Juni 2013 - Catatan Lepas Sang Murid

Jumat, 14 Juni 2013

PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian II)

Soetan Sjahrir
2. Sumbangan Pemikiran Sjahrir
Sumbangan pemikiran Sjahrir pada dasarnya dapat dipetakan sebagai berikut. Pertama, ia mendasarkan atau mengakarkan semua pemikirannya pada paham universalisme humanis, sebagai suatu landasan moral dan orientasi etis. Kedua, dengan melihat situasi dan kondisi aktual di Indonesia, ia pun kemudian mengusung sosialisme kerakyatan sebagai pandangan politisnya. Ketiga, sebagai konkretisasi sekaligus sarana untuk meraih kondisi ideal dalam kedua point tadi, maka Sjahrir pun menggagas pendidikan kemanusiaan. Dengan kata lain, pokok-pokok pemikiran Sjahrir tersusun secara piramida terbalik dengan universalisme humanis sebagai bangunan atas, sosialisme kerakyatan sebagai bangunan tengah dan akhirnya mengerucut pada pendidikan kemanusiaan sebagai bangunan bawah.

2.1 Pandangan Sjahrir tentang Universalisme Humanis.
Universalime humanis merupakan salah satu pokok pikiran Sjahrir yang mencolok dan cukup mewarnai buah-buah pemikirannya. Pemikiran ini terutama mengemuka dalam karyanya yang berjudul Perjungan Kita. Menurut Sjahrir, manusia tidak dapat dibedakan dan dikotak-kotakkan berdasarkan ras, agama, seks ataupun bangsa. Dengan itu, universalisme humanis Sjahrir dapat dilihat sebagai usaha untuk memahami manusia dalam kompleksitas cara beradanya.[1]
Dapat dikatakan, universalisme humanis Sjahrir merupakan upaya untuk merespon fenomena kehidupan manusia yang semakin kompleks dan berkembang cepat. Dalam pengamatannya terhadap kejadian di perbagai pelosok dunia,[2]ia menemukan gejala bahwa manusia sebagai individu kini berada di tempat-tempat massa manusia, khususnya di dalam kompleksitas kehidupan perkotaan. Dalam hal ini, manusia sebagai individu harus menjalani hiruk-pikuk kehidupan dengan segala pergolakannya. Fenomena ini memunculkan kecenderungan baru di mana manusia sebagai individu harus mencari tumpuan hidup, yakni kelompok atau kolektivitas.
Menurut Sjahrir, kecenderungan untuk mengutamakan kolektivitas semakin lama semakin meningkat. Berbagai tindakan dilakukan atas nama kolektivitas. Bahkan dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, manusia sebagai individu dipaksa tunduk pada (kepentingan) kolektivitas.[3]Di sini Sjahrir menemukan semacam inkonsistensi, yakni kepentingan kolektivitas telah menjadi landasan bertindak yang mengarah kepada absolutisme. Absolutisme mengejawantah dalam prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa negara (kolektivitas) harus menguasai individu-individu.[4]Dengan demikian, inkonsistensi yang dimaksudkan Sjahrir tepatnya adalah suatu keadaan di mana individu semata-mata digunakan sebagai sarana demi tumbuh dan berkembangnya kolektivitas. Individu yang sebelumnya sadar dan memiliki kebebasan kini telah teralienasi. Di sini individu tidak lagi menyadari dirinya sebagai manusia yang bermartabat kemanusiaan.[5]
Pada dasarnya, universalisme humanis Sjahrir mengacu kepada kesederajatan umat manusia. Menurutnya, pengakuan kesederajatan umat manusia merupakan prinsip yang mendasar, karena mengacu langsung pada martabat luhur manusia.[6]Kesederajatan umat manusia di sini tidak diartikan yang statis, yakni bahwa manusia mesti memiliki peran dan fungsi yang sama, tetapi lebih dimaksudkan agar manusia untuk tumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Denganitu, universalisme humanis Sjahrir menghendaki agar orang bisa menerima cara hidup manusia yang kompleks dan berbeda-beda.
Konsekuensi logis dari pandangan universalisme humanisnya, Sjahrir kemudian menolak pembedaan umat manusia yang berujung pada munculnya dominasi dari yang kuat/dianggap baik atas yang lemah/dianggap kurang baik. Pembedaan yang dimaksudkan Sjahrir di sini adalah fasisme.[7]Menurutnya, fasisme sebagai suatu ajaran dan paham yang membedakan dan mengkotak-kotakkan manusia sangat bertentangan dengan pandangan universalisme humanisnya yang menekankan kesederajatan manusia secara menyeluruh.
Singkat kata, fasisme sebagai suatu pemikiran politik tidak akan ditolerir oleh Sjahrir. Pemikiran fasis tidak hanya melanggar prinsip kebebasan tetapi sekaligus penghinaan bagi keluhuran martabat manusia. Dengan itu, fasisme rentan pada pelanggaran kemanusiaan.[8] Dalam kerangka ini, Sjahrir melihat bahwa musuh Indonesia jangka panjang adalah fasisme dalam berbagai macam ragamnya. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia harus bersih dari unsur-unsur fasis. Pemerintahan Republik Indonesia harus bebas dari kecenderungan mengkotak-kotakkan manusia, menempatkan manusia yang satu di bawah yang lain.[9]

2.2 Pandangan Sjahrir tentang Sosialisme Kerakyatan
Sosialisme kerakyatan merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Sjahrir tentang universalisme humanis. Di sini Sjahrir memilih sosialisme kerakyatan sebagai cara perjuangan, dengan berlandaskan pada kenyataan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran akan martabat kemanusiaan di Indonesia masih sangat rendah. Dengan bertolak dari penghargaan atas martabat manusia tadi, Sjahrir juga tidak setuju dengan diterapkannya kekerasan dan paksaan dalam usaha untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat.
Pemikiran Sjahrir tentang sosialisme kerakyatandapat ditelusuri dari akar sosialismeyang muncul dari ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels. Paham sosialisme yang dirintis oleh kedua pemikir ini memberi penekanan pada persamaan derajat. Penekanan inilah yang kemudian menginspirasi perjuangan kaum proletar melawan kaum borjuis yang berujung pada gagasan masyarakat tanpa kelas.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangan selanjutnya, paham sosialisme secara menonjol mendapat dua penafsiran yang berbeda-beda. Sebut saja, Vladimir Illich Leninmenafsirkan bahwa bahwa inti dari ajaran Marx dan Engels adalah segi-segi intensionalitasnya serta ajaran, perbuatan dan pelaksanaan-pelaksanaan yang biasa disebut ajaran diktator proletariat. Selain penafsiran Lenin, muncul penafsiran kedua yang lebih memberi penekanan pada pentingnya segi-segi pendidikan, latihan dan penyusunan kaum buruh serta kaum proletar untuk dapat mempengaruhi dan akhirnya mengendalikan kondisi hidupnya melalui pengaruh serta kekuasaan atas negara. Penafsiran kedua inilah yang menjadi posisi dari pemikiran Sjahrir.[10]Penafsiran yang kedua ternyata juga banyak dianut oleh kaum sosialis parlementeryang berpandangan bahwa perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis semestinya dicapai lewat kemenangan kaum sosialis di dalam pemilihan-pemilihan untuk parlemen. Pada titik ini, sosialisme sebenarnya telah dicapai dengan menyelenggarakan demokrasi politik. Dalam kerangka ini, pemikiran semacam tadi di Eropa Barat disebut dengan istilah Sosialisme Demokratis.[11]
Berbeda dengan kaum sosialis Eropa yang menekankan perwujudan demokrasi parlementer, kaum sosialis Asia cenderung berfokus pada upaya memerangi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Adapun yang menjadi dasarnya adalah taraf kehidupan di Asia, termasuk pula di Indonesia, masih sangat rendah. Hal itu tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat Eropa yang memiliki tingkat pendidikan dan kesadaran akan martabat manusia tinggi, sehingga rakyat siap mengemban kekuasaan dalam parlemen. Oleh karena itu, sosialisme di Asia pada umumnya disebut sosialisme kerakyatan. Meski demikian, sosialisme kerakyatan juga tetap perlu dicapai lewat jalan demokrasi.
Sebagai salah seorang sosialis yang hidup dalam konteks Asia dan mengalami bahwa rakyat Indonesia kurang menghargai kemanusiaan, Sjahrir meyakini bahwa sosialisme kerakyatan merupakan cara perjuangan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan Sjahrir di sini adalah sosialisme yang menjunjung tinggi martabat manusia dan mengakui persamaan derajat setiap umat manusia. Pengakuan atas persamaan derajat diyakini Sjahrir akan membentuk kesadaran sosial dalam diri setiap orang untuk kemudian memperjuangkan kemerdekaan dan mengembangkan kehidupannya. Dalam kerangka ini, sosialisme kerakyatan tidak hanya membawa orang pada kesadaran akan harkat-martabat manusia, tetapi juga penghormatan terhadap individu atau bangsa lain.
Konsekuensi logis dari paham sosialisme kerakyatan yang diusung Sjahriradalah penolakan terhadap segala bentuk ketidaksederajatan, praktek kekerasan dan pemaksaansebagaimana terungkap dalam fasisme, imperialisme, feodalisme dan komunisme. Bahkan menurut Sjahrir, paham nasionalisme pun perlu dicurigai karena dapat membuka kemungkinan pada pemakaian rakyat sebagai sarana bagi para penguasa untuk menjaga eksistensi dan pengembangan negara.[12]Prioritas utama adalah rakyat, bukan negara.
Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini, yaitu bahwa rakyat perlu dibersihkan dari pengaruh paham-paham yang telah menciderai dan merendahkan martabat manusia.[13] Pembersihan ini perlu dipahami sebagai pembersihan menyeluruh, yakni meliputi ranah mentalitas dan susunan aparatur pemerintahan mulai dari tingkat desa yang telah terpengaruh paham-paham tadi. Bagaimanapun, paham-paham itu telah turut mempengaruhi dan membentuk mentalitas rakyat menjadi rendah diri dan tunduk laiknya budak, sekaligus menjadikan mereka bermental fasis dalam artian bahwa individu boleh membenci seluruh dunia asalkan jangan membenci kelompoknya sendiri.
Bertolak dari paham sosialisme kerakyatan—yang selaras dengan universalisme humanis, Sjahrir kemudian tiba pada kesimpulan bahwa cara efektif untuk meningkatkan taraf kesadaran rakyat akan martabat kemanusiaan, yaitu dengan jalan memberikan pendidikan kemanusiaan yang memadai. Jika rakyat telah sadar akan martabat mereka, maka proses demokrasi dapat mulai berjalan, hingga sosialisme pun menjadi mungkin dicapai.

