Agustus 2015 - Catatan Lepas Sang Murid

Rabu, 26 Agustus 2015

Spiritualitas Dirigen Paduan Suara Gereja

Spiritualitas dirigen

Dirigen atau konduktor adalah orang yang memimpin sebuah pertunjukan musik melalui gerak isyarat. Orkestra dan paduan suara biasanya dipimpin oleh seorang dirigen. Untuk menjadi dirigen, seseorang perlu dilatih bukan hanya mengenai pengetahuan musik, tapi juga bagaimana membaca teks lagu, dan bagaimana memiliki telinga yang peka terhadap musik. Sebab dirigen memiliki peran yang amat penting untuk mempersatukan semua suara menjadi perpaduan yang harmonis dan hidup. Meskipun semua anggota mampu bernyanyi atau bermain musik dengan baik, akan tetapi jika tidak dapat berpadu apik, maka tetap saja tidak akan menghasilkan nyanyian atau musik yang baik. Dirigen juga punya wewenang istimewa dalam menafsirkan lagu, misalnya: keras atau lembut, cepat atau lambat, tinggi atau rendah, dsb—namun sambil tetap memperhatikan kemampuan anggotanya. Itulah sebabnya, lagu yang sama, ketika dinyanyikan oleh kelompok paduan suara berbeda, bisa saja menghasilkan nuansa yang berbeda.

Sulit untuk mengetahui, sejak kapan paduan suara dipimpin oleh dirigen. Yang jelas sejak Abad Pertengahan, ratusan tahun lalu, di Gereja-gereja telah ada seseorang yang bertugas sebagai dirigen. Mereka umumnya memegang sebatang tongkat yang digerakkan sesuai irama lagu. Itulah awal mula baton atau tongkat dirigen. Namun dalam perkembangan selanjutnya sampai saat ini, baton ternyata lebih cocok digunakan dalam paduan suara besar atau dalam orkestra; sehingga untuk paduan suara gereja biasanya tidak perlu menggunakan baton.  

Sekilas tentang Spiritualitas Dirigen

Dirigen memiliki spiritualitas yang sama dengan para pelayan musik liturgi lainnya, seperti koor, pemazmur, dan organis. Yang jelas kita tahu bahwa dalam masyarakat Yahudi zaman dahulu (baik masa Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru), musik memainkan peranan penting untuk menunjang peribadatan. Sebagai contoh adalah Raja Daud yang disebut-sebut sebagai pencipta Mazmur. Pada masa itu, pelayan musik untuk peribadatan adalah pemazmur (penyanyi) dan pemain musik—diduga belum ada dirigen pada saat itu, meski sekolah latihan musik peribadatan sudah ada. Namun sekali lagi perlu diakui bahwa amat sulitlah untuk menelusuri tentang aturan atau spiritualitas pelayan musik ibadah, sebab tidak disebutkan secara eksplisit dalam Kitab Suci, atau bisa dikatakan tidak tercatat. Hal yang sama terjadi juga pada masa Gereja Perdana yang dipimpin para rasul, sehingga perlu diakui bahwa untuk menggali tentang spiritualitas pelayan musik liturgi, kita hanya bisa mengambil spiritualitas umum sebagaimana yang ada di dalam Injil.

1. Lukas 22:7-8: Maka tibalah hari raya Roti Tidak Beragi, yaitu hari di mana orang harus menyembelih domba Paskah. Lalu Yesus menyuruh Petrus dan Yohanes, kataNya, “Pergilah, persiapkanlah perjamuan Paskah bagi kita supaya kita makan.”

Ternyata, Yesus tidak hanya memberikan perintah untuk merayakan Ekaristi, tetapi secara spesifik memerintahkan kepada para muridNya untuk mempersiapkan perjamuan Paskah, atau yang sekarang kita kenal dengan Perayaan Ekaristi. Perintah yang sama juga berlaku untuk kita, para pelayan musik liturgi, untuk menyiapkan PE (dan semua perayaan liturgis) dalam bidang yang kita geluti dan layani, yaitu musik liturgi.

Memberikan yang terbaik dalam pelayanan yang kita lakukan adalah atas perintah Kristus sendiri. Kita tidak boleh setengah-setengah dalam mempersiapkan PE dan perayaan-perayaan liturgis, karena ini perintah Tuhan sendiri. Kita harus mempersiapkan yang terbaik: sebagai anggota paduan suara atau pemazmur kita bernyanyi sebaik mungkin, sebagai organis kita mengiringi sebaik mungkin, sebagai dirigen kita memimpin paduan suara dan umat sebaik mungkin.

