2016 - Catatan Lepas Sang Murid

Senin, 29 Februari 2016

Renungan Senin Prapaskah III C, 29 Februari 2016

Naaman disembuhkan dari sakit kustanya

Bacaan Pertama

2Raj 5:1-15a

Banyak orang sakit kusta, dan tak seorang pun dari mereka
yang ditahirkan, selain daripada Naaman orang Syiria itu.

Pembacaan dari Kitab Kedua Raja-Raja:

Naaman, panglima raja Aram,
adalah seorang terpandang di hadapan tuannya dan sangat disayangi,
sebab oleh dia Tuhan telah memberikan
kemenangan kepada orang Aram.
Tetapi pahlawan tentara itu sakit kusta.

Sekali peristiwa orang Aram pernah keluar bergerombolan
dan membawa tertawan seorang anak perempuan dari negeri Israel.
Anak itu menjadi pelayan pada isteri Naaman.
Berkatalah gadis itu kepada nyonyanya,
"Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu,
tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya."

Lalu pergilah Naaman memberitahukan kepada tuannya, katanya,
"Begini-beginilah dikatakan oleh gadis yang dari negeri Israel itu."
Maka jawab raja Aram,
"Baik, pergilah dan aku akan mengirim surat kepada raja Israel."

Lalu berangkatlah Naaman.
Sebagai persembahan ia membawa sepuluh talenta perak,
enam ribu syikal emas dan sepuluh potong pakaian.
Ia menyampaikan surat raja Aram itu kepada raja Israel,
yang berbunyi, "Sesampainya surat ini kepadamu,
maklumlah kiranya,
bahwa aku menyuruh kepadamu Naaman pegawaiku,
supaya engkau menyembuhkan dia dari penyakit kustanya."

Segera sesudah raja Israel membaca surat itu,
dikoyakkannyalah pakaiannya serta berkata,
"Allahkah aku ini, yang dapat mematikan dan menghidupkan,
sehingga orang ini mengirim pesan kepadaku,
supaya kusembuhkan seorang dari penyakit kustanya?
Sesungguhnya, perhatikanlah dan lihatlah,
ia mencari gara-gara terhadap aku."
Segera sesudah didengar oleh Elisa, abdi Allah itu,
bahwa raja Israel mengoyakkan pakaiannya,
dikirimnyalah pesan kepada raja, bunyinya,
"Mengapa engkau mengoyakkan pakaianmu?
Biarlah orang itu datang kepadaku,
supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel."

Kemudian datanglah Naaman dengan kuda dan keretanya,
lalu berhenti di depan pintu rumah Elisa.
Elisa menyuruh seorang suruhan kepadanya mengatakan,
"Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan,
maka tubuhmu akan pulih kembali,
sehingga engkau menjadi tahir."
Tetapi pergilah Naaman dengan gusar sambil berkata,
"Aku sangka, setidak-tidaknya ia datang ke luar
dan berdiri memanggil nama Tuhan, Allahnya,
lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu,
dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku!
Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik,
lebih baik dari segala sungai di Israel?
Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?"

Kemudian berpalinglah ia dan pergi dengan panas hati.
Tetapi pegawai-pegawainya datang mendekat
serta berkata kepadanya,
"Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar
kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya?
Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu:
Mandilah dan engkau akan menjadi tahir."

Maka turunlah Naaman membenamkan dirinya tujuh kali
dalam sungai Yordan,
sesuai dengan perkataan abdi Allah itu.
Lalu pulihlah tubuhnya kembali seperti tubuh seorang anak,
dan ia menjadi tahir.
Kemudian kembalilah Naaman dengan seluruh pasukannya
kepada abdi Allah itu.
Sesampai di sana majulah ia ke depan Elisa dan berkata,
"Sekarang aku tahu,
bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.
Karena itu terimalah kiranya suatu pemberian dari hambamu ini!"

Demikianlah Sabda Tuhan.


Mazmur

Mzm 42:2.3;43:3.4   R: Mzm 42:3

Jiwaku haus akan Allah, akan Allah yang hidup.
Bilakah aku boleh datang melihat Allah?

*Seperti rusa yang merindukan sungai berair,
demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.

*Jiwaku haus akan Allah, akan Allah yang hidup.
Bilakah aku boleh datang melihat Allah?

*Suruhlah terang dan kesetiaan-Mu datang,
supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus
dan ke tempat kediaman-Mu!

*Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah,
menghadap Allah, sukacita dan kegembiraanku,
dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi,
ya Allah, ya Allahku!


Bait Pengantar Injil

Mzm 130:5.7

Aku menanti-nantikan Tuhan,
dan mengharapkan firman-Nya,
sebab pada Tuhan ada kasih setia,
dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan.


Bacaan Injil

Luk 4:24-30

Yesus seperti Elia dan Elisa,
diutus bukan kepada orang-orang Yahudi.

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas:

Ketika Yesus datang ke Nazaret,
Ia berkata kepada umat di rumah ibadat,
"Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.
Tetapi Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar:
Pada zaman Elia terdapat banyak janda di Israel,
ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan,
dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri.
Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka,
melainkan kepada seorang janda di Sarfat, di tanah Sidon.
Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel,
tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan,
selain dari pada Naaman, orang Siria itu."
Mendengar itu,
sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu.
Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota
dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak,
untuk melemparkan Dia dari tebing itu.
Tetapi Yesus berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.

Demikianlah Sabda Tuhan.


Renungan

Prasangka menghalangi manusia melihat kenyataan
Dalam kedua bacaan Kitab Suci hari ini, kita dihadapkan pada suatu kecenderungan yang ada dalam diri manusia, yaitu berprasangka. Menurut ilmu psikologi dan antropologi, prasangka memang sudah menjadi bagian dari sistem pertahanan diri manusia (defense mechanism) terhadap bahaya yang ada di alam ataupun bahaya yang timbul dari sesamanya. Sebab melalui proses evolusi yang sangat panjang, manusia pelan-pelan menyadari bahwa tidak semua yang ada di sekitar mereka bersifat baik dan berguna bagi mereka. Namun kecenderungan berprasangka yang awalnya memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia, pelan-pelan ternyata berkembang menjadi sesuatu yang bersifat buruk. Salah satu contoh konkretnya adalah manusia mampu berprasangka negatif terhadap sesamanya, tanpa alasan yang kuat, sebab hanya berlandaskan pada pengandaiannya semata.

Kecenderungan manusia untuk berprasangka negatif nampak secara nyata dalam Bacaan Pertama. Dikisahkan bahwa Naaman yang menderita kusta menaruh prasangka negatif kepada Elisa. Salah satu faktor penyebab prasangka Naaman, yaitu ia mengandaikan bahwa Elisa perlu mengobatinya dengan cara yang Naaman bayangkan, "Aku sangka, setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama Tuhan, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu, dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku! Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?" Tapi kenyataannya, Elisa hanya menyuruh Naaman untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan. Untunglah Naaman memiliki seorang hamba perempuan yang bijaksana. Berkat nasihatnya, Naaman akhirnya melakukan apa yang dikatakan Elisa, sehingga rencana Allah untuk memberikan kesembuhan kepadanya dapat terwujud.

Kecenderungan berprasangka negatif rupanya tidak hanya dimiliki oleh Naaman, tetapi juga dimiliki oleh orang-orang Nazaret. Itulah sebabnya Yesus berkata keras untuk menegur mereka, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya." Kata-kata keras ini terlontar karena Yesus sadar akan prasangka buruk dan berbagai pengandaian yang ada dalam benak mereka terhadap dirinya. "Kami tahu siapa Engkau. Engkau ini hanyalah anak Yusuf, seorang tukang kayu. Boleh jadi Engkau mampu menjadi guru yang mengajar banyak orang, tapi Engkau tidak mungkin seorang utusan Allah," demikian barangkali prasangka yang berkecamuk dalam benak mereka. Singkatnya, prasangka telah menghalangi mereka untuk melihat kenyataan sesungguhnya.

Bertolak dari Sabda Allah hari ini, kita ditantang untuk senantiasa bertanya diri: Apakah kita sungguh mengenal orang-orang yang ada di sekitar kita, entah itu keluarga, teman, rekan kerja, umat lingkungan, dan sebagainya? Apakah kehidupan yang kita jalani sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang sejati, dan bukan hanya hasil prasangka belaka? Apakah selama ini kita sudah masuk ke dalam hidup yang nyata, relasi yang nyata, panggilan yang nyata, atau jangan-jangan selama ini semua itu hanya semu, karena didasarkan pada prasangka dan pengandaian kita belaka?

Tuhan memberkati kita semua.