2.3 Pandangan Sjahrir tentang Pendidikan Kemanusiaan
Sekarang kita tiba pada bagian ketiga dari pokok pemikiran Sjahrir, yaitu mengenai pendidikan kemanusiaan. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian-bagian sebelumnya, bahwa Sjahrir menggunakan sistem tertentu untuk menyusun kerangka pemikirannya. Dengan berlandaskan pada universalisme humanis sebagai filsafat moralnya, Sjahrir kemudian mengusung sosialisme kerakyatan sebagai filsafat politiknya. Sosialisme kerakyatan ini pada akhirnya akan diwujudkan dalam bentuk memberikan pendidikan kemanusiaan kepada rakyat, sebagai praksis pedagogis yang akan memampukan mereka untuk menyadari harkat-martabatnya sebagai manusia. Dalam hal ini, pendidikan kemanusiaan secara singkat dapat dipahami sebagai pendidikan yang berlandaskan pada pandangan bahwa individu merupakan nilai paling tinggi serta sebagai sumber nilai terakhir, sehingga pendidikan perlu diberikan sebagai penyadaran akan nilai tersebut dalam diri individu sekaligus memberikan bekal bagi mereka untuk mengembangkan diri secara kreatif. 
Menyangkut pendidikan kemanusiaan untuk rakyat itu, Sjahrir menggarisbawahi bahwa pendidikan tersebut harus mencakup ketiga bidang pendidikan, yaitu: ilmu pengetahuan, pendidikan politik dan pendidikan moral/kesusilaan. Pandangan itu tidak berarti bahwa pendidikan harus selalu diberikan dalam konteks sekolah, melainkan bisa juga melalui organisasi, kaderisasi, kelompok diskusi dan publikasi tulisan-tulisan kepada khalayak umum. Yang lebih penting, yaitu bahwa nilai-nilai kemanusiaan perlu meresapi seluruh aspek pendidikan, sehingga terhindar dari suatu keadaan di mana pendidikan tidak bebas nilai atau diarahkan kepada ideologi tertentu. Jika ada nilai atau ideologi dalam pendidikan tadi, hal itu pun tidak lain daripada kemanusiaan. Sebagai contoh, sikap fasisme Jepang yang diwujudkan melalui propaganda dan manipulasi berita menyebabkan para pemuda kerapkali mencontoh-contoh Jepang.[14]Adapun maksud diberikannya ketiga bidang pendidikan tadi, yakni supaya mereka mampu menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi baik secara personal maupun kolektif, sekaligus membuat individu menjadi kritis dan dengan demikian kontrol diri untuk menghadapi nafsu-nafsu rendah semakin kuat.[15]
Jika meninjau sejarah kehidupan Sjahrir, kita akan melihat bahwa ia berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemikirannya tentang pendidikan kemanusiaan secara konkret. Dalam hal ini, ada dua cara yang ditempuh oleh Sjahrir. Pertama, melalui tulisan-tulisannya, antara lain dalam jurnal “Daulat Ra’jat”, kumpulan surat “Renungan Indonesia” dan risalah politik “Perjuangan Kita.” Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kaderisasi bagi para pengikutnya, yang diberikannya baik lewat PNI-Pendidikan, jaringan-jaringan yang dia bentuk pascapengasingan, maupun melalui partai kerakyatan atau demokratis yang revolusioner (Partai Sosialis Indonesia) yang dia dirikan pascakemerdekaan Indonesia. Adapun wujud konkret dari kegiatan kaderisasi itu adalah melalui tulisan-tulisan yang perlu dipelajari oleh para pengikutnya; diskusi-diskusi dengan mereka; serta lewat upaya untuk mendengarkan siaran radio luar negeri secara klandestein untuk mengetahui situasi terkini.[16] 
Tahap lebih lanjut yang dicita-citakan Sjahrir dari pemikiran tentang pendidikan kemanusiaan, yaitu terbentuknya suatu golongan demokratis revolusioner yang akan menjadi penggerak perjuangan rakyat sekaligus yang akan mempercepat proses penyadaran akan martabat kemanusiaan di dalam diri rakyat, sehingga demokratisasi menjadi lekas terwujud dalam berbagai sisi kehidupan politik, ekonomi maupun sosial. Inilah kiranya yang menjadi dasar mengapa Sjahrir memilih metode kaderisasi melalui partai atau jaringan kerja.
Jika demokrasi telah terwujud dalam berbagai segi kehidupan, maka yang perlu dilakukan tinggal merawat dan memelihara demokrasi itu supaya tetap dapat mendukung cita-cita sosialisme. Oleh sebab itu, Sjahrir—selaras dengan pemikiran para sosialis Eropa—sangat mendukung sistem multipartai dengan bentuk pemerintahan parlementer.[17]



