2013 - Catatan Lepas Sang Murid

Senin, 25 November 2013

Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian II)

Martin Heidegger
Heidegger II
Pada fase ini, pemikiran Heidegger semakin menjauh dari teologi Kristen. Bahkan dia juga sangat menentang Kristianitas, menjadi ateistik secara personal dan menjadi pendukung dari Sosialisme Nasional (Nazi). Minatnya pun kini beralih kepada studi tentang Nietzche.
Perkembangan paling mencolok dalam pemikiran Heidegger selama masa ini, yaitu tentang eksistensi Yunani kuno dan Kristen. Jika pada fase sebelumnya ia berpikir bahwa eksistensi Yunani kuno dan Kristen, jika dilepaskan dari kekonkretan historis mereka, akan menunjukkan struktur-struktur dari eksistensi faktis, maka pada fase ini ia berpandangan bahwa Kristianitas adalah suatu kemandekan akibat menjauhkan diri dari primordialitas pengalaman Yunani kuno (diwakili oleh Plato dan Aristoteles) khususnya menyangkut pelupaan metafisis akan being. Oleh karenanya, Heidegger lebih mengunggulkan kemampuan bernalar (questionability) dibandingkan iman Kristen. Menurutnya, orang perlu senantiasa memelihara kemampuan bernalar dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan radikal, ketika berhadapan dengan klaim iman. Dalam hal ini penalaran filosofis memang tidak bisa menjadi iman, namun bernalar atau berfilsafat dapat membuat orang beriman tetap terbuka dan bebas dari ideologi religius dan fantasi. Bertolak dari posisi filsafat yang radikal ini ketika berhadapan dengan iman, maka Heidegger menekankan bahwa filsafat harus berada dalam prinsip yang a-theistik.
Akhirnya, Heidegger juga menyadari bahwa banyak orang beriman tidak lagi bernalar karena tidak mau dan tidak mampu untuk bernalar. Mereka tidak lagi memiliki hasrat—atau kejujuran—untuk masuk ke dalam jurang penalaran filosofis. Akibatnya mereka hanya mampu bertindak “seolah-olah” (as if) dalam artian bahwa mereka hanya seolah-olah beriman, tapi sebenarnya iman mereka adalah iman yang tidak otentik karena masih berada dalam kungkungan ideologi religius.

Heidegger III
Pada fase ini, pemikiran Heidegger menjadi bertolak belakang dengan pemikirannya selama fase sebelumnya (Heidegger II). Bahkan dalam arti tertentu, pemikiran Heidegger pada masa ini dianggap kembali kepada pemikirannya pada fase awal (Heidegger I), meskipun dengan pemahaman yang baru.
Perkembangan pemikiran Heidegger pada fase ini terutama nampak dalam upayanya untuk menguraikan “metafisika” Barat klasik dari Platon sampai Nietzche sebagai “pelupaan” akan being dan “pengambilan kembali (withdrawal)” being. Ia pun menguraikan “metafisika” tentang “kehendak untuk berkuasa” yang terungkap secara ekstrem dalam teknologisasi dunia dan manusia masa kini. Oleh karenanya Heidegger sekarang menekankan bahwa tugas dari “berpikir” (thinking) itu secara tepat diidentifikasikan sebagai tidak menghendaki: pertama-tama dengan menghendaki tidak berkehendak (willing to not will), dan selanjutnya dengan tidak menghendaki sama sekali (not wiling at all). Yang dimaksud “menghendaki” di sini bukan hanya menyangkut tidak memilih dan menghendaki dalam pengertian yang sudah tentu atau pasti, tapi juga menyangkut semua pemikiran konseptual atau “representasional” yang menjadi esensi dari tradisi filsafat dan sains Barat.
Bertolak dari pandangannya tentang “menghendaki” tadi, Heidegger kini malah berbicara tentang “membiarkan” (letting be). Dalam hal ini, gagasannya tersebut sangat dipengaruhi oleh mistisisme religius dari Meister Eckhart. Menurut Heidegger, being bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan atau “digenggam” oleh pikiran manusia. Mengenai being, pikiran hanya bisa “memandangnya”. Idea-idealah yang datang kepada kita, bukan kita yang memikirkan mereka. Berpikir adalah suatu anugerah, suatu peristiwa yang menghampiri kita. Ini tidak berarti bahwa manusia hanya pasif sama sekali, namun manusia perlu bertahan tetap “terbuka” dalam penantian akan being. Upaya yang bisa dibuat manusia bukanlah untuk menghendaki tapi meniadakan kehendak, untuk mempersiapkan kemungkinan datangnya being dengan keterbukaan dan kejernihan. Ini bukanlah quietisme tapi asketisme, kerja keras dari semacam kemiskinan roh. Menurut Heidegger sendiri, pemikirannya dalam fase ini kembali kepada permulaan teologisnya. Filsafatnya kini nampak jelas bernada religius dan bahkan bercorak mistik. Ini tidak berarti bahwa ia kembali lagi kepada iman masa mudanya. Yang dimaksudkan dimensi mistik dalam pemikirannya saat ini semata-mata adalah urusan struktural: bahwa relasi “berpikir” dengan “being” secara struktural sama dengan relasi jiwa dengan Allah dalam mistisisme religius. Berpikir diarahkan kepada being, bukan kepada Allah. Being itu bukan Allah namun peristiwa keberwujudan, kejadian dari being yang benar. Being memberi makna pada apa yang kita sebut sejarah, namun dengan dua perbedaan penting: Pertama, sejarah dipahami sebagai sejarah kebenaran atau keberwujudan berbagai pandangan yang dibawa being selama berabad-abad—yang dipertentangkan dengan suatu sejarah tertentu, misalnya sejarah politik, ekonomi, sosial atau militer. Kedua, sejarah bukanlah sejarah manusia melainkan sejarah being, yang membentang di bawah “inisiatif” being yang memberikan kepada pikiran atau yang mengambil dari pikiran.
Pada fase ini Heidegger juga berbicara tentang Allah sebagai salah satu pemikiran pentingnya menyangkut teologi. Ia berbicara tentang Allah (dan dewa-dewa) namun dalam artian bahwa ini adalah Allah yang telah kehilangan kekuasaannya atas sejarah dan hanya menjadi suatu fungsi dalam sejarah being. Allah yang dimaksud Heidegger ini sesungguhnya adalah dewa puitis, suatu pengalaman akan dunia yang dialami sebagai sesuatu yang suci dan layak mendapat penghormatan. Allah ini lebih bercorak pagan-puitis dan bahkan lebih bernuansa Buddhisme, semacam meditasi atau penghormatan kepada dunia dalam keheningan, jika dibandingkan dengan Yudaisme dan Kristianitas.

Sebagai penutup, perlu disebutkan pula di sini bahwa pandangan Heidegger tentang Allah metafisis tidak dapat dikatakan inkonsisten dengan relasi nonmetafisis manusia dengan Allah. Menurutnya, “berpikir” sebenarnya berkesesuaian dengan iman Kristen. Hasil dari “berpikir” bagi teologi adalah untuk berhenti memikirkan Allah sebagai causa sui—sebagai daya penyebab yang menciptakan dan menopang kosmos—dan malahan berpaling kepada “Allah ilahi” (Allah metafisis yang digagas oleh Heidegger pada fase ini), di mana di hadapannya seseorang bisa menari atau bersujud menyembah. Dengan demikian, seluruh pandangan Heidegger tentang sejarah being sesungguhnya mengisahkan cerita tentang kegelapan teknologis di dunia ini yang diwarnai oleh ilusi bahwa kehebatan manusia dapat menggelapkan atau menutupi kenampakan Allah. Zaman “Allah ilahi” inilah yang dianggap Heidegger sebagai tanda munculnya suatu “permulaan lain”, sebuah zaman baru dari yang Suci, suatu masa di mana Allah memang bisa menjadi Tuhan.     