Selasa, 19 Januari 2016

Instruksi Pastoral Aetatis Novae (Bagian 2)

Instruksi Pastoral Aetatis Novae

IV. Relevansi

Instruksi Pastoral Aetatis Novae (1992) menyertakan lampiran panjang mengenai rencana pastoral, (No. 23-33). Pedoman tersebut secara khusus merujuk pada rencana keseluruhan untuk kegiatan-kegiatan komunikasi di bawah keuskupan, konferensi waligereja nasional atau regional. Namun dalam kenyataannya, semua kegiatan pastoral bahkan pada tingkat paroki atau setiap organisasi gerejawi memiliki dimensi komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi merupakan bagian hakiki dari setiap jenis rencana pastoral entah itu untuk pengajaran agama, reksa pastoral, pembinaan rohani atau kegiatan-kegiatan amal.

Media dapat memberikan sumbangan kepada hampir setiap bidang kerasulan, pelayanan, dan program lain. Melalui media, Gereja dapat berkomunikasi dengan dunia. Selain itu media komunikasi juga memberikan peluang bagi para pewarta sabda Allah supaya mereka dapat belajar dari bangsa dan budaya lain, sekaligus dapat membantu dunia untuk mengetahui dan menerima Sabda Allah. Bahkan pada dasarnya, Gereja harus selalu mengkomunikasikan pesannya dalam suatu cara yang sesuai dengan zaman dan kebudayaan dari masing-masing bangsa. Dengan itu, Gereja dewasa ini harus mengkomunikasikan di dalam dan kepada media budaya yang berkembang (Bab II art 8, hlm 28). Namun dalam menggunakan alat-alat komunikasi bagi kepentingan evengelisasi, Gereja seharusnya perlu bersikap kritis terhadap media massa dan dampaknya bagi kebudayaan (hal 32)
Media massa juga dapat menjadi sarana persatuan di antara umat manusia yang sedang berziarah di dunia, karena media massa mampu menghubungkan individu-individu menjadi lebih erat (Bab II art 8, hlm 28). Oleh sebab itu Gereja menganggap perkembangan komunikasi sebagai sarana ”yang diketemukan di bawah Penyelenggaraan Tuhan”, dan bukan hanya sebagai hasil karya manusiawi semata.

Gereja kiranya juga perlu berdialog dengan mereka yang bertanggung jawab terhadap media komunikasi. Dalam hal ini, dialog tersebut mencakup usaha untuk memahami media komunikasi—tujuan, prosedur, bentuk, jenis, struktur, dan metoda media komunikasi—sekaligus memberi dukungan dan dorongan kepada mereka yang terlibat dalam karya media komunikasi. Berdasarkan pemahaman yang simpatik dan mendukung ini, terbuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberikan usul-usul yang berarti, demi menghilangkan hambatan-hambatan bagi kemajuan manusia dan pewartaan Injil (Bab II art 8, hlm 28). Atau dengan kata lain, Gereja mengarahkan para praktisi media untuk senantiasa menjadikan media massa sebagai sarana persatuan dengan Kristus.
Umat Kristiani memiliki tanggung jawab untuk membuat suara mereka didengarkan dalam semua media komunikasi. Dengan demikian tugas Gereja tidak hanya terbatas untuk menyampaikan keluar berita-berita tentang Gereja, tetapi juga untuk mendukung para artis dalam media komunikasi (Bab II art 8, hlm 29).

Dalam bermedia, dituntut bahwa sekurang-kurangnya berkembang satu antropologi dan teologi tentang komunikasi. Dengan itu teologi akan menjadi lebih komunikatif, lebih berhasil dalam menyampaikan nilai-nilai Injil dan menerapkannya pada kenyataan manusia pada jaman sekarang ini (Bab II art 8, hlm 29).

Melalui media, Gereja—terlebih pimpinan Gereja dan para pekerja pastoral—dapat menjalin hubungan saling mempercayai dan menghormati berdasarkan nilai-nilai dasariah yang sama dengan mereka yang tidak seiman dengan kita (Bab II art 8, hlm 29).

