hubungan antarmanusia dengan bentuk-bentuk independensi yang baru, yang menggantikan hubungan hirarkis yang tradisional.
Pemikiran Sjahrir tentang universalisme humanis menempatkan persamaan derajat antar individu sebagai suatu prinsip yang sangat mendasar. Pemikiran itu sejalan dengan konsep individu dalam Islam yang menekankan keadilan dan (akal) budi. Konsep keadilan menekankan kesederajatan antar individu dan pembagian kekayaan yang tidak terlalu timpang. Untuk sampai pada hal ini, setiap individu mesti memiliki budi yang arif, yakni kebijaksanaan. Pendidikan kemanusian yang diusung oleh Sjahrir adalah suatu upaya untuk menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap individu memiliki derajat yang sama. Kesadaran ini penting untuk membebaskan individu dari setiap penindasan dan perlakuan tidak adil yang dialaminya.

Penutup
a.        Relevansi di Masa Sekarang: Pendidikan Politik
Salah satu pokok keprihatinan Sjahrir adalah kurangnya pendidikan politik bagi kaum muda pada zamannya. Keprihatinan inilah yang mendorong ia untuk kemudian bersama Hatta mengemudikan PNI-Pendidikan sebagai organisasi pencetak para kader pergerakan demi kepentingan bangsa. Mereka aktif menulis tentang pentingnya pendidikan, bahkan menerbitkan jurnal “Daulat Ra’jat” yang memiliki misi pendidikan rakyat. Inilah yang selanjutnya membawa pengaruh besar bagi pergerakan kaum muda.
Keprihatinan Sjahrir tentang pengkaderisasian kaum muda yang minim selama masa penjajahan kiranya masih relevan dewasa ini. Dalam kenyataan, ada begitu banyak partai politik di negara ini. Namun dari sekian banyak partai itu, berapakah partai yang menyebut diri sebagai partai kader dan serta-merta menyatakan kesediaan pada komitmen pengkaderan. Jawaban yang kita dapatkan mungkin tidak akan memuaskan karena partai politik yang yang mengusung misi pengkaderan memang sangat minim.
Kita akan menjadi semakin prihatin jika kita lanjut pada pertanyaan, “Dari sedikit partai yang berkomitmen pada pengkaderan, berapa dari mereka yang sungguh-sungguh mengusahakan agar kader mereka menempatkan loyalitas kepada kepentingan negara di atas kepentingan partai dan kelompok?” Pertanyaan ini penting mengingat peranan partai politik dalam usaha menjaga integrasi nasional. Pada satu sisi, partai politik bisa meningkatkan integrasi nasional, jika loyalitas yang ditanamkan dalam partai tertuju kepada negara. Sedangkan pada sisi yang lain, partai politik dapat menjadi penyebab munculnya disintegrasi bangsa apabila terlalu menekankan loyalitas kepada partai.
Dapat dikatakan, kelalaian dalam usaha pengkaderan kaum muda yang terjadi sejak zaman penjajahan dalam cara tertentu masih dilanjutkan dewasa ini. Alhasil, jiwa dan mentalitas para pemuda tidak dibentuk dengan baik sehingga rentan terhadap hasutan-hasutan yang tidak bertanggung jawab. Mereka gampang dimobilisasi oleh jargon politik yang kelihatan indah dari luar, namun sebenarnya tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Mereka gampang mendewa-dewakan pemimpin yang karismatis dan mudah tunduk kepada mereka.
Jika kita mau menimba inspirasi dari Sjahrir yang lebih suka “turun ke jalan” dan mengkader orang-orang muda bangsa, maka sudah layaklah kegiatan pengkaderan mendapat porsi lebih dalam kebijakan partai di Indonesia. Lebih jauh, pengkaderan yang diusahakan mestinya pengkaderan yang menempatkan loyalitas kepada negara di atas kepentingan partai dan kelompok. Dengan cara itu, rakyat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan baik atas nasib dan masa depan bagi mereka sendiri, maupun bagi bangsa secara keseluruhan.
Singkat kata, pada zaman modern ini, pengkaderan segenap masyarakat terutama kaum muda untuk berpartisipasi dalam usaha membebaskan diri dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan, serta ketidakadilan semakin mendesak. Tanggapan akan kemendesakan ini merupakan jawaban dan tidak lanjut dari tujuan pendidikan (politik) yang dicita-citakan oleh Sjahrir ketika memperjuangkan kebebasan rakyat Indonesia dari segala bentuk tindakan feodalis, imperialis, dan fasis.

b.        Tanggapan Kritis
Pengkajian atas sejarah dan pemikiran Soetan Sjarir, memberikan kesan mendalam bahwa Soetan Sjahrir adalah pahlawan dan politisi Indonesia yang patut diteladani. Seluruh proses perjuangan yang dilakukan oleh Sjahrir bagi kemerdekaan Indonesia bisa dikatakan keluar dari pribadi yang tenang, logis, kritis serta berpikiran dingin. Demikian juga usahanya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, terutama kaum muda, memperlihatkan bahwa ia memiliki kepedulian lebih besar kepada bangsa Indonesia daripada usaha untuk mensejahterakan dirinya sendiri.
Sjahrir mewariskan kepada kita makna penting dan positif dalam kehidupan berbangsa, yakni dalam hal kemanusian, kebebasan dan keadilan yang termuat di dalam Pancasila. Ketiga hal ini juga turut berkontribusi besar bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Akhirnya, Sjahrir pun patut dicontoh bukan hanya terkait dengan kepribadiannya yang dikatakan memiliki daya kemampuan tinggi, tetapi terutama pada bagaimana ia—dengan tingkat intelektual dan moralnya—mampu mengesampingkan keinginan menjadi pemimpin, dan lebih memberikan banyak waktu dan tenaga untuk membela saudara-saudarinya yang mencita-citakan suatu perikehidupan yang baik dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat.