Januari 2016 - Catatan Lepas Sang Murid

Selasa, 19 Januari 2016

Instruksi Pastoral Aetatis Novae (Bagian 2)

Instruksi Pastoral Aetatis Novae

IV. Relevansi

Instruksi Pastoral Aetatis Novae (1992) menyertakan lampiran panjang mengenai rencana pastoral, (No. 23-33). Pedoman tersebut secara khusus merujuk pada rencana keseluruhan untuk kegiatan-kegiatan komunikasi di bawah keuskupan, konferensi waligereja nasional atau regional. Namun dalam kenyataannya, semua kegiatan pastoral bahkan pada tingkat paroki atau setiap organisasi gerejawi memiliki dimensi komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi merupakan bagian hakiki dari setiap jenis rencana pastoral entah itu untuk pengajaran agama, reksa pastoral, pembinaan rohani atau kegiatan-kegiatan amal.

Media dapat memberikan sumbangan kepada hampir setiap bidang kerasulan, pelayanan, dan program lain. Melalui media, Gereja dapat berkomunikasi dengan dunia. Selain itu media komunikasi juga memberikan peluang bagi para pewarta sabda Allah supaya mereka dapat belajar dari bangsa dan budaya lain, sekaligus dapat membantu dunia untuk mengetahui dan menerima Sabda Allah. Bahkan pada dasarnya, Gereja harus selalu mengkomunikasikan pesannya dalam suatu cara yang sesuai dengan zaman dan kebudayaan dari masing-masing bangsa. Dengan itu, Gereja dewasa ini harus mengkomunikasikan di dalam dan kepada media budaya yang berkembang (Bab II art 8, hlm 28). Namun dalam menggunakan alat-alat komunikasi bagi kepentingan evengelisasi, Gereja seharusnya perlu bersikap kritis terhadap media massa dan dampaknya bagi kebudayaan (hal 32)
Media massa juga dapat menjadi sarana persatuan di antara umat manusia yang sedang berziarah di dunia, karena media massa mampu menghubungkan individu-individu menjadi lebih erat (Bab II art 8, hlm 28). Oleh sebab itu Gereja menganggap perkembangan komunikasi sebagai sarana ”yang diketemukan di bawah Penyelenggaraan Tuhan”, dan bukan hanya sebagai hasil karya manusiawi semata.

Gereja kiranya juga perlu berdialog dengan mereka yang bertanggung jawab terhadap media komunikasi. Dalam hal ini, dialog tersebut mencakup usaha untuk memahami media komunikasi—tujuan, prosedur, bentuk, jenis, struktur, dan metoda media komunikasi—sekaligus memberi dukungan dan dorongan kepada mereka yang terlibat dalam karya media komunikasi. Berdasarkan pemahaman yang simpatik dan mendukung ini, terbuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberikan usul-usul yang berarti, demi menghilangkan hambatan-hambatan bagi kemajuan manusia dan pewartaan Injil (Bab II art 8, hlm 28). Atau dengan kata lain, Gereja mengarahkan para praktisi media untuk senantiasa menjadikan media massa sebagai sarana persatuan dengan Kristus.
Umat Kristiani memiliki tanggung jawab untuk membuat suara mereka didengarkan dalam semua media komunikasi. Dengan demikian tugas Gereja tidak hanya terbatas untuk menyampaikan keluar berita-berita tentang Gereja, tetapi juga untuk mendukung para artis dalam media komunikasi (Bab II art 8, hlm 29).

Dalam bermedia, dituntut bahwa sekurang-kurangnya berkembang satu antropologi dan teologi tentang komunikasi. Dengan itu teologi akan menjadi lebih komunikatif, lebih berhasil dalam menyampaikan nilai-nilai Injil dan menerapkannya pada kenyataan manusia pada jaman sekarang ini (Bab II art 8, hlm 29).

Melalui media, Gereja—terlebih pimpinan Gereja dan para pekerja pastoral—dapat menjalin hubungan saling mempercayai dan menghormati berdasarkan nilai-nilai dasariah yang sama dengan mereka yang tidak seiman dengan kita (Bab II art 8, hlm 29).

