Oktober 2013 - Catatan Lepas Sang Murid

Senin, 07 Oktober 2013

Renungan Ibadat Pemberkatan Rumah: Kembangkan Imanmu seperti Pemain Sepak Bola

Pemberkatan RumahBacaan I: Kol 3:12-21, 23

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.


Bacaan Injil: Mat 7:21-27

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."


Renungan

Saya ingin memulai renungan kali ini dengan menceritakan sebuah kisah anekdot.

Ketika bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir, mereka tinggal di padang gurun selama kurang lebih 40 tahun. Pada masa itu, Musa dan Harun bertindak sebagai pemimpin umat sekaligus perantara umat dengan Allah Yahwe. Pada suatu hari, ketika Musa dan Harun sedang berkeliling mengunjungi umat, datanglah seorang laki-laki ke Kemah Pertemuan bermaksud untuk bertemu dengan Musa. Namun karena Musa tidak ada di situ, maka laki-laki itu meninggalkan pesan untuknya dalam bentuk sepucuk surat. Ketika Musa tiba beberapa hari kemudian, ia menerima surat itu dan membacanya. Isinya kurang lebih begini: Kepada yang terhormat Musa, hamba Allah dan pemimpin bangsa Israel. Aku menulis surat ini kepadamu karena hendak meminta pertolonganmu. Dapatkah engkau datang ke rumahku dan memberkati rumahku lagi, karena aku yakin rumahku telah dimasuki oleh roh jahat. Sebab situasi rumahku benar-benar kacau seperti di neraka. Dulu rumahku memang pernah diberkati oleh Harun, rekanmu itu. Tapi aku tidak tahu, meskipun rumahku sudah diberkati, kenapa masih ada roh jahat yang bisa memasukinya? Setelah membaca surat itu, Musa menilai perkara ini adalah perkara besar, mengingat Harun sebelumnya sudah pernah memberkati rumah tersebut, tapi ternyata masih ada roh jahat yang berhasil memasukinya lagi. Oleh sebab itu, ia segera pergi ke Kemah Pertemuan untuk berbicara dengan Allah guna meminta petunjuk dan pertolongan-Nya. Setelah Musa menceritakan perkara itu, Allah pun menjawab dari dalam awan, “Musa… Musa… seharusnya kamu lebih teliti dalam memeriksa perkara ini. Sesungguhnya setelah rumah itu diberkati Harun, tidak akan ada lagi roh jahat yang bisa masuk dan tinggal di dalamnya. Lalu pertanyaannya sekarang mengapa situasi rumah itu kacau seperti di neraka? Alasannya sederhana, karena semua penghuninya bersikap seperti roh jahat satu dengan yang lain. Suami bertengkar dengan istri, dan istri bertengkar melawan suami. Orang tua melawan anak, dan begitu pula sebaliknya. Di tengah umat, mereka selalu bertengkar dengan tetangga sekitarnya. Mereka juga tidak pernah mengingat Aku dan beribadah kepada-Ku, karena perhatian mereka selalu terpusat pada apa yang menjadi kesenangan mereka. Oleh karenanya Musa, Aku berkata kepadamu, meski di rumah mereka tidak ada lagi roh jahat, tapi selama mereka tidak bertobat dan mengubah sikap hidupnya, maka hidup mereka akan senantiasa seperti di dalam neraka.   
Cerita anekdot tadi memang bisa diperdebatkan kebenarannya—apalagi jika ditinjau dari segi biblis atau menurut perspektif Kitab Suci. Tapi saya kira pesan dari cerita itu cukup jelas, bahwa situasi hidup yang kita alami seringkali lebih ditentukan oleh cara hidup kita sehari-hari, ketimbang oleh apa yang telah kita terima dari Allah—dan saya kira pendapat tersebut benar. Atau jika kita ingin lebih konkret, pemberkatan rumah tidak serta merta menjamin bahwa di masa depan penghuninya akan selalu hidup rukun dan damai. Demikian pula dengan Sakramen Baptis. Meskipun sakramen baptis menjadikan kita sebagai anak Allah dan anggota Gereja, namun hal itu tidak langsung menjamin bahwa semasa hidup di dunia, kita tidak akan terjerumus menjadi koruptor sehingga ditangkap oleh KPK. Tapi saya yakin dan percaya bahwa Anda sekalian tidak ada yang sampai mengalami hal seperti itu!