2. Markus 12:41-44 atau Lukas 21:1-4: Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggilNya murid-muridNya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
Perumpamaan ini sepintas menunjuk pada persembahan dalam wujud uang. Tetapi yang menjadi pokok pikiran bukan hal itu. Janda yang miskin memberi lebih banyak bukan karena jumlahnya, tetapi karena kerelaannya untuk mempersembahkan semua yang dimilikinya, walaupun dari segi jumlah sedikit. Memberikan yang terbaik, bukan karena kita sudah hebat, tapi karena kita rela mempersembahkan semua yang mampu kita berikan. Mempersembahkan yang terbaik meskipun kita terbatas.

Dari antara kita yang berkumpul di sini, mungkin hanya segelintir yang memang pernah belajar musik dengan intensif atau secara formal. Ada yang hanya lewat kursus-kursus, lewat pengalaman mengikuti paduan suara bahkan ada yang otodidak. Dari segi kuantitas, pengetahuan dan ketrampilan kita terbatas, kalah jauh dari orang-orang yang belajar musik secara intensif dan formal. Sama halnya dengan harta janda miskin yang tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang kaya. Tetapi jika dengan penuh kerelaan hati, seperti halnya si janda miskin mempersembahkan hartanya yang sedikit, kita persembahkan kemampuan kita yang terbatas, kiranya Tuhan akan berkenan menerima.

3. Yohanes 3:30 (“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”): Yohanes Pembaptis mungkin merupakan figur hamba Tuhan yang paling ideal sesudah St. Maria dan St. Yusuf. Kita tahu bagaimana Yohanes Pembaptis berkarya. Hidup di tengah padang gurun, makan seadanya. Tetapi semua dilakukannya dengan senang hati karena menyadari panggilannya sebagai yang mempersiapkan jalan bagi Tuhan, agar umat siap menyambut kedatanganNya. Tidak hanya pengorbanannya yang demikian besar perlu kita teladani. Tetapi juga sikap batinnya yang tampak jelas dari kata-katanya sebagaimana bisa kita baca di atas.

Memberikan yang terbaik, supaya Kristus yang semakin besar. Di tengah segala kesibukan, kita dengan sukarela mengambil waktu untuk latihan dan melakukan persiapan. Kita korbankan waktu dan tenaga karena ingin berhasil menjalankan tugas kita dengan baik. Paduan suara dan dirigen ingin agar paduan suaranya bisa bernyanyi dengan baik dan indah. Para organis tentu ingin agar bisa mengiringi dengan lancar dan indah. Pertanyaannya kemudian, untuk apa sebenarnya semua usaha kita? Apakah hanya demi keberhasilan tugas? Demi keindahan suara paduan suara dan iringan musik, sehingga kita puas dan memperoleh pengakuan dari umat yang mendengar?

Tugas kita bukan hanya bernyanyi dan mengiringi dengan indah, tapi mengusahakan agar paduan suara kita dan iringan organ kita bisa sungguh-sungguh menciptakan suasana sakral, suasana liturgis, suasana yang mendukung perjumpaan dengan Tuhan. Membantu menyiapkan hati umat agar siap menyambut kedatangan Tuhan, baik ke dalam hati dalam wujud Sabda, tetapi juga dan terutama dalam wujud komuni suci, persatuan mesra dengan Tuhan. Semua itu kita lakukan semata-mata demi kemuliaan yang Tuhan serta agar Dia semakin meraja di hati banyak orang.

4. Qui bene cantat bis orat (Yang bernyanyi dengan baik berdoa dua kali): Konon ungkapan ini berasal dari St. Agustinus. Namun Pastor John Zuhlsdorf, seorang ahli dalam tulisan-tulisan St. Agustinus menjelaskan bahwa ungkapan ini benar sejauh nyanyian itu lahir dari cinta kasih kita kepada Allah. Maka tugas sebagai dirigen perlu dipahami bukan semata-mata sebagai tugas liturgis belaka, tetapi terutama bahwa kita berusaha mengungkapkan cinta kasih kita kepada Allah. Tugas kita merupakan doa kita. Oleh sebab itu kita perlu menjalankan tugas ini dengan hati, bukan hanya dengan pikiran dan emosi.

Diolah dari berbagai sumber

Sumber gambar: http://www.sanmardepok.com/wp-content/uploads/2015/04/IMG_9880.jpg