Melihat situasi di banyak tempat yang berbeda, kepekaan terhadap kepentingan pribadi-pribadi mungkin kerap kali menyebabkan Gereja memajukan alternatif berupa media jemaat.  Oleh sebab itu Gereja pun memelihara dan memajukan media tradisional, karena lebih efektif dalam menyebarkan Injil, sehingga dimungkinkan partisipasi secara pribadi yang lebih besar dan menyentuh bagian terdalam batin manusia (inkulturasi). Selain alasan tersebut, dengan memelihara dan memajukan media tradisional, maka umat beriman pun juga dimungkinkan untuk dapat aktif dalam membentuk dan menggunakan media massa. Bahkan merupakan suatu kewajiban bahwa umat beriman harus dapat berpartisipasi aktif, otonom dan penuh tanggung jawab dalam proses komunikasi (Bab IV art 16, hlm 34).

Bersama dengan keterlibatan yang lain dalam bidang komunikasi dan media, Gereja haruslah terus mengembangkan, memelihara dan memajukan alat-alat dan program-program komunikasi sosial yang khas Katolik. Dalam hal ini, karya media katolik bukanlah merupakan suatu program tambahan di samping kegiatan Gereja yang lain. Dengan demikian maka hendaknya komunikasi sosial hendaknya menjadi bagian integral dari setiap rencana pastoral, sebab memiliki sesuatu untuk disumbangkan bagi hampir setiap kerasulan lain, pelayan dan program (Bab IV art 17, hlm 35).
Pendidikan dan latihan dalam komunikasi hendaknya merupakan suatu bagian yang utuh dari pembinaan para pekerja pastoral dan para imam. Oleh sebab itu, perlu diberikan pendidikan dan pelatihan dalam komunikasi bagi para imam dan personel Gereja, sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan orang “yang kaya informasi” maupun dengan orang “yang miskin informasi” (Bab IV art 18, hlm 35).

Karya media mengandung tekanan-tekanan psikologis yang khusus dan dilema dalam etika. Maka mutlak perlulah bahwa mereka yang bekerja dalam industri komunikasi perlu melaksanakan tanggung jawab mereka dengan diresapi oleh cita-cita yang tinggi dan keterlibatan terhadap pelayanan bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, Gereja memiliki tanggung jawab yang selaras dengannya: umtuk mengembangkan dan memberikan program-program reksa pastoral yang dapat menjawab kebutuhan para pekerja media. Secara khusus, program-program pastoral semacam ini hendaknya mencakup pembinaan yang terus-menerus, yang akan membantu para pria dan wanita ini untuk semakin lebih penuh mengintegrasikan norma-norma moral ke dalam karya profesional mereka maupun dalam kehidupan pribadi mereka ((Bab IV art 19, hlm 36).


V. Tanggapan Kritis

Aetatis Novae adalah instruksi pastoral baru yang diterbitkan 20 tahun setelah Communio et Progressio. Instruksi ini bukan sebagai pengganti melainkan sebagai pelengkap. Dalam Communio et Progressio dijelaskan tentang visi katolik mengenai bermedia. Komunikasi dipandang sebagai jalan menuju persatuan, maka alat-alat komunikasi adalah sarana persatuan. Bila setelah 20 tahun diterbitkannya Communio et Progressio visi ini tetap digemakan maka kiranya situasi visi persatuan ini belum dicapai atau perli ditingkatkan.

Selain tanggapan kritis yang bersifat khusus di atas kita juga sering melihat Gereja terlambat dalam menanggapi masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, sehingga ada kesan dokumen-dokumen yang dihasilkan bukan merupakan antisipasi terhadap kondisi kontekstual yang ada dalam masyarakat, melainkan lebih sebagai sikap pencegahan yang terlambat. Hal yang sama pun terjadi pada dokumen ini, Gereja baru bereaksi terhadap pesatnya perkembangan teknologi informasi setelah 20 tahun sejak dikeluarkanya Communio et Progressio.

Instruksi Pastoral yang memiliki Appendix ini, yang berisi unsur-unsur dari suatu rencana pastoral untuk komunikasi sosial, masih dapat dipergunakan sampai sekarang. Dikatakan bahwa hendaknya Konferensi Para Uskup dan Keuskupan mengembangkan suatu rencana pastoral yang terintegrasi untuk komunikasi sosial. Kondisi media komunikasi dan kesempatan yang diberikan kepada Gereja dalam bidang komunikasi sosial, berbeda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya—dan bahkan berbeda dari paroki yang satu dengan paroki yang lain. Oleh karena itu pendekatan Gereja terhadap media dan lingkungan budaya harus disesuaikan dengan kondisi setempat.