Melihat situasi di banyak tempat yang berbeda, kepekaan terhadap kepentingan pribadi-pribadi mungkin kerap kali menyebabkan Gereja memajukan alternatif berupa media jemaat.  Oleh sebab itu Gereja pun memelihara dan memajukan media tradisional, karena lebih efektif dalam menyebarkan Injil, sehingga dimungkinkan partisipasi secara pribadi yang lebih besar dan menyentuh bagian terdalam batin manusia (inkulturasi). Selain alasan tersebut, dengan memelihara dan memajukan media tradisional, maka umat beriman pun juga dimungkinkan untuk dapat aktif dalam membentuk dan menggunakan media massa. Bahkan merupakan suatu kewajiban bahwa umat beriman harus dapat berpartisipasi aktif, otonom dan penuh tanggung jawab dalam proses komunikasi (Bab IV art 16, hlm 34).

Bersama dengan keterlibatan yang lain dalam bidang komunikasi dan media, Gereja haruslah terus mengembangkan, memelihara dan memajukan alat-alat dan program-program komunikasi sosial yang khas Katolik. Dalam hal ini, karya media katolik bukanlah merupakan suatu program tambahan di samping kegiatan Gereja yang lain. Dengan demikian maka hendaknya komunikasi sosial hendaknya menjadi bagian integral dari setiap rencana pastoral, sebab memiliki sesuatu untuk disumbangkan bagi hampir setiap kerasulan lain, pelayan dan program (Bab IV art 17, hlm 35).
Pendidikan dan latihan dalam komunikasi hendaknya merupakan suatu bagian yang utuh dari pembinaan para pekerja pastoral dan para imam. Oleh sebab itu, perlu diberikan pendidikan dan pelatihan dalam komunikasi bagi para imam dan personel Gereja, sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan orang “yang kaya informasi” maupun dengan orang “yang miskin informasi” (Bab IV art 18, hlm 35).

Karya media mengandung tekanan-tekanan psikologis yang khusus dan dilema dalam etika. Maka mutlak perlulah bahwa mereka yang bekerja dalam industri komunikasi perlu melaksanakan tanggung jawab mereka dengan diresapi oleh cita-cita yang tinggi dan keterlibatan terhadap pelayanan bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, Gereja memiliki tanggung jawab yang selaras dengannya: umtuk mengembangkan dan memberikan program-program reksa pastoral yang dapat menjawab kebutuhan para pekerja media. Secara khusus, program-program pastoral semacam ini hendaknya mencakup pembinaan yang terus-menerus, yang akan membantu para pria dan wanita ini untuk semakin lebih penuh mengintegrasikan norma-norma moral ke dalam karya profesional mereka maupun dalam kehidupan pribadi mereka ((Bab IV art 19, hlm 36).


V. Tanggapan Kritis

Aetatis Novae adalah instruksi pastoral baru yang diterbitkan 20 tahun setelah Communio et Progressio. Instruksi ini bukan sebagai pengganti melainkan sebagai pelengkap. Dalam Communio et Progressio dijelaskan tentang visi katolik mengenai bermedia. Komunikasi dipandang sebagai jalan menuju persatuan, maka alat-alat komunikasi adalah sarana persatuan. Bila setelah 20 tahun diterbitkannya Communio et Progressio visi ini tetap digemakan maka kiranya situasi visi persatuan ini belum dicapai atau perli ditingkatkan.

Selain tanggapan kritis yang bersifat khusus di atas kita juga sering melihat Gereja terlambat dalam menanggapi masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, sehingga ada kesan dokumen-dokumen yang dihasilkan bukan merupakan antisipasi terhadap kondisi kontekstual yang ada dalam masyarakat, melainkan lebih sebagai sikap pencegahan yang terlambat. Hal yang sama pun terjadi pada dokumen ini, Gereja baru bereaksi terhadap pesatnya perkembangan teknologi informasi setelah 20 tahun sejak dikeluarkanya Communio et Progressio.

Instruksi Pastoral yang memiliki Appendix ini, yang berisi unsur-unsur dari suatu rencana pastoral untuk komunikasi sosial, masih dapat dipergunakan sampai sekarang. Dikatakan bahwa hendaknya Konferensi Para Uskup dan Keuskupan mengembangkan suatu rencana pastoral yang terintegrasi untuk komunikasi sosial. Kondisi media komunikasi dan kesempatan yang diberikan kepada Gereja dalam bidang komunikasi sosial, berbeda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya—dan bahkan berbeda dari paroki yang satu dengan paroki yang lain. Oleh karena itu pendekatan Gereja terhadap media dan lingkungan budaya harus disesuaikan dengan kondisi setempat.