[1] Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 61.
[2] Pada sekitar tahun 1934, Sjahrir membaca banyak buku dan surat kabar yang memberikan informasi-infomasi mengenai  kompleksitas kehidupan perkotaan khususnya yang terjadi di Eropa. Ibid., hlm. 62.
[3] Lih. Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Op. Cit., hlm. 26-27.
[4] Dalam pandangan Sjahrir, negara adalah alat atau sebagai ekspresi dari kedaulatan rakyat, bukan sebagai tujuan. Dengan itu, dalam perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan, negara (Republik Indonesia) seharusnya dipakai sebagai alat,bukan sebagai tujuan akhir. Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 83.
[5] Lih. Ibid., hlm. 63.
[6] Ibid., hlm. 64.
[7] Ibid., hlm. 79.
[8]Menurut Sjahrir, “Gerakan 3A yang dilaksanakan Jepang pada tahun 1942 merupakan usaha untuk mengagungkan Jepang sebagai pemimpin, pelindung dan cahaya Asia. Sjahrir menengarai bahwa kehendak untuk membangun Nippon Raya merupakan tindakan untuk meletakkan bangsa lain di bawah kekuasaan Jepang. Pengaruh fasisme ini bagi bangsa Indonesia pada titik ini adalah semakin melanggengkan budaya feodal yang sudah ada.
[9] Sudjatmoko, dalam Sjahrir,Renungan dan Perjuangan, Op. Cit., hlm. 285
[10] Indro, Op. Cit., hlm. 88. Lebih jauh, penafsiran Lenin—yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin dan kaum komunis—membawa pada situasi di mana sistem kapitalis beralih ke sistem sosialis melalui perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan dan pembentukan pemerintahan diktator (satu partai politik kaum sosialis). Hal itutentu tidak dikehendaki Sjahrir, sehingga diakonsisten pada penafsiran kedua.
[11] Ibid., hlm. 92.
[12] Ibid., hlm. 82.
[13] Sjahrir, “Perjuangan Kita” dalam Ibid., hlm. 181, 183-184.
[14] Ibid., hlm. 171.
[15] Ibid., hlm. 76.
[16] Lih. H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 39, 47-49.
[17] Adapun sistem multipartai merupakan upaya untuk mengakomodasi segenap aspirasi rakyat. Berdasarkan alasan itulah, partai perlu dijaga supaya selalu loyal kepada rakyat, bukan kepada kepentingan partai sendiri. Sedangkan bentuk pemerintahan parlementer dipilih karena dianggap memberi ruang lebih luas bagi kedaulatan rakyat dalam mengatur jalannya pemerintahan.