Jumat, 22 November 2013

Heidegger dan Pemikirannya tentang Teologi (Bagian I)

Martin Heidegger
Heidegger mengkritik filsafat dan teologi Barat abad pertengahan yang terlalu menekankan sisi logis dan logosentris. Filsafat dan teologi Barat masa itu berpretensi memberikan ungkapan konseptual bagi “relasi jiwa dengan Allah” dalam bentuk teori-teori yang abstrak dan sulit. Padahal “relasi jiwa dengan Allah” termasuk ke dalam sisi “kehidupan”—yang berlawanan dengan sisi logis dan logosentris tadi—yang dapat ditemukan dalam kehidupan rohani atau iman yang dijiwai oleh pengalaman hidup konkret. Lebih jauh lagi Heidegger pun melihat bahwa secara perlahan-lahan sisi logis dan logosentris (teori-teori) ternyata semakin mendominasi dan dipandang lebih unggul, sehingga sisi “kehidupan” menjadi terabaikan dan tersembunyi. Hal itu terutama nampak dalam teologi Gereja Katolik abad pertengahan yang terlalu mengagung-agungkan dogma atau ideologi religius. Bertolak dari pandangan itu, Heidegger kemudian berupaya untuk mende[kon]struksi tradisi abad pertengahan khususnya metafisika tradisional yang bersifat konseptual guna memulihkan atau mendapatkan kembali akarnya, yaitu pengalaman life-giving yang dialami dalam kehidupan konkret. Selanjutnya dengan mengambil gagasan dari mistisisme abad pertengahan, Heidegger melihat adanya kesesuaian hubungan antara jiwa dengan Allah dan hubungan antara “berpikir” (thinking) dengan being. Dalam hal ini, mistisisme berpandangan bahwa jiwa itu sepenuhnya milik Allah dan dibentuk oleh semacam transendensi terhadap Allah. Hal itu kiranya berkesesuian dengan gagasan metafisis bahwa intelek memiliki harmoni batin dengan being, serta rasa memiliki (belongingness) akan being.

Dalam upayanya untuk mendapatkan kembali pengalaman-pengalaman life-giving, Heidegger mengalami perkembangan pemikiran sepanjang hidupnya, yang secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 fase berbeda. Adapun penjelasan yang lebih terperinci untuk masing-masing fase tersebut akan dipaparkan di bawah ini.

Heidegger I
Pada fase ini, Heidegger mengalami perkembangan pemikiran yang ditandai dengan penolakannya terhadap sistem Katolisisme[1]—meski ia tidak menolak Kristianitas dan metafisika—sehingga ia berpaling kepada Protestantisme. Selain itu, ketertarikannya pun berubah dari studi logika, teologi dogmatik dan fenomenologi Husserlian, menjadi studi sejarah, teologi Perjanjian Baru dan studi tentang apa yang disebutnya “hermeneutika faktisitas” atau “analisis eksistensial”. Adapun proyek yang digagas Heidegger lewat perubahan minatnya ini, yaitu ia bermaksud mengkaji pengalaman hidup faktis[2] dari komunitas-komunitas Perjanjian Baru (terutama menyangkut pengalaman mereka akan waktu) guna memulihkan pengalaman Kristiani yang otentik. Adapun dalam proyek ini Heidegger pada dasarnya juga menimba inspirasi dari kritik Luther terhadap teologi metafisis abad pertengahan, serta kritik Kierkegaard terhadap Kristianitas spekulatif Hegelian.
Guna memulihkan pengalaman Kristiani yang otentik, Heidegger pertama-tama berusaha menghancurkan metafisika abad pertengahan yang bercorak Aristotelian, dengan cara menafsirkan filsafat Aristoteles untuk menemukan kembali struktur-struktur faktis Yunani kuno dan eksistensi[3] Aristotelian. Pada saat yang sama, ia juga mengkaji kehidupan komunitas-komunitas Perjanjian Baru. Sebab menurut Heidegger, upaya pemulihan yang bersifat dekonstruktif menyangkut kategori-kategori hidup faktis ini akan membawa hasil yang sama baik dengan menelaah tentang Aristoteles dan eksistensi Yunani kuno, maupun dengan mengkaji eksistensi Kristiani awal. Atau menurut rumusan lain, orang akan menemukan struktur faktis yang sama baik dengan membaca Nichomacean Ethics karya Aristoteles, maupun dengan membaca Perjanjian Baru. Adapun struktur faktis yang dimaksud di atas adalah kategori-kategori hidup faktis—misalnya, kategori tentang perhatian (care) dan eksistensi, kategori tentang keprihatinan (concern) dan perantaraan, serta kategori tentang temporalitas dan historisitas—yang senantiasa ada sebagaimana adanya, di mana pun mereka ditemukan.
Untuk menemukan kategori-kategori hidup faktis, Heidegger membedakan antara “eksistensial” dengan “eksistensiil”, atau “ontologis” dengan “ontis”, dari kedua eksistensi tadi (Yunani dan Kristiani awal).[4] Melalui pembedaan ini, ia bermaksud menetapkan struktur a priori universal dari kehidupan eksistensial tanpa perlu memperhatikan apakah struktur itu berada dalam fakta aktual Yunani kuno atau Kristen. Selain itu, Heidegger juga hendak menjaga supaya analisis eksistensial senantiasa bebas dari “ideal eksistensiil” atau kekonkretan apapun, misalnya eksistensi Yunani kuno dan Kristen. Di sini tidak ada indikasi bahwa ia menggangap eksistensi Yunani kuno lebih atau kurang “primordial” daripada eksistensi Kristiani. Namun yang jelas, menurut Heidegger. analisis eksistensial dapat dibelokkan oleh “ideal-ideal eksistensiil” yang merupakan representasi dari kedua eksistensi tadi.
Selanjutnya, Heidegger juga mengemukakan pandangannya tentang filsafat dan teologi. Menurutnya, filsafat sebagai ilmu tentang being sendiri pada dasarnya berbeda “secara mutlak” dari teologi, di mana teologi termasuk ilmu “ontis” tentang suatu wilayah partikular dari being, bukan tentang being universal. Teologi adalah suatu ilmu “positif” sebab membahas entitas yang positif (a positum), yaitu Kekristenan—yang dipahami Heidegger sebagai cara berada faktual sebagai orang beriman Kristen. Bagi Heidegger, teologi adalah usaha untuk membawa yang eksistensial lahir kembali, yang datang oleh iman dan menuju ke bentuk konseptual. Lebih jauh lagi, teologi sebenarnya bukan membuat iman lebih mudah, sebaliknya bahkan menjadi lebih sulit, karena teologi bukannya memberikan dasar rasional bagi iman tapi malah menunjukkan apa yang secara tepat tidak dapat dilakukan oleh teologi. Sebab menurut Heidegger, teologi didirikan di atas iman, sedangkan iman tidak membutuhkan filsafat karena iman adalah penghayatan. Namun teologi sebagai ilmu positif tetap membutuhkan filsafat untuk mengkonseptualisasikan aspek-aspek seperti “dosa” serta “salib”. Sebab iman adalah kelahiran kembali dari dosa, tapi dosa adalah kepastian ontikoeksistensial dari struktur ontologis rasa bersalah (gulit). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa iman adalah musuh eksistensiil filsafat, namun filsafat harus “berteman” dengan musuhnya ini jika filsafat ingin mengasumsikan bentuk teologis konseptual.




[1] Pada kenyataannya sistem Katolisisme yang ditolak Heidegger hanyalah menyangkut aspek dogmatik semata, terutama menyangkut cara Gereja Katolik dalam mengatur kebebasan para anggotanya untuk mengkaji dan mengajar apa yang mereka pandang sebagai hal yang tepat atau sesuai. Hal ini penting dijelaskan, sebab sistem Katolisisme bukan hanya menyangkut aspek dogmatik, melainkan masih ada aspek-aspek lainnya, misalnya iman, liturgi, praksis, dsb. Bdk. Thomas Sheehan, “Reading a Life: Heidegger and Hard Times”, dalam Ibid. hlm. 72.
[2] Yang dimaksud faktis di sini adalah apa yang memang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri, yaitu being-in-the-world. Dalam hal ini dipahami bahwa Dasein sudah selalu berada dalam situasi di mana being ada di dunia.  Bdk. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju Sein und Zeit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm. 88.
[3] Eksistensi adalah fakta bahwa Dasein ada-di-sana, mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya, sehingga Dasein selalu melampaui dirinya. Lih. Ibid., hlm. 50.
[4] “Eksistensial” adalah relasi Dasein dengan Ada, bersifat “ontologis”, dan dianggap sebagai sikap otentik. Sedangkan “eksistensiil” adalah relasi Dasein dengan adaan-adaan, bersifat “ontis”, dan dianggap sebagai sikap yang tidak otentik. Lih. Ibid.


Rabu, 20 November 2013

PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian III)

Soetan Sjahrir
3. Pengaruh Peradaban-peradaban Besar
Setelah memetakan pokok-pokok pemikiran Sjahrir, kini akan diperlihatkan sejauh mana pokok-pokok pemikiran Sjahrir tersebut dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar yakni, India, Islam dan Cina. Adapun peradaban Barat sengaja tidak dipaparkan lagi pada bagian ini karena dianggap telah ditampilkan melalui pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Sjahrir.
Dalam pemaparannya, Lombard menyebut proses indianisasi kebudayaan nusantara sebagai “mutasi pertama” kebudayaan nusantara. Proses indianisasi dominan terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Menurut Lombard yang menarik adalah bahwa meskipun proses modernisasi telah berlangsung, mutasi ini berbekas dalam lingkungan dan mentalitas orang sampai hari ini, di mana konsep-konsep kuno tentang kekuasaan (yang hierarkis) itu bertahan sampai sekarang. Hal ini dimungkinkan oleh suatu pendidikan yang telah menyebarluaskan norma keseimbangan dan kesepakatan, serta menjaga agar semua orang meresapinya.
Pendidikan pada titik ini berusaha menanamkan sifat-sifat kebajikan seperti rendah hati dan sabar, yang memungkinkan orang menemukan tempatnya di dalam hirarki, lalu bertahan dalam posisi itu dengan memainkan perannya sebaik mungkin. Di sini, Sjahrir menangkap arti penting dari suatu pendidikan yang mampu membangun dan mempengaruhi mentalitas orang. Hal inilah yang kemudian sedikit banyak menjelaskan mengapa Sjahrir begitu getol menekankan pendidikan. Bahkan, Sjahrir tak tanggung-tanggung memberi prioritas pada pendidikan kemanusian bagi rakyat sehingga mereka dapat menyadari masalah-masalah yang mereka hadapi. Bagi Sjahrir, pendidikan adalah alat penyadaran yang sangat efektif.
Lombard menegaskan bahwa stimulus Islam dan Cina yang kurang diakui perannya oleh orang Barat, sebenarnya telah menimbulkan konsep kunci tentang individu dan persamaan antar manusia sebelum kedatangan Barat. Penerapan konsep-konsep kunci tersebut ditengarai Lombard sebagai awal munculnya peradaban modern di nusantara. Penerapan gagasan-gagasan tersebut berperan besar dalam munculnya masyarakat perkotaan baru, di mana terjadi pemerataan dalam hubungan antarmanusia dengan bentuk-bentuk independensi yang baru, yang menggantikan hubungan hirarkis yang tradisional.
Pemikiran Sjahrir tentang universalisme humanis menempatkan persamaan derajat antar individu sebagai suatu prinsip yang sangat mendasar. Pemikiran itu sejalan dengan konsep individu dalam Islam yang menekankan keadilan dan (akal) budi. Konsep keadilan menekankan kesederajatan antar individu dan pembagian kekayaan yang tidak terlalu timpang. Untuk sampai pada hal ini, setiap individu mesti memiliki budi yang arif, yakni kebijaksanaan. Pendidikan kemanusian yang diusung oleh Sjahrir adalah suatu upaya untuk menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap individu memiliki derajat yang sama. Kesadaran ini penting untuk membebaskan individu dari setiap penindasan dan perlakuan tidak adil yang dialaminya.

Penutup
a.        Relevansi di Masa Sekarang: Pendidikan Politik
Salah satu pokok keprihatinan Sjahrir adalah kurangnya pendidikan politik bagi kaum muda pada zamannya. Keprihatinan inilah yang mendorong ia untuk kemudian bersama Hatta mengemudikan PNI-Pendidikan sebagai organisasi pencetak para kader pergerakan demi kepentingan bangsa. Mereka aktif menulis tentang pentingnya pendidikan, bahkan menerbitkan jurnal “Daulat Ra’jat” yang memiliki misi pendidikan rakyat. Inilah yang selanjutnya membawa pengaruh besar bagi pergerakan kaum muda.
Keprihatinan Sjahrir tentang pengkaderisasian kaum muda yang minim selama masa penjajahan kiranya masih relevan dewasa ini. Dalam kenyataan, ada begitu banyak partai politik di negara ini. Namun dari sekian banyak partai itu, berapakah partai yang menyebut diri sebagai partai kader dan serta-merta menyatakan kesediaan pada komitmen pengkaderan. Jawaban yang kita dapatkan mungkin tidak akan memuaskan karena partai politik yang yang mengusung misi pengkaderan memang sangat minim.
Kita akan menjadi semakin prihatin jika kita lanjut pada pertanyaan, “Dari sedikit partai yang berkomitmen pada pengkaderan, berapa dari mereka yang sungguh-sungguh mengusahakan agar kader mereka menempatkan loyalitas kepada kepentingan negara di atas kepentingan partai dan kelompok?” Pertanyaan ini penting mengingat peranan partai politik dalam usaha menjaga integrasi nasional. Pada satu sisi, partai politik bisa meningkatkan integrasi nasional, jika loyalitas yang ditanamkan dalam partai tertuju kepada negara. Sedangkan pada sisi yang lain, partai politik dapat menjadi penyebab munculnya disintegrasi bangsa apabila terlalu menekankan loyalitas kepada partai.
Dapat dikatakan, kelalaian dalam usaha pengkaderan kaum muda yang terjadi sejak zaman penjajahan dalam cara tertentu masih dilanjutkan dewasa ini. Alhasil, jiwa dan mentalitas para pemuda tidak dibentuk dengan baik sehingga rentan terhadap hasutan-hasutan yang tidak bertanggung jawab. Mereka gampang dimobilisasi oleh jargon politik yang kelihatan indah dari luar, namun sebenarnya tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Mereka gampang mendewa-dewakan pemimpin yang karismatis dan mudah tunduk kepada mereka.
Jika kita mau menimba inspirasi dari Sjahrir yang lebih suka “turun ke jalan” dan mengkader orang-orang muda bangsa, maka sudah layaklah kegiatan pengkaderan mendapat porsi lebih dalam kebijakan partai di Indonesia. Lebih jauh, pengkaderan yang diusahakan mestinya pengkaderan yang menempatkan loyalitas kepada negara di atas kepentingan partai dan kelompok. Dengan cara itu, rakyat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan baik atas nasib dan masa depan bagi mereka sendiri, maupun bagi bangsa secara keseluruhan.
Singkat kata, pada zaman modern ini, pengkaderan segenap masyarakat terutama kaum muda untuk berpartisipasi dalam usaha membebaskan diri dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan, serta ketidakadilan semakin mendesak. Tanggapan akan kemendesakan ini merupakan jawaban dan tidak lanjut dari tujuan pendidikan (politik) yang dicita-citakan oleh Sjahrir ketika memperjuangkan kebebasan rakyat Indonesia dari segala bentuk tindakan feodalis, imperialis, dan fasis.

b.        Tanggapan Kritis
Pengkajian atas sejarah dan pemikiran Soetan Sjarir, memberikan kesan mendalam bahwa Soetan Sjahrir adalah pahlawan dan politisi Indonesia yang patut diteladani. Seluruh proses perjuangan yang dilakukan oleh Sjahrir bagi kemerdekaan Indonesia bisa dikatakan keluar dari pribadi yang tenang, logis, kritis serta berpikiran dingin. Demikian juga usahanya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, terutama kaum muda, memperlihatkan bahwa ia memiliki kepedulian lebih besar kepada bangsa Indonesia daripada usaha untuk mensejahterakan dirinya sendiri.
Sjahrir mewariskan kepada kita makna penting dan positif dalam kehidupan berbangsa, yakni dalam hal kemanusian, kebebasan dan keadilan yang termuat di dalam Pancasila. Ketiga hal ini juga turut berkontribusi besar bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Akhirnya, Sjahrir pun patut dicontoh bukan hanya terkait dengan kepribadiannya yang dikatakan memiliki daya kemampuan tinggi, tetapi terutama pada bagaimana ia—dengan tingkat intelektual dan moralnya—mampu mengesampingkan keinginan menjadi pemimpin, dan lebih memberikan banyak waktu dan tenaga untuk membela saudara-saudarinya yang mencita-citakan suatu perikehidupan yang baik dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat.


Senin, 07 Oktober 2013

Renungan Ibadat Pemberkatan Rumah: Kembangkan Imanmu seperti Pemain Sepak Bola

Pemberkatan RumahBacaan I: Kol 3:12-21, 23

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.


Bacaan Injil: Mat 7:21-27

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."


Renungan

Saya ingin memulai renungan kali ini dengan menceritakan sebuah kisah anekdot.

Ketika bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir, mereka tinggal di padang gurun selama kurang lebih 40 tahun. Pada masa itu, Musa dan Harun bertindak sebagai pemimpin umat sekaligus perantara umat dengan Allah Yahwe. Pada suatu hari, ketika Musa dan Harun sedang berkeliling mengunjungi umat, datanglah seorang laki-laki ke Kemah Pertemuan bermaksud untuk bertemu dengan Musa. Namun karena Musa tidak ada di situ, maka laki-laki itu meninggalkan pesan untuknya dalam bentuk sepucuk surat. Ketika Musa tiba beberapa hari kemudian, ia menerima surat itu dan membacanya. Isinya kurang lebih begini: Kepada yang terhormat Musa, hamba Allah dan pemimpin bangsa Israel. Aku menulis surat ini kepadamu karena hendak meminta pertolonganmu. Dapatkah engkau datang ke rumahku dan memberkati rumahku lagi, karena aku yakin rumahku telah dimasuki oleh roh jahat. Sebab situasi rumahku benar-benar kacau seperti di neraka. Dulu rumahku memang pernah diberkati oleh Harun, rekanmu itu. Tapi aku tidak tahu, meskipun rumahku sudah diberkati, kenapa masih ada roh jahat yang bisa memasukinya? Setelah membaca surat itu, Musa menilai perkara ini adalah perkara besar, mengingat Harun sebelumnya sudah pernah memberkati rumah tersebut, tapi ternyata masih ada roh jahat yang berhasil memasukinya lagi. Oleh sebab itu, ia segera pergi ke Kemah Pertemuan untuk berbicara dengan Allah guna meminta petunjuk dan pertolongan-Nya. Setelah Musa menceritakan perkara itu, Allah pun menjawab dari dalam awan, “Musa… Musa… seharusnya kamu lebih teliti dalam memeriksa perkara ini. Sesungguhnya setelah rumah itu diberkati Harun, tidak akan ada lagi roh jahat yang bisa masuk dan tinggal di dalamnya. Lalu pertanyaannya sekarang mengapa situasi rumah itu kacau seperti di neraka? Alasannya sederhana, karena semua penghuninya bersikap seperti roh jahat satu dengan yang lain. Suami bertengkar dengan istri, dan istri bertengkar melawan suami. Orang tua melawan anak, dan begitu pula sebaliknya. Di tengah umat, mereka selalu bertengkar dengan tetangga sekitarnya. Mereka juga tidak pernah mengingat Aku dan beribadah kepada-Ku, karena perhatian mereka selalu terpusat pada apa yang menjadi kesenangan mereka. Oleh karenanya Musa, Aku berkata kepadamu, meski di rumah mereka tidak ada lagi roh jahat, tapi selama mereka tidak bertobat dan mengubah sikap hidupnya, maka hidup mereka akan senantiasa seperti di dalam neraka.   
Cerita anekdot tadi memang bisa diperdebatkan kebenarannya—apalagi jika ditinjau dari segi biblis atau menurut perspektif Kitab Suci. Tapi saya kira pesan dari cerita itu cukup jelas, bahwa situasi hidup yang kita alami seringkali lebih ditentukan oleh cara hidup kita sehari-hari, ketimbang oleh apa yang telah kita terima dari Allah—dan saya kira pendapat tersebut benar. Atau jika kita ingin lebih konkret, pemberkatan rumah tidak serta merta menjamin bahwa di masa depan penghuninya akan selalu hidup rukun dan damai. Demikian pula dengan Sakramen Baptis. Meskipun sakramen baptis menjadikan kita sebagai anak Allah dan anggota Gereja, namun hal itu tidak langsung menjamin bahwa semasa hidup di dunia, kita tidak akan terjerumus menjadi koruptor sehingga ditangkap oleh KPK. Tapi saya yakin dan percaya bahwa Anda sekalian tidak ada yang sampai mengalami hal seperti itu!

Jika demikian kenyataannya, bahwa Sakramen Baptis dan pemberkatan rumah ternyata tidak bisa secara langsung menjamin hidup kita di dunia, mungkin kita jadi tergoda untuk bertanya lebih jauh: Lalu kenapa Gereja masih menganggap kedua hal itu penting? Apa gunanya kita menerima itu, jika ternyata tidak bisa menjamin hidup kita di dunia? Nah di sinilah kita perlu memahami bahwa dalam banyak hal, Allah lebih suka memberi kita benih ketimbang buah—entah itu, rahmat atau sakramen atau talenta, semuanya itu adalah benih yang perlu dikembangkan supaya menghasilkan buah melimpah. Benih menjadi sangat penting di sini, karena tanpa benih yang berasal dari Allah maka tidak akan pernah ada buah. Benih itu meskipun kecil, mengandung kekuatan dan daya hidup di dalamnya, yang bisa membawa kita sampai kepada Allah. Makanya kita tetap membutuhkan Sakramen baptis dan juga pemberkatan rumah. Tapi pada saat yang sama, sikap memelihara dan mengembangkan apa yang sudah diterima juga sama pentingnya, sebab tanpa itu maka benih juga akan layu dan mati.

Dalam liturgi pembabtisan, calon baptis pada bagian awal upacara ditanyai apa yang dia inginkan, dan ia akan menjawab “iman”. Tapi setelah memperolehnya, iman itu senantiasa perlu dihayati, dipelihara dan dikembangkan melalui perbuatan nyata setiap hari, sehingga iman itu bisa menjadi sekokoh batu dan bukannya serapuh pasir, sebagaimana kita dengarkan dalam Injil tadi. Demikian pula dalam upacara pemberkatan rumah, yang menjadi fokus pertama-tama bukanlah bangunan fisik yang disebut rumah, melainkan orang-orang atau keluarga yang menjadi penghuninya. Melalui tindakan fisik imam yang memerciki air suci ke kamar-kamar, pintu-pintu, salib, dan sebagainya, kita memohon kepada Allah supaya mencurahkan rahmatnya bagi keluarga penghuninya. Maka jika kita menginginkan rumah ini menjadi rumah yang damai dan tenteram, maka yang pertama perlu didoakan dan dimohonkan rahmat bukanlah bangunan fisiknya, melainkan keluarga di rumah ini, supaya mereka mampu menunjukkan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, pengampunan, sikap bersyukur, dan segala kebajikan lainnya. Atau kalau mau lebih konkret, kita berdoa bagi keluarga di sini guna memohon supaya semua anggota keluarga saling terbuka, bisa berkomunikasi dengan baik, saling mengasihi, rukun dengan tetangga, tekun berdoa, aktif di Gereja dan masyarakat, dan sebagainya. Tapi kembali pada hal tadi, rahmat apapun yang akan diberikan Tuhan bukanlah buah atau produk jadi. Rahmat itu adalah benih yang perlu dikembangkan melalui praktek hidup setiap hari. Tanpa praktek hidup itu, maka benih itu jelas akan mati atau minimal menjadi kerdil. 


Bermain sepak bola bersama Yesus
Di sini saya menemukan kesamaan antara kita semua umat beriman dengan pemain sepak bola professional. Kita tahu bahwa pemain sepak bola professional adalah pemain yang punya bakat besar. Tapi mereka ternyata tetap perlu menjalani latihan teori dan praktek di lapangan. Tanpa teori dan praktek, bakat mereka tidak akan berkembang. Tapi kalau cuma ada salah satunya saja, berarti kemampuan mereka tidak akan seimbang. Kalau hanya tahu teori, mereka cuma cocok jadi komentator. Kalau hanya tahu praktek, dapat dipastikan team mereka akan selalu kalah karena tidak tahu strategi menyerang lawan. Demikian pula kita sebagai umat beriman. Kita sudah punya bakat, yaitu iman. Tapi kita tetap memerlukan latihan teori—contohnya berupa doa lingkungan atau doa rukun serta ibadat sabda—sekaligus kita butuh latihan praktek, yaitu penghayatan hidup setiap hari di tengah keluarga dan masyarakat. Tanpa menjalankan keduanya, dapat dipastikan bahwa iman kita tidak akan berkembang. Tapi kalau hanya menjalankan salah satunya, kemungkinan besar perkembangannya tidak akan seimbang. 

Sebagai umat Katolik yang telah menerima benih iman melalui Sakramen Baptis, rahmat Allah dicurahkan 24 jam nonstop kepada kita setiap hari tanpa henti. Namun hidup adalah deretan pilihan. Dan kini pilihan itu ada pada kita, apakah kita mau mengembangkan benih iman itu hingga menghasilkan buah berlimpah atau tidak? Apakah kita mau mengubah rahmat yang tidak kelihatan menjadi sesuatu yang lebih konkret dan membagikannya kepada saudara-saudari kita, dalam bentuk sikap lemah lembut, sabar, rendah hati, dan segala kebajikan lainnya? Semuanya terserah pada masing-masing pribadi. Tapi saya tetap yakin dan percaya bahwa kita semua mampu memilih yang sesuai dengan kehendak Tuhan. 

Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.  


Minggu, 06 Oktober 2013

Beriman di Jaman Bobrok

Zaman edan
(Renungan Harian, Minggu, 6 Oktober 2013 - Hari Minggu XXVII dalam Masa Biasa)


Bacaan I: Hab 1:2-3, 2:2-4

Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Lalu TUHAN menjawab aku, demikian: "Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.


Bacaan II: 2 Tim 1:6-8, 13-14

Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu. Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah. Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.


Bacaan Injil: Luk 17:5-10

Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." "Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."


Renungan

Banyak orang berkata bahwa jaman ini adalah jaman yang penuh kegilaan dan kebobrokan. Oleh sebab itu, orang harus ikut menjadi “gila” supaya bisa bertahan dan kebagian (rejeki). Sebagaimana pada masa nabi Habakuk yang terungkap dalam bacaan I Minggu ini, kebobrokan jaman sekarang terutama tampak dalam semakin merajalelanya tindak kekerasan, pertikaian, ketidakadilan, kemerosotan moral, korupsi, dan segala bentuk penyimpangan lainnya. Berhadapan dengan situasi bobrok dan serba kacau ini, kita sebagai umat beriman Kristiani mungkin saja kehilangan orientasi dan menjadi putus asa: Apakah perlu ikut arus dunia dan ikut menjadi “gila”, ataukah tetap bertahan dalam iman—dan itu berarti mengalami banyak tantangan? Allah sendiri ternyata memberi jawaban tegas supaya kita bertahan, sebab Dia berjanji akan mendatangkan pertolongan “…nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh (Hab 2:3b).” Selain itu Allah pun memberi jaminan kepada kita, “…tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya (Hab 2:4b).”

Namun sementara kita menantikan pertolongan itu, apakah Allah akan membiarkan kita melangkah sendirian tanpa daya dan kekuatan? Tidak. Sebab melalui sakramen Baptis (dan diperkuat oleh Krisma) yang kita terima, Allah telah memberi kita anugerah yang amat berharga, yaitu iman kita. Rasul Paulus dalam bacaan II Minggu ini menegaskan bahwa iman adalah karya Roh Kudus yang bekerja di dalam hati kita, yang memberi kita kekuatan dan membuat kita mampu berbuat kasih di tengah segala tantangan hidup (bdk. 2 Tim 1:4, 7). Kekuatan iman tersebut sungguh dahsyat, sehingga Tuhan Yesus di dalam Injil mengatakan bahwa berkat iman kita dapat memerintahkan pohon ara tercabut dari tempatnya dan tertanam di laut (Luk 17:6). Apa yang mau dikatakan di sini, yaitu bahwa jika kita memiliki iman sejati, kita dapat melakukan hal-hal besar yang membawa kebaikan bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Sebagai contoh, siapa tidak kenal dengan Bunda Teresa dari Kalkuta? Berkat imannya, beliau mampu melakukan suatu karya besar yang menjangkau ribuan orang miskin dan terlantar di India. Oleh karenanya, Bunda Teresa layak menjadi teladan iman sejati bagi kita. Sebagaimana beliau tergerak untuk melakukan karya cinta kasih setelah berjumpa kaum miskin papa di kota Kalkuta, kita pun dapat belajar dari beliau bahwa untuk menghayati iman kita secara sungguh-sungguh, kita perlu terlibat aktif mengatasi persoalan di tengah masyarakat dan bangsa kita. Hal ini senada dengan perkataan Paus Fransiskus, “Iman kita bukanlah iman yang melarikan diri dari dunia. Tapi iman kita adalah iman yang masuk ke dalam dunia serta ikut memperbaikinya dari dalam!” Hanya dengan keterlibatan semacam ini, segala kebobrokan dan kekacauan hidup dapat teratasi.

Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.


Selasa, 01 Oktober 2013

Yang Tuhan Kehendaki adalah Cinta Kasih, bukan Kemarahan atau Balas Dendam

St Teresa dari Kanak-kanak Yesus
(Renungan Harian, Selasa, 1 Oktober 2013 - Peringatan wajib St Teresa dari Kanak-kanak Yesus)


Bacaan I: Zak 8:20-23

Beginilah firman TUHAN semesta alam: "Masih akan datang lagi bangsa-bangsa dan penduduk banyak kota. Dan penduduk kota yang satu akan pergi kepada penduduk kota yang lain, mengatakan: Marilah kita pergi untuk melunakkan hati TUHAN dan mencari TUHAN semesta alam! Kami pun akan pergi! Jadi banyak bangsa dan suku-suku bangsa yang kuat akan datang mencari TUHAN semesta alam di Yerusalem dan melunakkan hati TUHAN." Beginilah firman TUHAN semesta alam: "Pada waktu itu sepuluh orang dari berbagai-bagai bangsa dan bahasa akan memegang kuat-kuat punca jubah seorang Yahudi dengan berkata: Kami mau pergi menyertai kamu, sebab telah kami dengar, bahwa Allah menyertai kamu!"


Bacaan Injil: Luk 9:51-56

Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem,dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. Lalu mereka pergi ke desa yang lain.


Renungan

Apa jadinya jika Yesus sampai menuruti keinginan Yakobus dan Yohanes untuk menurunkan api guna membinasakan orang Samaria? Ada dua kemungkinan: Pertama, orang-orang yang menjadi korban malah akan semakin membenci Yesus dan para rasul. Kedua, mereka akan menerima Yesus dan para murid-Nya, semata-mata karena ketakutan. Tapi bukan kedua hal itu yang dikehendaki Yesus. Sebab yang Ia kehendaki adalah cinta kasih, bukan kemarahan dan balas dendam sebagaimana respon kedua murid tadi—apalagi yang diungkapkan dengan menyalahgunakan kekuasaan. Yang penting bagi Yesus, Dia perlu selalu mengasihi semua orang, bahkan kepada mereka yang membenci dan menolak-Nya. Lebih jauh lagi, cinta kasihlah sebenarnya yang menjadi daya tarik para pengikut Kristus, sehingga menyebabkan banyak orang di sekitar mereka tertarik untuk mengenal Yesus dan menjadi orang Kristen. Dengan mempraktekan cinta kasih dalam hidup sehari-hari, mereka yang belum percaya bisa melihat bahwa Allah senantiasa menyertai hidup orang-orang beriman. Cinta kasih ini pun tidak perlu selalu diungkapkan secara besar-besaran atau spektakuler, melainkan cukup dalam hal-hal kecil dan sederhana. Contohnya adalah St Teresa dari Kanak-kanak Yesus yang mengungkapkan iman dan cintanya kepada Allah dengan melayani komunitasnya dalam hal-hal kecil dan sederhana. Yang penting di sini bukan seberapa besar tindakan itu, melainkan seberapa besar cinta kasih yang mendasarinya. 

Refleksi
Sejauh mana diriku, melalui perkataan, perbuatan serta hidupku, menjadi daya tarik bagi orang lain untuk berjumpa dengan Tuhan?

Niat
Mari kita mengembangkan daya tarik kita dengan cara sederhana namun dengan cinta yang besar, misalnya dengan memperlihatkan wajah gembira, tersenyum, menyapa orang lain, memberi derma, dsb.


Senin, 02 September 2013

Menjadi Malaikat Pelindung bagi Sesama

Malaikat Pelindung
(Renungan Harian, Senin 2 September 2013 - Peringatan wajib Para Malaikat Pelindung)


Bacaan I: Kel 23:20-23a

"Sesungguhnya Aku mengutus seorang malaikat berjalan di depanmu, untuk melindungi engkau di jalan dan untuk membawa engkau ke tempat yang telah Aku sediakan. Jagalah dirimu di hadapannya dan dengarkanlah perkataannya, janganlah engkau mendurhaka kepadanya, sebab pelanggaranmu tidak akan diampuninya, sebab nama-Ku ada di dalam dia. Tetapi jika engkau sungguh-sungguh mendengarkan perkataannya, dan melakukan segala yang Kufirmankan, maka Aku akan memusuhi musuhmu, dan melawan lawanmu. Sebab malaikat-Ku akan berjalan di depanmu.


Bacaan Injil: Mat 8:1-5,10

Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?" Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.


Renungan
Holy Guardian Angel
Jika mendengar kata malaikat, apa yang langsung terlintas di dalam benak kita masing-masing? Mungkin kita membayangkan sesosok wanita cantik atau pria tampan berjubah putih dengan sepasang sayap di punggungnya. Kita mungkin juga berpikir bahwa mereka adalah utusan Allah untuk melaksanakan suatu tugas tertentu, misalnya malaikat Gabriel yang mendapat tugas untuk menyampaikan kabar gembira kepada Bunda Maria, bahwa ia akan mengandung Yesus. Contoh lainnya adalah malaikat Mikael yang merupakan panglima bala tentara Allah dalam melawan kuasa kegelapan.

Namun akhir-akhir ini saya juga melihat bahwa kata “malaikat” semakin kabur maknanya, khususnya di kalangan kita sebagai anak-anak muda. Kita dengan mudahnya menggunakan kata ini “malaikat” atau dalam versi bahasa Inggris “angel” dalam percakapan dan kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, dalam lagu “Malaikat juga tahu, aku yang jadi juaranya.” Lalu sebagai joke atau lelucon, kita mengejek teman kita, “Iya sih dia memang seperti malaikat… tapi malaikat pencabut nyawa.” Ada juga contoh lainnya, seorang cowok berhasil membantu kekasihnya melakukan suatu hal penting, maka si cewek pun memberikan pujian, “Makasih ya, kamu memang benar-benar malaikat pelindungku.” Sedangkan dalam kesempatan yang lain, seorang cowok mengungkapkan perasaan cintanya kepada kekasihnya dengan mengatakan, “You are an angel in my heart forever.” Dan si cewek merespons, “Ahh, so sweet!” Kalau tidak percaya, silahkan lihat di Facebook atau Twitter, kita akan menemukan kata-kata semacam ini bertebaran di mana-mana.

Ok, apapun motivasi kita menggunakan kata ini, entah supaya lebih puitis atau sok romantis, tapi yang jelas sebagai umat Kristiani kita wajib mengetahui apa yang Gereja ajarkan tentang para malaikat. Gereja Katolik mengimani bahwa para malaikat sungguh-sungguh ada. Mereka adalah ciptaan Allah sama seperti kita. Namun mereka tidak memiliki tubuh jasmani, melainkan hanya roh sehingga mereka tidak dapat mati. Mereka juga senantiasa berada di surga bersama dengan Allah. Dalam hal ini, adalah benar bahwasanya para malaikat diciptakan Allah untuk melaksanakan suatu tugas tertentu, sebagaimana telah dikatakan tadi. Dengan pemahaman seperti itu, kita pun dapat melihat peranan dari para malaikat pelindung yang kita peringati pada hari ini.

Jika kita merenungkan kedua bacaan kitab suci tadi dengan seksama, maka kita akan menemukan bahwa Allah telah mengutus bagi kita masing-masing seorang malaikat pelindung yang bertugas untuk menjaga dan menghantar kita kepada Allah. Tidak peduli, besar atau kecil, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, yang jelas setiap orang punya malaikat pelindungnya masing-masing. Lalu muncul pertanyaan, mengapa Allah sampai berbuat demikian kepada kita, umat manusia ini? Karena di mata Allah pencipta kita, kita semua ini spesial. Kita begitu berharga di mata Allah, sehingga ia tidak segan-segan mengutus malaikat pelindung bagi kita masing-masing. Allah tahu bahwa kita ini lemah terhadap godaan dan tanpa bantuan-Nya, kita tidak akan mampu bertahan. Oleh sebab itu, para malaikat pelindung merupakan bagian dari Penyelenggaraan Ilahi yang memastikan bahwa di tengah kebingungan, kita dapat menemukan terang dan jalan keluar; di tengah bahaya, kita dapat mengalami keselamatan; di tengah segala kesedihan dan duka cita, kita tidak sendirian; dan ketika tiba akhir hidup kita, Penyelenggaraan Ilahi inilah yang memastikan bahwa kita berada di jalur yang benar menuju surga, kembali kepada Allah.

Saya sendiri teringat akan pelajaran sekolah minggu yang saya ikuti ketika masih anak-anak. Waktu itu guru kami mengatakan bahwa hati kita selalu berada di bawah pengaruh setan dan malaikat pelindung. Dan ketika kita menghadapi dilemma akan suatu hal atau keputusan, entah baik atau buruk, itu berarti setan dan malaikat sedang berkelahi dalam hati kita. Jika kita memilih yang jahat, itu berarti setan yang menang. Jika kita memilih yang baik, itu berarti malaikat yang menang. Entah benar atau tidak penjelasan dari guru kami tadi, tapi yang jelas Gereja mengimani bahwa malaikat selalu mengarahkan kita untuk memilih hal-hal yang baik, benar dan sesuai kehendak Allah. Lalu jika demikian kenyataannya, maka begitu besarlah tanggung jawab dan peran dari malaikat pelindung kita. Namun sayangnya kita sering mengecewakan dengan memilih apa yang semata-mata menjadi kemauan kita sendiri. Bahkan kita pun melupakan dan mengabaikan malaikat pelindung kita dalam hidup kita sehari-hari dan terutama di dalam doa-doa kita.

Lalu inspirasi apa yang bisa kita timba dari peringatan para malaikat pelindung ini? Saya melihat ada 3 poin.

Pertama, kita perlu meneladani apa yang telah dilakukan oleh malaikat pelindung kita masing-masing, yakni dengan menjadikan kita malaikat pelindung bagi sesama kita, entah itu bagi keluarga, sanak saudara atau teman-teman kita. Kita bisa mulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, misalnya dengan hadir bagi mereka yang sedang punya masalah; mendengarkan curhat mereka; mengajak mereka yang kini mulai malas kumpul-kumpul untuk mulai aktif kembali, dsb. Dengan sikap saling menjaga semacam ini, maka kata-kata pujian “malaikat” atau “angel” tidak lagi bermakna semu, melainkan punya arti yang sungguh nyata dan mendalam. 

Poin yang kedua, sebagaimana yang tadi telah saya katakan bahwa kita selalu berada di dalam Penyelenggaraan ilahi. Di sini saya pun merefleksikan bahwa Gereja sebagai suatu persekutuan umat beriman bisa bertahan sejauh ini, sampai pada usia yang ke sekian, juga karena penyelenggaraan ilahi itu. Di sini yang maksud bukan hanya Gereja sebagai suatu organisasi religius, tetapi terutama sebagai suatu yang lebih dalam, yaitu kebersamaan hidup di antara para anggota umat Allah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kelak, setahun, dua tahun atau sekian tahun lagi. Tapi saya sendiri yakin dan percaya bahwa jika kita semua para anggota Gereja mampu menjadi malaikat pelindung bagi satu sama lain, maka Gereja akan menjadi layaknya obor penerang di tengah kegelapan dan kekacauan dunia.

Poin yang terakhir, kita telah melihat begitu besarnya peran malaikat pelindung dalam hidup kita masing-masing. Hanya karena kita tidak dapat melihat mereka, maka kita sering kali mengecewakan atau melupakan mereka dengan melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Allah. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya mengajak kita semua, untuk sekurang-kurangnya pada hari ini, kita mengingat dan berterima kasih kepada malaikat pelindung kita masing-masing atas jasa serta pelayanan mereka selama ini. Dan alangkah baiknya jika pada hari-hari yang akan datang, kita pun selalu memohon perlindungan mereka dengan mendoakan doa sederhana ini: 

Malaikat Allah, Engkau yang diserahi oleh kemurahan Tuhan untuk melindungi aku, terangilah, lindungilah, bimbinglah dan hantarlah aku ke hidup yang kekal. Amin.

Semoga Allah yang mahakuasa selalu memberkati kita semua. Amin.


Jumat, 14 Juni 2013

PENDIDIKAN KEMANUSIAAN: Sebuah Perjuangan Soetan Sjahrir (Bagian II)

Soetan Sjahrir
2. Sumbangan Pemikiran Sjahrir
Sumbangan pemikiran Sjahrir pada dasarnya dapat dipetakan sebagai berikut. Pertama, ia mendasarkan atau mengakarkan semua pemikirannya pada paham universalisme humanis, sebagai suatu landasan moral dan orientasi etis. Kedua, dengan melihat situasi dan kondisi aktual di Indonesia, ia pun kemudian mengusung sosialisme kerakyatan sebagai pandangan politisnya. Ketiga, sebagai konkretisasi sekaligus sarana untuk meraih kondisi ideal dalam kedua point tadi, maka Sjahrir pun menggagas pendidikan kemanusiaan. Dengan kata lain, pokok-pokok pemikiran Sjahrir tersusun secara piramida terbalik dengan universalisme humanis sebagai bangunan atas, sosialisme kerakyatan sebagai bangunan tengah dan akhirnya mengerucut pada pendidikan kemanusiaan sebagai bangunan bawah.