VI. Penutup

Sepintas kita melihat bahwa betapa hebatnya perkembangan-perkembangan dalam dunia komunikasi. Hal ini mencakup baik evolusi yang cepat dari teknologi-teknologi yang sudah ada, maupun munculnya alat-alat komunikasi baru serta teknologi-teknologi media mutakhir. Penggunaan alat-alat media baru ini memyebabkan munculnya apa yang disebut oleh beberapa orang sebagi “bahasa-bahasa baru” dan telah melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menjalankan perutusan Gereja tetapi juga menimbulkan persoalan-persoalan pastoral yang baru.

Pada bagian akhir tulisan ini, kami ingin  menegaskan lagi bahwa Gereja ”melihat media ini sebagai ‘karunia Tuhan’, yang sesuai dengan karya perencanaan ilahiNya, mempersatukan manusia dalam persaudaraan dan dengan demikian membantu mereka untuk bekerjasama dengan rencanaNya untuk menyelamatkan mereka”[5]. Seperti halnya Roh membantu para nabi dalam Perjanjian Lama untuk melihat rencana ilahi dalam tanda –tanda jaman mereka, demikian pula sekarang ini Roh membantu Gereja menafsirkan tanda-tanda jaman sekarang ini untuk menjalankan tugas kenabiannya, diantaranya, evaluasi, dan menggunakan dengan tepat teknologi komunikasi dan media komunikasi sosial yang sekarang ini adalah suatu yang mutlak perlu.


KEPUSTAKAAN


Eilers, Franz-Josef. 2008. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius.
Hadiwikarta, J, (penterj.). 1992. AETATIS NOVAE (Terbitnya Suatu Era Baru). Jakarta: Departemen Komunikasi dan Penerangan KWI.
Paus Benediktus XVI. 2008. Media Komunikasi Sosial: Pada Persimpangan antara Pengacuan Diri dan Pelayanan. Jakarta: Komisi Komunikasi Sosial KWI.



[5] Communio et Progressio no 2


Instruksi Pastoral Aetatis Novae (Bagian 1)

Aetatis Novae

I. Pengantar

Aetatis Novae dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Terbitnya suatu Era Baru. Era baru ini ditandai tidak hanya dengan mendekatnya suatu millennium baru, tetapi juga oleh perubahan peta politik, ekonomi, serta perubahan-perubahan agama yang tak terduga sebelumnya, baik di Eropa Tengah maupun di Eropa Timur. Dan meskipun tidak terjadi secara terlalu dramatis, namun toh tetap merupakan perubahan-perubahan yang cukup berarti dalam kebijakan mengenai komunikasi, praktek komunikasi dan teknologi komunikasi di seluruh dunia.[1]

Ciri yang paling menonjol dalam instruksi pastoral ini adalah adanya bagian Appendix, yang disertai dengan petunjuk-petunjuk untuk membuat rencana pastoral di bidang komunikasi sosial. Kiranya hal ini berarti bahwa Gereja berusaha menetapkan rencana pastoral di bidang komunikasi sosial dalam setiap tingkatannya.


II. Latar Belakang Penulisan Aetatis Novae

Dokumen Aetatis Novae diterbitkan pada tanggal 17 Maret 1992. Dalam hal ini, lahirnya Aetatis Novae sebagai sebuah instruksi pastoral baru tidaklah menggantikan “Communio et Progressio” yang sudah berumur 20 tahun. Mengingat bahwa selama kurun waktu tersebut telah terjadi begitu banyak perkembangan dalam ranah media komunikasi, maka Gereja pun menyadari bahwa diperlukan sebuah petunjuk baru dalam menghadapi perkembangan media komunikasi tersebut. Oleh karena itu kehadiran instruksi pastoral Aetatis Novae ini hanya dimaksudkan sebagai suplemen atau pelengkap bagi kebutuhan-kebutuhan yang telah lama dirasakan.

Perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam kurun waktu tersebut, antara lain: terjadinya revolusi di bidang telekomunikasi (komunikasi jarak jauh) dengan munculnya satelit, televisi kabel, serat optik, compact disk; pembuatan gambar dengan menggunakan komputer, dan teknologi komputer lainnya serta teknologi digital; FAXsimile dan pengiriman data; komputer mini; percetakan jarak jauh; serta membanjirnya video kaset. Rangkaian inovasi itu—di mana pada tahun 1971 (terbitnya Communio et Progressio) hanyalah merupakan angan-angan semata—sekarang telah benar-benar menjadi nyata.