Kamis, 13 Juni 2013

PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian I)

Soetan Sjahrir
Pendahuluan
Peninjauan terhadap sejarah berdirinya negara Indonesia akan menimbulkan kesan bahwa perjuangan rakyat menentang kolonialisme dan imperialisme mulai menguat sejak dekade pertama dan kedua abad ke-20. Pada masa itu perjuangan muncul dimotori oleh kaum-kaum pergerakan, antara lain keempat serangkai yang menjadi Founding Fathers of Indonesia: Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka dan Soetan Sjahrir.[1]Mereka berjuang dengan suatu visi keindonesiaan yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Visi tersebut muncul sebagai respon atas konteks yang mereka hadapi saat itu, yakni terpecahnya Indonesia dalam berbagai lingkungan etnis, bahasa setempat dan ikatan-ikatan primordial, sebagai akibat dari politik penjajahan “divide et impera”. Berhadapan dengan konteks demikian, timbul keprihatinan dalam diri mereka dengan berlandaskan pada suatu logika berpikir: Mengapa bangsa ini terus berada dalam penjajahan? Mereka sendiri menjawabnya demikian: Karena mereka tidak bersatu dan tidak dididik, sehingga mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka miskin dan dibuat miskin oleh kolonialisme dan imperialisme. Mereka pun tidak menyadari harga diri sebagai bangsa dan memang sengaja dibuat demikian oleh penjajah, supaya mereka tetap rendah diri sebagaimana para budak.[2]
Bertolak dari logika berpikir di atas, masing-masing Founding Fathers mengemukakan gagasannya tentang bentuk perjuangan yang mesti diupayakan oleh segenap rakyat. Pada titik inilah muncul perbedaan mencolok di antara keempat tokoh pendiri bangsa tadi. Sebagai contoh, Soekarno menekankan tentang sosio-nasionalisme; Hatta menonjolkan sistem ekonomi kerakyatan berbasis koperasi; Tan Malaka mengupayakan revolusi total (revolusi sosial-politis dan revolusi mentalitas kultural) sedangkan Sjahrir mengkonsepkan tentang pendidikan kemanusiaan.
Tulisan ini mencoba mendedah pemikiran Sjahrir terutama dalam konsepnya mengenai pentingnya kesadaran akan kemanusiaan semesta; bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama. Menurut Sjahrir, kesadaran inilah yang seharusnya menjadi dasar perjuangan rakyat untuk merebut dan mengisi kemerdekaan. Namun fakta menunjukkan bahwa rakyat lama hidup dalam fasisme dan feodalisme, bahkan sedikit-banyak ikut melestarikannya. Hal ini merupakan suatu yang ironis, mengingat rakyat sendiri memiliki potensi dan daya kemampuan untuk keluar dari cengkeraman fasisme, imperialisme dan feodalisme. Berhadapan dengan kondisi semacam ini, Sjahrir mencoba memberikan suatu jalan keluar dengan menekankan pada pendidikan kemanusiaan. Dengan memberikan pendidikan kemanusian kepada rakyat, Sjahrir mencita-citakan lahirnya suatu kebebasan dan kemerdekaan demi kesejahteraan rakyat. Konsekuensi logis dari cita-cita ini, yaitu bahwa tujuan perjuangan Sjahrir bukan semata-mata terbentuknya negarayang merdeka, melainkan bahwa setiap orang dapat mengalami kesederajatan harkat dan martabatnya secara menyeluruh. Dengan kata lain, ia mencita-citakan rakyat yang merdeka dari segala penindasan, kemiskinan, kebodohan dan kesewenangan yang menghimpit mereka.
Untuk mempertajam pembahasan, maka tulisan singkat ini akan membatasi permasalahan pada perjuangan dan pemikiran Sjahrir sebagaimana yang termuat dalam dua karya yang ditulisnya: kumpulan surat “Renungan Indonesia” dan risalah politik “Perjuangan Rakyat”—kedua karya itulah yang menjadi sumber utama dari tulisan ini.  Dengan demikian, konteks waktu juga dibatasi yakni hanya di sekitar penerbitan kedua karya tadi, serta tidak sampai membahas tentang Partai Sosialis Indonesia dan riwayat hidup Sjahrir selanjutnya sampai ia wafat.

1. Konteks Situasi
Sebelum masuk ke dalam pokok-pokok pemikiran Sjahrir, baiklah jika pertama-tama kita meninjau sekilas konteks situasi aktual di zamannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kerangka guna menempatkan pemikiran-pemikiran Sjahrir, sekaligus untuk memperlihatkan pengaruh mana saja yang ikut membentuk pemikiran-pemikiran tersebut.