2.1 Pandangan Sjahrir tentang Universalisme Humanis.
Universalime humanis merupakan salah satu pokok pikiran Sjahrir yang mencolok dan cukup mewarnai buah-buah pemikirannya. Pemikiran ini terutama mengemuka dalam karyanya yang berjudul Perjungan Kita. Menurut Sjahrir, manusia tidak dapat dibedakan dan dikotak-kotakkan berdasarkan ras, agama, seks ataupun bangsa. Dengan itu, universalisme humanis Sjahrir dapat dilihat sebagai usaha untuk memahami manusia dalam kompleksitas cara beradanya.[1]
Dapat dikatakan, universalisme humanis Sjahrir merupakan upaya untuk merespon fenomena kehidupan manusia yang semakin kompleks dan berkembang cepat. Dalam pengamatannya terhadap kejadian di perbagai pelosok dunia,[2]ia menemukan gejala bahwa manusia sebagai individu kini berada di tempat-tempat massa manusia, khususnya di dalam kompleksitas kehidupan perkotaan. Dalam hal ini, manusia sebagai individu harus menjalani hiruk-pikuk kehidupan dengan segala pergolakannya. Fenomena ini memunculkan kecenderungan baru di mana manusia sebagai individu harus mencari tumpuan hidup, yakni kelompok atau kolektivitas.
Menurut Sjahrir, kecenderungan untuk mengutamakan kolektivitas semakin lama semakin meningkat. Berbagai tindakan dilakukan atas nama kolektivitas. Bahkan dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, manusia sebagai individu dipaksa tunduk pada (kepentingan) kolektivitas.[3]Di sini Sjahrir menemukan semacam inkonsistensi, yakni kepentingan kolektivitas telah menjadi landasan bertindak yang mengarah kepada absolutisme. Absolutisme mengejawantah dalam prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa negara (kolektivitas) harus menguasai individu-individu.[4]Dengan demikian, inkonsistensi yang dimaksudkan Sjahrir tepatnya adalah suatu keadaan di mana individu semata-mata digunakan sebagai sarana demi tumbuh dan berkembangnya kolektivitas. Individu yang sebelumnya sadar dan memiliki kebebasan kini telah teralienasi. Di sini individu tidak lagi menyadari dirinya sebagai manusia yang bermartabat kemanusiaan.[5]
Pada dasarnya, universalisme humanis Sjahrir mengacu kepada kesederajatan umat manusia. Menurutnya, pengakuan kesederajatan umat manusia merupakan prinsip yang mendasar, karena mengacu langsung pada martabat luhur manusia.[6]Kesederajatan umat manusia di sini tidak diartikan yang statis, yakni bahwa manusia mesti memiliki peran dan fungsi yang sama, tetapi lebih dimaksudkan agar manusia untuk tumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Denganitu, universalisme humanis Sjahrir menghendaki agar orang bisa menerima cara hidup manusia yang kompleks dan berbeda-beda.
Konsekuensi logis dari pandangan universalisme humanisnya, Sjahrir kemudian menolak pembedaan umat manusia yang berujung pada munculnya dominasi dari yang kuat/dianggap baik atas yang lemah/dianggap kurang baik. Pembedaan yang dimaksudkan Sjahrir di sini adalah fasisme.[7]Menurutnya, fasisme sebagai suatu ajaran dan paham yang membedakan dan mengkotak-kotakkan manusia sangat bertentangan dengan pandangan universalisme humanisnya yang menekankan kesederajatan manusia secara menyeluruh.
Singkat kata, fasisme sebagai suatu pemikiran politik tidak akan ditolerir oleh Sjahrir. Pemikiran fasis tidak hanya melanggar prinsip kebebasan tetapi sekaligus penghinaan bagi keluhuran martabat manusia. Dengan itu, fasisme rentan pada pelanggaran kemanusiaan.[8] Dalam kerangka ini, Sjahrir melihat bahwa musuh Indonesia jangka panjang adalah fasisme dalam berbagai macam ragamnya. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia harus bersih dari unsur-unsur fasis. Pemerintahan Republik Indonesia harus bebas dari kecenderungan mengkotak-kotakkan manusia, menempatkan manusia yang satu di bawah yang lain.[9]

2.2 Pandangan Sjahrir tentang Sosialisme Kerakyatan
Sosialisme kerakyatan merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Sjahrir tentang universalisme humanis. Di sini Sjahrir memilih sosialisme kerakyatan sebagai cara perjuangan, dengan berlandaskan pada kenyataan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran akan martabat kemanusiaan di Indonesia masih sangat rendah. Dengan bertolak dari penghargaan atas martabat manusia tadi, Sjahrir juga tidak setuju dengan diterapkannya kekerasan dan paksaan dalam usaha untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat.
Pemikiran Sjahrir tentang sosialisme kerakyatandapat ditelusuri dari akar sosialismeyang muncul dari ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels. Paham sosialisme yang dirintis oleh kedua pemikir ini memberi penekanan pada persamaan derajat. Penekanan inilah yang kemudian menginspirasi perjuangan kaum proletar melawan kaum borjuis yang berujung pada gagasan masyarakat tanpa kelas.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangan selanjutnya, paham sosialisme secara menonjol mendapat dua penafsiran yang berbeda-beda. Sebut saja, Vladimir Illich Leninmenafsirkan bahwa bahwa inti dari ajaran Marx dan Engels adalah segi-segi intensionalitasnya serta ajaran, perbuatan dan pelaksanaan-pelaksanaan yang biasa disebut ajaran diktator proletariat. Selain penafsiran Lenin, muncul penafsiran kedua yang lebih memberi penekanan pada pentingnya segi-segi pendidikan, latihan dan penyusunan kaum buruh serta kaum proletar untuk dapat mempengaruhi dan akhirnya mengendalikan kondisi hidupnya melalui pengaruh serta kekuasaan atas negara. Penafsiran kedua inilah yang menjadi posisi dari pemikiran Sjahrir.[10]Penafsiran yang kedua ternyata juga banyak dianut oleh kaum sosialis parlementeryang berpandangan bahwa perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis semestinya dicapai lewat kemenangan kaum sosialis di dalam pemilihan-pemilihan untuk parlemen. Pada titik ini, sosialisme sebenarnya telah dicapai dengan menyelenggarakan demokrasi politik. Dalam kerangka ini, pemikiran semacam tadi di Eropa Barat disebut dengan istilah Sosialisme Demokratis.[11]
Berbeda dengan kaum sosialis Eropa yang menekankan perwujudan demokrasi parlementer, kaum sosialis Asia cenderung berfokus pada upaya memerangi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Adapun yang menjadi dasarnya adalah taraf kehidupan di Asia, termasuk pula di Indonesia, masih sangat rendah. Hal itu tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat Eropa yang memiliki tingkat pendidikan dan kesadaran akan martabat manusia tinggi, sehingga rakyat siap mengemban kekuasaan dalam parlemen. Oleh karena itu, sosialisme di Asia pada umumnya disebut sosialisme kerakyatan. Meski demikian, sosialisme kerakyatan juga tetap perlu dicapai lewat jalan demokrasi.
Sebagai salah seorang sosialis yang hidup dalam konteks Asia dan mengalami bahwa rakyat Indonesia kurang menghargai kemanusiaan, Sjahrir meyakini bahwa sosialisme kerakyatan merupakan cara perjuangan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan Sjahrir di sini adalah sosialisme yang menjunjung tinggi martabat manusia dan mengakui persamaan derajat setiap umat manusia. Pengakuan atas persamaan derajat diyakini Sjahrir akan membentuk kesadaran sosial dalam diri setiap orang untuk kemudian memperjuangkan kemerdekaan dan mengembangkan kehidupannya. Dalam kerangka ini, sosialisme kerakyatan tidak hanya membawa orang pada kesadaran akan harkat-martabat manusia, tetapi juga penghormatan terhadap individu atau bangsa lain.
Konsekuensi logis dari paham sosialisme kerakyatan yang diusung Sjahriradalah penolakan terhadap segala bentuk ketidaksederajatan, praktek kekerasan dan pemaksaansebagaimana terungkap dalam fasisme, imperialisme, feodalisme dan komunisme. Bahkan menurut Sjahrir, paham nasionalisme pun perlu dicurigai karena dapat membuka kemungkinan pada pemakaian rakyat sebagai sarana bagi para penguasa untuk menjaga eksistensi dan pengembangan negara.[12]Prioritas utama adalah rakyat, bukan negara.
Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini, yaitu bahwa rakyat perlu dibersihkan dari pengaruh paham-paham yang telah menciderai dan merendahkan martabat manusia.[13] Pembersihan ini perlu dipahami sebagai pembersihan menyeluruh, yakni meliputi ranah mentalitas dan susunan aparatur pemerintahan mulai dari tingkat desa yang telah terpengaruh paham-paham tadi. Bagaimanapun, paham-paham itu telah turut mempengaruhi dan membentuk mentalitas rakyat menjadi rendah diri dan tunduk laiknya budak, sekaligus menjadikan mereka bermental fasis dalam artian bahwa individu boleh membenci seluruh dunia asalkan jangan membenci kelompoknya sendiri.
Bertolak dari paham sosialisme kerakyatan—yang selaras dengan universalisme humanis, Sjahrir kemudian tiba pada kesimpulan bahwa cara efektif untuk meningkatkan taraf kesadaran rakyat akan martabat kemanusiaan, yaitu dengan jalan memberikan pendidikan kemanusiaan yang memadai. Jika rakyat telah sadar akan martabat mereka, maka proses demokrasi dapat mulai berjalan, hingga sosialisme pun menjadi mungkin dicapai.

