IV. Relevansi
Instruksi Pastoral Aetatis Novae (1992) menyertakan lampiran panjang mengenai rencana pastoral, (No. 23-33). Pedoman tersebut secara khusus merujuk pada rencana keseluruhan untuk kegiatan-kegiatan komunikasi di bawah keuskupan, konferensi waligereja nasional atau regional. Namun dalam kenyataannya, semua kegiatan pastoral bahkan pada tingkat paroki atau setiap organisasi gerejawi memiliki dimensi komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi merupakan bagian hakiki dari setiap jenis rencana pastoral entah itu untuk pengajaran agama, reksa pastoral, pembinaan rohani atau kegiatan-kegiatan amal.Media dapat memberikan sumbangan kepada hampir setiap bidang kerasulan, pelayanan, dan program lain. Melalui media, Gereja dapat berkomunikasi dengan dunia. Selain itu media komunikasi juga memberikan peluang bagi para pewarta sabda Allah supaya mereka dapat belajar dari bangsa dan budaya lain, sekaligus dapat membantu dunia untuk mengetahui dan menerima Sabda Allah. Bahkan pada dasarnya, Gereja harus selalu mengkomunikasikan pesannya dalam suatu cara yang sesuai dengan zaman dan kebudayaan dari masing-masing bangsa. Dengan itu, Gereja dewasa ini harus mengkomunikasikan di dalam dan kepada media budaya yang berkembang (Bab II art 8, hlm 28). Namun dalam menggunakan alat-alat komunikasi bagi kepentingan evengelisasi, Gereja seharusnya perlu bersikap kritis terhadap media massa dan dampaknya bagi kebudayaan (hal 32)
Media massa juga dapat menjadi sarana persatuan di antara umat manusia yang sedang berziarah di dunia, karena media massa mampu menghubungkan individu-individu menjadi lebih erat (Bab II art 8, hlm 28). Oleh sebab itu Gereja menganggap perkembangan komunikasi sebagai sarana ”yang diketemukan di bawah Penyelenggaraan Tuhan”, dan bukan hanya sebagai hasil karya manusiawi semata.
Gereja kiranya juga perlu berdialog dengan mereka yang bertanggung jawab terhadap media komunikasi. Dalam hal ini, dialog tersebut mencakup usaha untuk memahami media komunikasi—tujuan, prosedur, bentuk, jenis, struktur, dan metoda media komunikasi—sekaligus memberi dukungan dan dorongan kepada mereka yang terlibat dalam karya media komunikasi. Berdasarkan pemahaman yang simpatik dan mendukung ini, terbuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberikan usul-usul yang berarti, demi menghilangkan hambatan-hambatan bagi kemajuan manusia dan pewartaan Injil (Bab II art 8, hlm 28). Atau dengan kata lain, Gereja mengarahkan para praktisi media untuk senantiasa menjadikan media massa sebagai sarana persatuan dengan Kristus.
Umat Kristiani memiliki tanggung jawab untuk membuat suara mereka didengarkan dalam semua media komunikasi. Dengan demikian tugas Gereja tidak hanya terbatas untuk menyampaikan keluar berita-berita tentang Gereja, tetapi juga untuk mendukung para artis dalam media komunikasi (Bab II art 8, hlm 29).
Dalam bermedia, dituntut bahwa sekurang-kurangnya berkembang satu antropologi dan teologi tentang komunikasi. Dengan itu teologi akan menjadi lebih komunikatif, lebih berhasil dalam menyampaikan nilai-nilai Injil dan menerapkannya pada kenyataan manusia pada jaman sekarang ini (Bab II art 8, hlm 29).
Melalui media, Gereja—terlebih pimpinan Gereja dan para pekerja pastoral—dapat menjalin hubungan saling mempercayai dan menghormati berdasarkan nilai-nilai dasariah yang sama dengan mereka yang tidak seiman dengan kita (Bab II art 8, hlm 29).
Melihat situasi di banyak tempat yang berbeda, kepekaan terhadap kepentingan pribadi-pribadi mungkin kerap kali menyebabkan Gereja memajukan alternatif berupa media jemaat. Oleh sebab itu Gereja pun memelihara dan memajukan media tradisional, karena lebih efektif dalam menyebarkan Injil, sehingga dimungkinkan partisipasi secara pribadi yang lebih besar dan menyentuh bagian terdalam batin manusia (inkulturasi). Selain alasan tersebut, dengan memelihara dan memajukan media tradisional, maka umat beriman pun juga dimungkinkan untuk dapat aktif dalam membentuk dan menggunakan media massa. Bahkan merupakan suatu kewajiban bahwa umat beriman harus dapat berpartisipasi aktif, otonom dan penuh tanggung jawab dalam proses komunikasi (Bab IV art 16, hlm 34).
Bersama dengan keterlibatan yang lain dalam bidang komunikasi dan media, Gereja haruslah terus mengembangkan, memelihara dan memajukan alat-alat dan program-program komunikasi sosial yang khas Katolik. Dalam hal ini, karya media katolik bukanlah merupakan suatu program tambahan di samping kegiatan Gereja yang lain. Dengan demikian maka hendaknya komunikasi sosial hendaknya menjadi bagian integral dari setiap rencana pastoral, sebab memiliki sesuatu untuk disumbangkan bagi hampir setiap kerasulan lain, pelayan dan program (Bab IV art 17, hlm 35).