Oleh karena itu, terbuka kemungkinan-kemungkinan lebih luas dalam menjalankan tugas perutusan Gereja, yang sekaligus juga menimbulkan persoalan-persoalan pastoral baru—sebagai akibat dari munculnya “bahasa-bahasa baru”—yang dihasilkan oleh penggunaan media-media tersebut. Persoalan yang muncul adalah adanya dampak negatif sebagai akibat dari pemakaian alat-alat komunikasi tersebut bagi perkembangan psikologis, moral dan sosial dari pribadi-pribadi; perkembangan struktur dan fungsi masyarakat; perkembangan komunikasi dan persepsi antar budaya, serta penyampaian nilai-nilai, ideologi-ideologi dan keyakinan keagamaan terhadap masyarakat dunia. Semua itu mempengaruhi manusia di dalam memahami makna hidupnya.

Sebagai suplemen dari Communio et Progressio, dokumen ini ditulis dengan semangat yang terungkap dalam kata-kata penutup Communio et Progessio: “Umat Allah berjalan dalam sejarah. Pada saat mereka…berjalan maju bersama dengan berjalannya waktu, mereka menatap ke muka dengan penuh kepercayaan, dan bahkan dengan penuh gairah terhadap perkembangan dalam bidang komunikasi, yang mungkin dapat diberikan di dalam zaman ruang angkasa ini.”[2] Dokumen ini bukanlah kata akhir dari Gereja dalam menanggapi perkembangan bidang komunikasi, melainkan untuk memberikan suatu alat kerja serta dorongan bagi mereka yang menghadapi implikasi pastoral berkaitan dengan perkembangan sarana komunikasi tersebut..

Sebagaimana Roh membantu para nabi Perjanjian Lama untuk melihat Yang Ilahi dalam tanda-tanda zaman, demikian pula Roh membantu Gereja menafsirkan tanda-tanda zaman sekarang ini, serta dalam menjalankan tugas kenabiannya untuk menggunakan dengan tepat komunikasi dan media komunikasi sosial yang sangat diperlukan dalam kondisi saat ini.[3] Oleh karena itu Aetatis Novae muncul bukan hanya karena adanya perkembangan dari teknologi komunikasi dan juga dampak-dampak yang ditimbulkannya, tetapi juga karena campur tangan Roh Kudus yang selalu menaungi dan menyertai Gereja.

III. Keprihatinan 

Walaupun hanya lahir sebagai sebuah suplemen yang melengkapi kekurangan-kekurangan di dalam Communio et Progressio, namun tetap saja dokumen ini lahir karena adanya keprihatinan dan persoalan-persoalan yang ingin dijawab. Keprihatinan ini juga muncul sebagai akibat dari berkembangnya teknologi komunikasi.

Kendati semua kebaikan yang dilakukan dan mampu dilakukannya, namun media massa “dapat juga kadang-kadang menjadi alat dari suatu pandangan yang tidak tepat mengenai kehidupan, keluarga, agama dan kesusilaan; suatu pandangan yang tidak menghormati martabat yang sejati dan tujuan dari pribadi manusia[4] (Bab II art 7, hlm 27). Media dapat dipakai ‘untuk mewartakan Injil maupun untuk menghapusnya dari hati orang’ (Hal 14).

Penggunaan media komunikasi meningkat, sehingga pengguna terlalu melekat kepada sikap fiktif dari media tersebut, serta media komunikasi menggantikan interaksi antar manusia yang mengakibatkan persoalan-persoalan pribadi tertentu dan persoalan-persoalan sosial. Padahal tujuannya bukan untuk menggantikan (Bab II art 7, hlm 27). Persoalan-persoalan tersebut juga menjadi penghambat solidaritas manusiawi, serta perkembangan manusia seutuhnya. Hambatan-hambatan tersebut, antara lain: sekularisme, konsumerisme, materialisme, dehumanisasi, dan kurangnya perhatian terhadap kaum miskin dan terlantar (hal 32). Selain itu terjadi pula ketidakadilan struktural dalam penggunaan sarana komunikasi dan informasi, di mana beberapa kelompok atau individu dipotong haknya untuk mendapatkan akses atas sarana komunikasi dan informasi—sedangkan hal itu dapat dinikmati secara berlimpah oleh kaum elit (hal 33).



[1] Aetatis Novae, hal. 17
[2] Aetatis Novae, hal. 21 art 1
[3] Aetatis Novae, hal. 38 art 22
[4] Aetatis Novae, hal. 27 art 7