VI. Penutup

Sepintas kita melihat bahwa betapa hebatnya perkembangan-perkembangan dalam dunia komunikasi. Hal ini mencakup baik evolusi yang cepat dari teknologi-teknologi yang sudah ada, maupun munculnya alat-alat komunikasi baru serta teknologi-teknologi media mutakhir. Penggunaan alat-alat media baru ini memyebabkan munculnya apa yang disebut oleh beberapa orang sebagi “bahasa-bahasa baru” dan telah melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menjalankan perutusan Gereja tetapi juga menimbulkan persoalan-persoalan pastoral yang baru.

Pada bagian akhir tulisan ini, kami ingin  menegaskan lagi bahwa Gereja ”melihat media ini sebagai ‘karunia Tuhan’, yang sesuai dengan karya perencanaan ilahiNya, mempersatukan manusia dalam persaudaraan dan dengan demikian membantu mereka untuk bekerjasama dengan rencanaNya untuk menyelamatkan mereka”[5]. Seperti halnya Roh membantu para nabi dalam Perjanjian Lama untuk melihat rencana ilahi dalam tanda –tanda jaman mereka, demikian pula sekarang ini Roh membantu Gereja menafsirkan tanda-tanda jaman sekarang ini untuk menjalankan tugas kenabiannya, diantaranya, evaluasi, dan menggunakan dengan tepat teknologi komunikasi dan media komunikasi sosial yang sekarang ini adalah suatu yang mutlak perlu.


KEPUSTAKAAN


Eilers, Franz-Josef. 2008. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius.
Hadiwikarta, J, (penterj.). 1992. AETATIS NOVAE (Terbitnya Suatu Era Baru). Jakarta: Departemen Komunikasi dan Penerangan KWI.
Paus Benediktus XVI. 2008. Media Komunikasi Sosial: Pada Persimpangan antara Pengacuan Diri dan Pelayanan. Jakarta: Komisi Komunikasi Sosial KWI.



[5] Communio et Progressio no 2


Instruksi Pastoral Aetatis Novae (Bagian 1)

Aetatis Novae

I. Pengantar

Aetatis Novae dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Terbitnya suatu Era Baru. Era baru ini ditandai tidak hanya dengan mendekatnya suatu millennium baru, tetapi juga oleh perubahan peta politik, ekonomi, serta perubahan-perubahan agama yang tak terduga sebelumnya, baik di Eropa Tengah maupun di Eropa Timur. Dan meskipun tidak terjadi secara terlalu dramatis, namun toh tetap merupakan perubahan-perubahan yang cukup berarti dalam kebijakan mengenai komunikasi, praktek komunikasi dan teknologi komunikasi di seluruh dunia.[1]

Ciri yang paling menonjol dalam instruksi pastoral ini adalah adanya bagian Appendix, yang disertai dengan petunjuk-petunjuk untuk membuat rencana pastoral di bidang komunikasi sosial. Kiranya hal ini berarti bahwa Gereja berusaha menetapkan rencana pastoral di bidang komunikasi sosial dalam setiap tingkatannya.


II. Latar Belakang Penulisan Aetatis Novae

Dokumen Aetatis Novae diterbitkan pada tanggal 17 Maret 1992. Dalam hal ini, lahirnya Aetatis Novae sebagai sebuah instruksi pastoral baru tidaklah menggantikan “Communio et Progressio” yang sudah berumur 20 tahun. Mengingat bahwa selama kurun waktu tersebut telah terjadi begitu banyak perkembangan dalam ranah media komunikasi, maka Gereja pun menyadari bahwa diperlukan sebuah petunjuk baru dalam menghadapi perkembangan media komunikasi tersebut. Oleh karena itu kehadiran instruksi pastoral Aetatis Novae ini hanya dimaksudkan sebagai suplemen atau pelengkap bagi kebutuhan-kebutuhan yang telah lama dirasakan.

Perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam kurun waktu tersebut, antara lain: terjadinya revolusi di bidang telekomunikasi (komunikasi jarak jauh) dengan munculnya satelit, televisi kabel, serat optik, compact disk; pembuatan gambar dengan menggunakan komputer, dan teknologi komputer lainnya serta teknologi digital; FAXsimile dan pengiriman data; komputer mini; percetakan jarak jauh; serta membanjirnya video kaset. Rangkaian inovasi itu—di mana pada tahun 1971 (terbitnya Communio et Progressio) hanyalah merupakan angan-angan semata—sekarang telah benar-benar menjadi nyata.