Pendidikan dan latihan dalam komunikasi hendaknya merupakan suatu bagian yang utuh dari pembinaan para pekerja pastoral dan para imam. Oleh sebab itu, perlu diberikan pendidikan dan pelatihan dalam komunikasi bagi para imam dan personel Gereja, sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan orang “yang kaya informasi” maupun dengan orang “yang miskin informasi” (Bab IV art 18, hlm 35).
Karya media mengandung tekanan-tekanan psikologis yang khusus dan dilema dalam etika. Maka mutlak perlulah bahwa mereka yang bekerja dalam industri komunikasi perlu melaksanakan tanggung jawab mereka dengan diresapi oleh cita-cita yang tinggi dan keterlibatan terhadap pelayanan bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, Gereja memiliki tanggung jawab yang selaras dengannya: umtuk mengembangkan dan memberikan program-program reksa pastoral yang dapat menjawab kebutuhan para pekerja media. Secara khusus, program-program pastoral semacam ini hendaknya mencakup pembinaan yang terus-menerus, yang akan membantu para pria dan wanita ini untuk semakin lebih penuh mengintegrasikan norma-norma moral ke dalam karya profesional mereka maupun dalam kehidupan pribadi mereka ((Bab IV art 19, hlm 36).
V. Tanggapan Kritis
Aetatis Novae adalah instruksi pastoral baru yang diterbitkan 20 tahun setelah Communio et Progressio. Instruksi ini bukan sebagai pengganti melainkan sebagai pelengkap. Dalam Communio et Progressio dijelaskan tentang visi katolik mengenai bermedia. Komunikasi dipandang sebagai jalan menuju persatuan, maka alat-alat komunikasi adalah sarana persatuan. Bila setelah 20 tahun diterbitkannya Communio et Progressio visi ini tetap digemakan maka kiranya situasi visi persatuan ini belum dicapai atau perli ditingkatkan.Selain tanggapan kritis yang bersifat khusus di atas kita juga sering melihat Gereja terlambat dalam menanggapi masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, sehingga ada kesan dokumen-dokumen yang dihasilkan bukan merupakan antisipasi terhadap kondisi kontekstual yang ada dalam masyarakat, melainkan lebih sebagai sikap pencegahan yang terlambat. Hal yang sama pun terjadi pada dokumen ini, Gereja baru bereaksi terhadap pesatnya perkembangan teknologi informasi setelah 20 tahun sejak dikeluarkanya Communio et Progressio.
Instruksi Pastoral yang memiliki Appendix ini, yang berisi unsur-unsur dari suatu rencana pastoral untuk komunikasi sosial, masih dapat dipergunakan sampai sekarang. Dikatakan bahwa hendaknya Konferensi Para Uskup dan Keuskupan mengembangkan suatu rencana pastoral yang terintegrasi untuk komunikasi sosial. Kondisi media komunikasi dan kesempatan yang diberikan kepada Gereja dalam bidang komunikasi sosial, berbeda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya—dan bahkan berbeda dari paroki yang satu dengan paroki yang lain. Oleh karena itu pendekatan Gereja terhadap media dan lingkungan budaya harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
VI. Penutup
Sepintas kita melihat bahwa betapa hebatnya perkembangan-perkembangan dalam dunia komunikasi. Hal ini mencakup baik evolusi yang cepat dari teknologi-teknologi yang sudah ada, maupun munculnya alat-alat komunikasi baru serta teknologi-teknologi media mutakhir. Penggunaan alat-alat media baru ini memyebabkan munculnya apa yang disebut oleh beberapa orang sebagi “bahasa-bahasa baru” dan telah melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menjalankan perutusan Gereja tetapi juga menimbulkan persoalan-persoalan pastoral yang baru.Pada bagian akhir tulisan ini, kami ingin menegaskan lagi bahwa Gereja ”melihat media ini sebagai ‘karunia Tuhan’, yang sesuai dengan karya perencanaan ilahiNya, mempersatukan manusia dalam persaudaraan dan dengan demikian membantu mereka untuk bekerjasama dengan rencanaNya untuk menyelamatkan mereka”[5]. Seperti halnya Roh membantu para nabi dalam Perjanjian Lama untuk melihat rencana ilahi dalam tanda –tanda jaman mereka, demikian pula sekarang ini Roh membantu Gereja menafsirkan tanda-tanda jaman sekarang ini untuk menjalankan tugas kenabiannya, diantaranya, evaluasi, dan menggunakan dengan tepat teknologi komunikasi dan media komunikasi sosial yang sekarang ini adalah suatu yang mutlak perlu.
KEPUSTAKAAN
Eilers, Franz-Josef. 2008. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius.
Hadiwikarta, J, (penterj.). 1992. AETATIS NOVAE (Terbitnya Suatu Era Baru). Jakarta: Departemen Komunikasi dan Penerangan KWI.
Paus Benediktus XVI. 2008. Media Komunikasi Sosial: Pada Persimpangan antara Pengacuan Diri dan Pelayanan. Jakarta: Komisi Komunikasi Sosial KWI.