1.1 Konteks Situasi Indonesia Zaman Sjahrir
Sjahrir muncul ke panggung sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada kurun waktu sekitar tahun 1920-an, yakni ketika Sjahrir bersekolah di AMS dan selanjutnya terlibat dalam Jong Indonesie. Pada dekade ini, bangsa Indonesia secara berkesinambungan berada dalam penjajahan bangsa asing, yakni pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Dapat digambarkan bahwa pada saat itu rakyat benar-benar terpuruk karena terus menerus berada dalam situasi penindasan, kemiskinan dan kebodohan. Kekayaan bangsa dicaplok dan dinikmati oleh bangsa asing. Mereka menguasai wilayah negeri ini beserta penduduknya dengan cara-cara yang fasis dan imperialis.[3]Bahkan, mereka tak segan memenjarakan dan mengasingkan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap mempengaruhi rakyat untuk merebut kemerdekaan.
Menurut Sjahrir, masuknya tindakan-tindakan fasis yang dilakukan oleh penjajah Belanda dan Jepang sedikit-banyak telah ikut membentuk mentalitas budak di dalam diri rakyat. Kesadaran inilah yang menginspirasi pandangannya tentang kemendesakan pendidikan kemanusiaan bagi rakyat Indonesia. 
Awal tahun 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang atas Sekutu mulai tampak. Seiring dengan itu, muncul banyak pergerakan di Indonesia dengan tujuan utama meraih Indonesia merdeka. Namun pergerakan-pergerakan yang sporadis seperti ini hanya bisa efektif jika disertai dengan pengertian terhadap perjuangan kemerdekaan. Tanpa adanya pengertian mengenai dasar dan tujuan perjuangan, akan muncul kebimbangan yang berujung pada mentalitas mudah terpengaruh pada hasutan-hasutan yang tidak bertanggung jawab.
Pengertian mengenai dasar dan tujuan perjuangan menjadi semakin mendesak ketika Jepang secara resmi menyatakan menyerah kalah pada pihak Sekutu, pada 14 Agustus 1945. Kondisi ini mesti segera mendapat tanggapan dari rakyat Indonesia mengingat rakyat Indonesia sedang berada dalam kekosongan kekuasaan. Apakah Indonesia akan merdeka atau tidak, tentu itu merupakan pertanyaan yang mendesak untuk dijawab.[4]Namun menurut Sjahrir, pertanyaan ini harus segera disusul dengan pertanyaan tentang cara rakyat Indonesia mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Sukaro-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pertanyaan susulan ini relevan mengingat adanya kemungkinan pemerintah penjajah merongrong dan merebut kembali negara yang baru dibentuk ini sangat besar.[5]
Demikianlah kira-kira konteks situasi, ketika Soetan Sjahrir muncul dan menampilkan kecerdasan serta kelihaiannya dalam berpolitik dan berdiplomasi yang telah membawa banyak faedah bagi keberlangsungan negara republik Indonesia yang saat itu masih sangat muda.