Oleh karena itu, terbuka kemungkinan-kemungkinan lebih luas dalam menjalankan tugas perutusan Gereja, yang sekaligus juga menimbulkan persoalan-persoalan pastoral baru—sebagai akibat dari munculnya “bahasa-bahasa baru”—yang dihasilkan oleh penggunaan media-media tersebut. Persoalan yang muncul adalah adanya dampak negatif sebagai akibat dari pemakaian alat-alat komunikasi tersebut bagi perkembangan psikologis, moral dan sosial dari pribadi-pribadi; perkembangan struktur dan fungsi masyarakat; perkembangan komunikasi dan persepsi antar budaya, serta penyampaian nilai-nilai, ideologi-ideologi dan keyakinan keagamaan terhadap masyarakat dunia. Semua itu mempengaruhi manusia di dalam memahami makna hidupnya.

Sebagai suplemen dari Communio et Progressio, dokumen ini ditulis dengan semangat yang terungkap dalam kata-kata penutup Communio et Progessio: “Umat Allah berjalan dalam sejarah. Pada saat mereka…berjalan maju bersama dengan berjalannya waktu, mereka menatap ke muka dengan penuh kepercayaan, dan bahkan dengan penuh gairah terhadap perkembangan dalam bidang komunikasi, yang mungkin dapat diberikan di dalam zaman ruang angkasa ini.”[2] Dokumen ini bukanlah kata akhir dari Gereja dalam menanggapi perkembangan bidang komunikasi, melainkan untuk memberikan suatu alat kerja serta dorongan bagi mereka yang menghadapi implikasi pastoral berkaitan dengan perkembangan sarana komunikasi tersebut..

Sebagaimana Roh membantu para nabi Perjanjian Lama untuk melihat Yang Ilahi dalam tanda-tanda zaman, demikian pula Roh membantu Gereja menafsirkan tanda-tanda zaman sekarang ini, serta dalam menjalankan tugas kenabiannya untuk menggunakan dengan tepat komunikasi dan media komunikasi sosial yang sangat diperlukan dalam kondisi saat ini.[3] Oleh karena itu Aetatis Novae muncul bukan hanya karena adanya perkembangan dari teknologi komunikasi dan juga dampak-dampak yang ditimbulkannya, tetapi juga karena campur tangan Roh Kudus yang selalu menaungi dan menyertai Gereja.

III. Keprihatinan 

Walaupun hanya lahir sebagai sebuah suplemen yang melengkapi kekurangan-kekurangan di dalam Communio et Progressio, namun tetap saja dokumen ini lahir karena adanya keprihatinan dan persoalan-persoalan yang ingin dijawab. Keprihatinan ini juga muncul sebagai akibat dari berkembangnya teknologi komunikasi.

Kendati semua kebaikan yang dilakukan dan mampu dilakukannya, namun media massa “dapat juga kadang-kadang menjadi alat dari suatu pandangan yang tidak tepat mengenai kehidupan, keluarga, agama dan kesusilaan; suatu pandangan yang tidak menghormati martabat yang sejati dan tujuan dari pribadi manusia[4] (Bab II art 7, hlm 27). Media dapat dipakai ‘untuk mewartakan Injil maupun untuk menghapusnya dari hati orang’ (Hal 14).

Penggunaan media komunikasi meningkat, sehingga pengguna terlalu melekat kepada sikap fiktif dari media tersebut, serta media komunikasi menggantikan interaksi antar manusia yang mengakibatkan persoalan-persoalan pribadi tertentu dan persoalan-persoalan sosial. Padahal tujuannya bukan untuk menggantikan (Bab II art 7, hlm 27). Persoalan-persoalan tersebut juga menjadi penghambat solidaritas manusiawi, serta perkembangan manusia seutuhnya. Hambatan-hambatan tersebut, antara lain: sekularisme, konsumerisme, materialisme, dehumanisasi, dan kurangnya perhatian terhadap kaum miskin dan terlantar (hal 32). Selain itu terjadi pula ketidakadilan struktural dalam penggunaan sarana komunikasi dan informasi, di mana beberapa kelompok atau individu dipotong haknya untuk mendapatkan akses atas sarana komunikasi dan informasi—sedangkan hal itu dapat dinikmati secara berlimpah oleh kaum elit (hal 33).



[1] Aetatis Novae, hal. 17
[2] Aetatis Novae, hal. 21 art 1
[3] Aetatis Novae, hal. 38 art 22
[4] Aetatis Novae, hal. 27 art 7