Jika demikian kenyataannya, bahwa Sakramen Baptis dan pemberkatan rumah ternyata tidak bisa secara langsung menjamin hidup kita di dunia, mungkin kita jadi tergoda untuk bertanya lebih jauh: Lalu kenapa Gereja masih menganggap kedua hal itu penting? Apa gunanya kita menerima itu, jika ternyata tidak bisa menjamin hidup kita di dunia? Nah di sinilah kita perlu memahami bahwa dalam banyak hal, Allah lebih suka memberi kita benih ketimbang buah—entah itu, rahmat atau sakramen atau talenta, semuanya itu adalah benih yang perlu dikembangkan supaya menghasilkan buah melimpah. Benih menjadi sangat penting di sini, karena tanpa benih yang berasal dari Allah maka tidak akan pernah ada buah. Benih itu meskipun kecil, mengandung kekuatan dan daya hidup di dalamnya, yang bisa membawa kita sampai kepada Allah. Makanya kita tetap membutuhkan Sakramen baptis dan juga pemberkatan rumah. Tapi pada saat yang sama, sikap memelihara dan mengembangkan apa yang sudah diterima juga sama pentingnya, sebab tanpa itu maka benih juga akan layu dan mati.

Dalam liturgi pembabtisan, calon baptis pada bagian awal upacara ditanyai apa yang dia inginkan, dan ia akan menjawab “iman”. Tapi setelah memperolehnya, iman itu senantiasa perlu dihayati, dipelihara dan dikembangkan melalui perbuatan nyata setiap hari, sehingga iman itu bisa menjadi sekokoh batu dan bukannya serapuh pasir, sebagaimana kita dengarkan dalam Injil tadi. Demikian pula dalam upacara pemberkatan rumah, yang menjadi fokus pertama-tama bukanlah bangunan fisik yang disebut rumah, melainkan orang-orang atau keluarga yang menjadi penghuninya. Melalui tindakan fisik imam yang memerciki air suci ke kamar-kamar, pintu-pintu, salib, dan sebagainya, kita memohon kepada Allah supaya mencurahkan rahmatnya bagi keluarga penghuninya. Maka jika kita menginginkan rumah ini menjadi rumah yang damai dan tenteram, maka yang pertama perlu didoakan dan dimohonkan rahmat bukanlah bangunan fisiknya, melainkan keluarga di rumah ini, supaya mereka mampu menunjukkan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, pengampunan, sikap bersyukur, dan segala kebajikan lainnya. Atau kalau mau lebih konkret, kita berdoa bagi keluarga di sini guna memohon supaya semua anggota keluarga saling terbuka, bisa berkomunikasi dengan baik, saling mengasihi, rukun dengan tetangga, tekun berdoa, aktif di Gereja dan masyarakat, dan sebagainya. Tapi kembali pada hal tadi, rahmat apapun yang akan diberikan Tuhan bukanlah buah atau produk jadi. Rahmat itu adalah benih yang perlu dikembangkan melalui praktek hidup setiap hari. Tanpa praktek hidup itu, maka benih itu jelas akan mati atau minimal menjadi kerdil. 


Bermain sepak bola bersama Yesus
Di sini saya menemukan kesamaan antara kita semua umat beriman dengan pemain sepak bola professional. Kita tahu bahwa pemain sepak bola professional adalah pemain yang punya bakat besar. Tapi mereka ternyata tetap perlu menjalani latihan teori dan praktek di lapangan. Tanpa teori dan praktek, bakat mereka tidak akan berkembang. Tapi kalau cuma ada salah satunya saja, berarti kemampuan mereka tidak akan seimbang. Kalau hanya tahu teori, mereka cuma cocok jadi komentator. Kalau hanya tahu praktek, dapat dipastikan team mereka akan selalu kalah karena tidak tahu strategi menyerang lawan. Demikian pula kita sebagai umat beriman. Kita sudah punya bakat, yaitu iman. Tapi kita tetap memerlukan latihan teori—contohnya berupa doa lingkungan atau doa rukun serta ibadat sabda—sekaligus kita butuh latihan praktek, yaitu penghayatan hidup setiap hari di tengah keluarga dan masyarakat. Tanpa menjalankan keduanya, dapat dipastikan bahwa iman kita tidak akan berkembang. Tapi kalau hanya menjalankan salah satunya, kemungkinan besar perkembangannya tidak akan seimbang. 