1.2 Sjahrir dan Latar Pendidikannya
Soetan Sjahrir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909. Pada tahun 1915, dia masuk Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah rendah Eropa di Medan. Setelah lulus pada 1920, dia melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota yang sama.[6]Selanjutnya, dia kemudian hijrah ke Jawa dan melanjutkan pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung pada tahun 1926. Di sekolah ini dia mengambil jurusan Barat klasik­—jurusan yang mengarahkannya menjadi jaksa, mengikuti jejak sang ayah.[7]
Setelah lulus dari AMS, Sjahrir melanjutkan pendidikannnya di negeri Belanda. Ia belajar di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam dan mengikuti mata kuliah Hukum Hindia Belanda di Fakultas Indologi, Universitas Leiden. Selain mempelajari filsafat, pemikiran politik dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan Eropa di kampus, dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi yang diadakan di luar kampus, terutama tentang politik dan pemikiran para filsuf sosialis.[8]Bahkan, Sjahrir bergabung dalam “akhir pekan sosialis” yang diselenggarakan oleh jurnal de socialist sekaligus tetap bergaul dengan kelompok anarkis kiri.[9]Dapat dikatakan, selama pendidikan formal yang di dapatkan di Medan, Bandung dan Belanda, Sjahrir memang banyak mendapatkan pengaruh Barat. Bahkan ia mengakui dirinya sering dituding kebarat-baratan.[10]Namun selain pendidikan formal itu, dia juga mendapatkan pendidikan Islam dari orang tuanya.
Penghujung 1931 Sjahrir pulang ke Indonesia dan selanjutnya bersama Hatta mengemudikan PNI-Pendidikan sebagai organisasi pencetak para kader pergerakan. Mereka aktif menulis tentang pentingnya pendidikan, bahkan menerbitkan jurnal “Daulat Ra’jat” yang memiliki misi pendidikan rakyat.[11]Inilah yang selanjutnya membawa pengaruh besar bagi pergerakan kaum muda. Maka berbeda dengan Soekarno yang mengandalkan mobilisasi massa, Sjahrir dan Hatta sendiri lebih suka “turun ke jalan” dan mengkader para pemuda.
Namun karena pergerakannya tadi, ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mula-mula dia dipenjarakan di Cipinang. Setelah itu dia diasingkan ke Boven Digul. Lalu ia dipindahkan lagi ke Banda Neira. Selama pengasingan itulah dia banyak mengalami pergulatan dan refleksi yang kemudian dituangkannya dalam surat-surat yang kemudian diterbitkan dalam judul “Renungan Indonesia”.[12]
Pascapengasingan (1942-1945), Sjahrir banyak terlibat dalam gerakan-gerakan bawah tanah dengan membangun jaringan kerja dan memantau perkembangan politik dunia lewat stasiun radio Sekutu. Perjuangan bawah tanah ini, ia namakan sebagai suatu revolusi.[13]Sjahrir juga mengumpulkan kader-kader PNI-Pendidikan dahulu dan para mahasiswa progresif, untuk dipersiapkan merebut kekuasaan pada saat yang tepat. Berbeda dengan kaum pergerakan lainnya, Sjahrir sama sekali menolak bekerja sama dengan Jepang.[14]Akibat pergerakan ini, Sjahrir sering kali “dimata-matai” oleh Jepang.
Sesudah Jepang menyerah, kelompok bawah tanah pimpinan Sjahrir bergabung dengan kelompok pergerakan Soekarno dan Hatta untuk mengusahakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi pun, kondisi kehidupan rakyat sangat diwarnai dengan atmosfer amarah dan ketakutan. Hanya sedikit sekali tokoh yang memiliki konsep dan langkah strategis guna mengendalikan kecamuk revolusi. Di masa genting itulah Sjahrir menulis “Perjuangan Kita,” sebuah risalah politik yang berisi peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Dengan demikian, karya itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.  
Sjahrir yang didukung oleh pemuda, akhirnya ditunjuk Soekarno dan Hatta menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Selanjutnya pada 13 November 1945, ia ditunjuk menjadi Perdana Menteri. Pada usia ke-36 itu, mulailah lakon Sjahrir dalam memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. 
Jika kita meninjau riwayat Sjahrir sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kiranya kita dapat melihat adanya suatu hubungan antara peranan Sjahrir dengan tesis tentang terbentuknya nasionalisme Indonesia menurut Herry Priyono. Dalam hal ini, secara singkat tesis Herry Priyono dapat dibagi menjadi dua aspek. Pertama, hadirnya kekuasaan kolonial di Indonesia yang berpusat di Batavia memberikan suatu definisi politik baru, yakni untuk merebut pusat politik di Batavia untuk dijadikan milik pribumi. Pada saat itulah, nasionalisme muncul. Kedua, pendidikan (Barat) yang diberikan kepada orang-orang pribumi atas dasar politik etis pemerintah kolonial, ternyata telah melahirkan golongan cendekiawan dan profesi yang kemudian malah menyerang balik pemerintah kolonial tadi. Dalam kedua aspek itulah hubungan antara peran Sjahrir dan tesis Herry Priyono menjadi tampak, yakni bahwa Sjahrir—meskipun tidak setuju dengan paham maupun istilah nasionalisme—tetap mengupayakan perebutan kekuasaan dari Jepang dan Belanda. Patut diperhatikan bahwa yang terpenting dalam pemahaman ini bukanlah berfokus pada Batavia, melainkan berfokus pada upaya perebutan kekuasaan. Selain itu, sebagai salah satu putra bangsa yang dididik dalam kultur Barat, Sjahrir menjadi kaum cendekiawan yang dalam bahasa Herry Priyono disebut sebagai para calon pengisi birokrasi Belanda di Indonesia. Namun dengan mendapat pendidikan Barat, Sjahrir menjadi kritis dan kemudian menolak menjadi bawahan Belanda dan Jepang.