2.3 Pandangan Sjahrir tentang Pendidikan Kemanusiaan
Sekarang kita tiba pada bagian ketiga dari pokok pemikiran Sjahrir, yaitu mengenai pendidikan kemanusiaan. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian-bagian sebelumnya, bahwa Sjahrir menggunakan sistem tertentu untuk menyusun kerangka pemikirannya. Dengan berlandaskan pada universalisme humanis sebagai filsafat moralnya, Sjahrir kemudian mengusung sosialisme kerakyatan sebagai filsafat politiknya. Sosialisme kerakyatan ini pada akhirnya akan diwujudkan dalam bentuk memberikan pendidikan kemanusiaan kepada rakyat, sebagai praksis pedagogis yang akan memampukan mereka untuk menyadari harkat-martabatnya sebagai manusia. Dalam hal ini, pendidikan kemanusiaan secara singkat dapat dipahami sebagai pendidikan yang berlandaskan pada pandangan bahwa individu merupakan nilai paling tinggi serta sebagai sumber nilai terakhir, sehingga pendidikan perlu diberikan sebagai penyadaran akan nilai tersebut dalam diri individu sekaligus memberikan bekal bagi mereka untuk mengembangkan diri secara kreatif. 
Menyangkut pendidikan kemanusiaan untuk rakyat itu, Sjahrir menggarisbawahi bahwa pendidikan tersebut harus mencakup ketiga bidang pendidikan, yaitu: ilmu pengetahuan, pendidikan politik dan pendidikan moral/kesusilaan. Pandangan itu tidak berarti bahwa pendidikan harus selalu diberikan dalam konteks sekolah, melainkan bisa juga melalui organisasi, kaderisasi, kelompok diskusi dan publikasi tulisan-tulisan kepada khalayak umum. Yang lebih penting, yaitu bahwa nilai-nilai kemanusiaan perlu meresapi seluruh aspek pendidikan, sehingga terhindar dari suatu keadaan di mana pendidikan tidak bebas nilai atau diarahkan kepada ideologi tertentu. Jika ada nilai atau ideologi dalam pendidikan tadi, hal itu pun tidak lain daripada kemanusiaan. Sebagai contoh, sikap fasisme Jepang yang diwujudkan melalui propaganda dan manipulasi berita menyebabkan para pemuda kerapkali mencontoh-contoh Jepang.[14]Adapun maksud diberikannya ketiga bidang pendidikan tadi, yakni supaya mereka mampu menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi baik secara personal maupun kolektif, sekaligus membuat individu menjadi kritis dan dengan demikian kontrol diri untuk menghadapi nafsu-nafsu rendah semakin kuat.[15]
Jika meninjau sejarah kehidupan Sjahrir, kita akan melihat bahwa ia berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemikirannya tentang pendidikan kemanusiaan secara konkret. Dalam hal ini, ada dua cara yang ditempuh oleh Sjahrir. Pertama, melalui tulisan-tulisannya, antara lain dalam jurnal “Daulat Ra’jat”, kumpulan surat “Renungan Indonesia” dan risalah politik “Perjuangan Kita.” Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kaderisasi bagi para pengikutnya, yang diberikannya baik lewat PNI-Pendidikan, jaringan-jaringan yang dia bentuk pascapengasingan, maupun melalui partai kerakyatan atau demokratis yang revolusioner (Partai Sosialis Indonesia) yang dia dirikan pascakemerdekaan Indonesia. Adapun wujud konkret dari kegiatan kaderisasi itu adalah melalui tulisan-tulisan yang perlu dipelajari oleh para pengikutnya; diskusi-diskusi dengan mereka; serta lewat upaya untuk mendengarkan siaran radio luar negeri secara klandestein untuk mengetahui situasi terkini.[16] 
Tahap lebih lanjut yang dicita-citakan Sjahrir dari pemikiran tentang pendidikan kemanusiaan, yaitu terbentuknya suatu golongan demokratis revolusioner yang akan menjadi penggerak perjuangan rakyat sekaligus yang akan mempercepat proses penyadaran akan martabat kemanusiaan di dalam diri rakyat, sehingga demokratisasi menjadi lekas terwujud dalam berbagai sisi kehidupan politik, ekonomi maupun sosial. Inilah kiranya yang menjadi dasar mengapa Sjahrir memilih metode kaderisasi melalui partai atau jaringan kerja.
Jika demokrasi telah terwujud dalam berbagai segi kehidupan, maka yang perlu dilakukan tinggal merawat dan memelihara demokrasi itu supaya tetap dapat mendukung cita-cita sosialisme. Oleh sebab itu, Sjahrir—selaras dengan pemikiran para sosialis Eropa—sangat mendukung sistem multipartai dengan bentuk pemerintahan parlementer.[17]



[1] Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 61.
[2] Pada sekitar tahun 1934, Sjahrir membaca banyak buku dan surat kabar yang memberikan informasi-infomasi mengenai  kompleksitas kehidupan perkotaan khususnya yang terjadi di Eropa. Ibid., hlm. 62.
[3] Lih. Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Op. Cit., hlm. 26-27.
[4] Dalam pandangan Sjahrir, negara adalah alat atau sebagai ekspresi dari kedaulatan rakyat, bukan sebagai tujuan. Dengan itu, dalam perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan, negara (Republik Indonesia) seharusnya dipakai sebagai alat,bukan sebagai tujuan akhir. Lih. Indro, Op. Cit., hlm. 83.
[5] Lih. Ibid., hlm. 63.
[6] Ibid., hlm. 64.
[7] Ibid., hlm. 79.
[8]Menurut Sjahrir, “Gerakan 3A yang dilaksanakan Jepang pada tahun 1942 merupakan usaha untuk mengagungkan Jepang sebagai pemimpin, pelindung dan cahaya Asia. Sjahrir menengarai bahwa kehendak untuk membangun Nippon Raya merupakan tindakan untuk meletakkan bangsa lain di bawah kekuasaan Jepang. Pengaruh fasisme ini bagi bangsa Indonesia pada titik ini adalah semakin melanggengkan budaya feodal yang sudah ada.
[9] Sudjatmoko, dalam Sjahrir,Renungan dan Perjuangan, Op. Cit., hlm. 285
[10] Indro, Op. Cit., hlm. 88. Lebih jauh, penafsiran Lenin—yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin dan kaum komunis—membawa pada situasi di mana sistem kapitalis beralih ke sistem sosialis melalui perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan dan pembentukan pemerintahan diktator (satu partai politik kaum sosialis). Hal itutentu tidak dikehendaki Sjahrir, sehingga diakonsisten pada penafsiran kedua.
[11] Ibid., hlm. 92.
[12] Ibid., hlm. 82.
[13] Sjahrir, “Perjuangan Kita” dalam Ibid., hlm. 181, 183-184.
[14] Ibid., hlm. 171.
[15] Ibid., hlm. 76.
[16] Lih. H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 39, 47-49.
[17] Adapun sistem multipartai merupakan upaya untuk mengakomodasi segenap aspirasi rakyat. Berdasarkan alasan itulah, partai perlu dijaga supaya selalu loyal kepada rakyat, bukan kepada kepentingan partai sendiri. Sedangkan bentuk pemerintahan parlementer dipilih karena dianggap memberi ruang lebih luas bagi kedaulatan rakyat dalam mengatur jalannya pemerintahan.