Sebagai umat Katolik yang telah menerima benih iman melalui Sakramen Baptis, rahmat Allah dicurahkan 24 jam nonstop kepada kita setiap hari tanpa henti. Namun hidup adalah deretan pilihan. Dan kini pilihan itu ada pada kita, apakah kita mau mengembangkan benih iman itu hingga menghasilkan buah berlimpah atau tidak? Apakah kita mau mengubah rahmat yang tidak kelihatan menjadi sesuatu yang lebih konkret dan membagikannya kepada saudara-saudari kita, dalam bentuk sikap lemah lembut, sabar, rendah hati, dan segala kebajikan lainnya? Semuanya terserah pada masing-masing pribadi. Tapi saya tetap yakin dan percaya bahwa kita semua mampu memilih yang sesuai dengan kehendak Tuhan. 

Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.  


Minggu, 06 Oktober 2013

Beriman di Jaman Bobrok

Zaman edan
(Renungan Harian, Minggu, 6 Oktober 2013 - Hari Minggu XXVII dalam Masa Biasa)


Bacaan I: Hab 1:2-3, 2:2-4

Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Lalu TUHAN menjawab aku, demikian: "Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.


Bacaan II: 2 Tim 1:6-8, 13-14

Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu. Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah. Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.


Bacaan Injil: Luk 17:5-10

Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." "Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."


Renungan

Banyak orang berkata bahwa jaman ini adalah jaman yang penuh kegilaan dan kebobrokan. Oleh sebab itu, orang harus ikut menjadi “gila” supaya bisa bertahan dan kebagian (rejeki). Sebagaimana pada masa nabi Habakuk yang terungkap dalam bacaan I Minggu ini, kebobrokan jaman sekarang terutama tampak dalam semakin merajalelanya tindak kekerasan, pertikaian, ketidakadilan, kemerosotan moral, korupsi, dan segala bentuk penyimpangan lainnya. Berhadapan dengan situasi bobrok dan serba kacau ini, kita sebagai umat beriman Kristiani mungkin saja kehilangan orientasi dan menjadi putus asa: Apakah perlu ikut arus dunia dan ikut menjadi “gila”, ataukah tetap bertahan dalam iman—dan itu berarti mengalami banyak tantangan? Allah sendiri ternyata memberi jawaban tegas supaya kita bertahan, sebab Dia berjanji akan mendatangkan pertolongan “…nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh (Hab 2:3b).” Selain itu Allah pun memberi jaminan kepada kita, “…tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya (Hab 2:4b).”

Namun sementara kita menantikan pertolongan itu, apakah Allah akan membiarkan kita melangkah sendirian tanpa daya dan kekuatan? Tidak. Sebab melalui sakramen Baptis (dan diperkuat oleh Krisma) yang kita terima, Allah telah memberi kita anugerah yang amat berharga, yaitu iman kita. Rasul Paulus dalam bacaan II Minggu ini menegaskan bahwa iman adalah karya Roh Kudus yang bekerja di dalam hati kita, yang memberi kita kekuatan dan membuat kita mampu berbuat kasih di tengah segala tantangan hidup (bdk. 2 Tim 1:4, 7). Kekuatan iman tersebut sungguh dahsyat, sehingga Tuhan Yesus di dalam Injil mengatakan bahwa berkat iman kita dapat memerintahkan pohon ara tercabut dari tempatnya dan tertanam di laut (Luk 17:6). Apa yang mau dikatakan di sini, yaitu bahwa jika kita memiliki iman sejati, kita dapat melakukan hal-hal besar yang membawa kebaikan bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Sebagai contoh, siapa tidak kenal dengan Bunda Teresa dari Kalkuta? Berkat imannya, beliau mampu melakukan suatu karya besar yang menjangkau ribuan orang miskin dan terlantar di India. Oleh karenanya, Bunda Teresa layak menjadi teladan iman sejati bagi kita. Sebagaimana beliau tergerak untuk melakukan karya cinta kasih setelah berjumpa kaum miskin papa di kota Kalkuta, kita pun dapat belajar dari beliau bahwa untuk menghayati iman kita secara sungguh-sungguh, kita perlu terlibat aktif mengatasi persoalan di tengah masyarakat dan bangsa kita. Hal ini senada dengan perkataan Paus Fransiskus, “Iman kita bukanlah iman yang melarikan diri dari dunia. Tapi iman kita adalah iman yang masuk ke dalam dunia serta ikut memperbaikinya dari dalam!” Hanya dengan keterlibatan semacam ini, segala kebobrokan dan kekacauan hidup dapat teratasi.

Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.


Selasa, 01 Oktober 2013

Yang Tuhan Kehendaki adalah Cinta Kasih, bukan Kemarahan atau Balas Dendam

St Teresa dari Kanak-kanak Yesus
(Renungan Harian, Selasa, 1 Oktober 2013 - Peringatan wajib St Teresa dari Kanak-kanak Yesus)


Bacaan I: Zak 8:20-23

Beginilah firman TUHAN semesta alam: "Masih akan datang lagi bangsa-bangsa dan penduduk banyak kota. Dan penduduk kota yang satu akan pergi kepada penduduk kota yang lain, mengatakan: Marilah kita pergi untuk melunakkan hati TUHAN dan mencari TUHAN semesta alam! Kami pun akan pergi! Jadi banyak bangsa dan suku-suku bangsa yang kuat akan datang mencari TUHAN semesta alam di Yerusalem dan melunakkan hati TUHAN." Beginilah firman TUHAN semesta alam: "Pada waktu itu sepuluh orang dari berbagai-bagai bangsa dan bahasa akan memegang kuat-kuat punca jubah seorang Yahudi dengan berkata: Kami mau pergi menyertai kamu, sebab telah kami dengar, bahwa Allah menyertai kamu!"


Bacaan Injil: Luk 9:51-56

Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem,dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. Lalu mereka pergi ke desa yang lain.


Renungan

Apa jadinya jika Yesus sampai menuruti keinginan Yakobus dan Yohanes untuk menurunkan api guna membinasakan orang Samaria? Ada dua kemungkinan: Pertama, orang-orang yang menjadi korban malah akan semakin membenci Yesus dan para rasul. Kedua, mereka akan menerima Yesus dan para murid-Nya, semata-mata karena ketakutan. Tapi bukan kedua hal itu yang dikehendaki Yesus. Sebab yang Ia kehendaki adalah cinta kasih, bukan kemarahan dan balas dendam sebagaimana respon kedua murid tadi—apalagi yang diungkapkan dengan menyalahgunakan kekuasaan. Yang penting bagi Yesus, Dia perlu selalu mengasihi semua orang, bahkan kepada mereka yang membenci dan menolak-Nya. Lebih jauh lagi, cinta kasihlah sebenarnya yang menjadi daya tarik para pengikut Kristus, sehingga menyebabkan banyak orang di sekitar mereka tertarik untuk mengenal Yesus dan menjadi orang Kristen. Dengan mempraktekan cinta kasih dalam hidup sehari-hari, mereka yang belum percaya bisa melihat bahwa Allah senantiasa menyertai hidup orang-orang beriman. Cinta kasih ini pun tidak perlu selalu diungkapkan secara besar-besaran atau spektakuler, melainkan cukup dalam hal-hal kecil dan sederhana. Contohnya adalah St Teresa dari Kanak-kanak Yesus yang mengungkapkan iman dan cintanya kepada Allah dengan melayani komunitasnya dalam hal-hal kecil dan sederhana. Yang penting di sini bukan seberapa besar tindakan itu, melainkan seberapa besar cinta kasih yang mendasarinya. 

Refleksi
Sejauh mana diriku, melalui perkataan, perbuatan serta hidupku, menjadi daya tarik bagi orang lain untuk berjumpa dengan Tuhan?

Niat
Mari kita mengembangkan daya tarik kita dengan cara sederhana namun dengan cinta yang besar, misalnya dengan memperlihatkan wajah gembira, tersenyum, menyapa orang lain, memberi derma, dsb.