Bersambung ke Bagian II



[1] Lih. P. Y. Nur Indro, Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia: Tentang Sosialisme Demokratis, Bandung: Inisiatif Warga, UKM Media Parahyangan dan Pusik Parahyangan, 2009, hlm. 42-43.
[2] Lih. Mudji Sutrisno, dkk, Sejarah Filsafat Nusantara, Alam Pikiran Indonesia, Yogyakarta: Galangpress, 2005, hlm. 15.
[3] Pemerintah kolonial Belanda menjalankan roda pemerintahan di Indonesia dengan suatu sistem tertentu layaknya mengatur sebuah negara. Sebagai contoh, pemerintah kolonial bekerja sama dengan orang-orang pribumi dengan memberikan jabatan atau tanggung jawab tertentu kepada mereka, misalnya sebagai Lurah, Bupati, dll; membentuk suatu tentara militer yang beranggotakan orang-orang pribumi (KNIL atau Tentara Hindia Belanda). Pemerintahan fasis Jepang juga melakukan strategi penjajahan yang hampir sama dengan penjajahan Belanda. Dengan mendaku sebagai Saudara Tua, Jepang masuk ke Indonesia dengan berupaya menarik simpati rakyat. Namun satu hal yang jelas, pemerintah penjajah tidak pernah berniat untuk memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada rakyat Indonesia. Mereka ingin mempertahankan status quo dan tetap menguasai negeri ini.
[4] Ketika mendengar lewat radio bahwa Jepang hampir kalah, Sjahrir ingin agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Ia meminta Tan Malaka, namun Tan sendiri menolak permintaan Sjahrir tersebut. Setelah itu Sjahrir pun mendesak Soekarno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI. Namun Soekarno belum mempercayai berita kemenangan Sekutu. Sjahrir pun menjadi sangat kecewa bahkan sempat mengumpat Soekarno sebagai man wiif, pengecut dan banci. Oleh sebab itu, Sjahrir mendesak dokter Soedarsono memproklamirkan kemerdekaan RI di alun-alun kejaksaan Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945. Lih. TEMPO, Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa Sjahrir, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002, hlm. 59.
[5]Kemungkinan ini semakin nyata ketika Sjahrir menengarai bahwa di dalam pemerintahan perdana Indonesia terdapat orang-orang yang dalam perjuangan kemerdekaan bekerja sama dengan pemerintahan fasis Jepang. Kedua hal tadi menyebabkan Sjahrir khawatir bahwa fasisme dan feodalisme akan tetap bertahan dan terpelihara di dalam diri rakyat. Bdk. Soetan Sjahrir, “Perjuangan Kita” dalam Indro, Op. Cit., hlm. 181.
[6] Indro, Op. Cit., hlm. 66-67
[7] Bdk. Ibid. Dia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda bangsa, bahkan ikut membentuk perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya, pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi. Dia dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque yang menjadi ajang diskusi politik, di mana ia mengasah kemampuannya dalam berdebat dan berdiplomasi.
[8] Ibid., hlm 68-69.
[9] TEMPO, Op. Cit., hlm. 21.
[10] Sjahrazad, Renungan Indonesia, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1947, hlm. 28, 61.
[11] Menarik untuk melihat bahwa terbitnya jurnal “Daulat Ra’jat” selama kurun waktu tertentu sebelum Sjahrir diasingkan sesungguhnya menunjukkan bahwa pers pada masa itu telah cukup berkembang sebagai bagian dari pembaratan, terutama menyangkut teknik pembinaan masyarakat. Hal itu menurut Lombard bisa terjadi karena pada awal abad ke-20, percetakan tidak lagi merupakan milik khusus masyarakat Eropa. Bdk. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian I: Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 152-153.
[12] Dalam “Renungan Indonesia”, Sjahrir—dalam buku tersebut menggunakan nama pena Sjahrazad—sempat membandingkan orang Barat dan orang Timur. Orang Barat tercermin dalam pemikiran bahwa hidup adalah tujuan, soal utama, dan mati ialah taruhan yang paling berat. Oleh karenanya, orang Barat berjuang untuk hidup. Sedangkan orang Timur hidup untuk menderita, karena mereka menganut religi ketimuran yang menyebabkan hidup mereka menjadi statis dan hanya menerima penderitaan saja. Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 68-70.
[13] Bdk. Lombard, Op. Cit., hlm. 172. Menurut Lombard, istilah revolusi ini muncul dalam bahasa Melayu pada masa Perang Dunia I, untuk mengacu kepada “revolusi-revolusi” di Perancis, Rusia dan Cina. Namun istilah ini baru bisa masuk dan diterapkan dalam realitas Indonesia pada sekitar 1940-an, akibat sensor Belanda dan Jepang.
[14] Lih. Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Jakarta: Djambatan dan Dian Rakyat, 1990, hlm. 250, 257.